Krisis Energi Bikin Waswas, Investasi Emas atau Bitcoin ya?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
21 October 2021 19:14
Harga Emas Meroket di Thailand. IAP/Sakchai Lalit)
Foto: Penumpang terlihat saat pemadaman di bandara internasional Simon Bolivar di Caracas, Venezuela 25 Maret 2019. (REUTERS / Carlos Jasso)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi penyakit virus corona (Covid-19) belum selesai, dunia kini dihantui krisis energi. Meski demikian, dampak krisis energi yang melanda beberapa negara belum terlihat berdampak ke pasar finansial global.

Pasar saham dunia justru masih menanjak, begitu juga dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sudah "malu-malu mau" memecahkan rekor tertinggi sepanjang masa 6.693,466 yang dicapai pada 20 Februari 2018.

Kenaikan IHSG tersebut menjadi indikasi investasi di saham masih menarik.

Namun, ke depannya jika krisis energi meluas tentunya bisa menimbulkan banyak masalah di perekonomian global. Aset-aset berisiko seperti saham tentunya akan mengalami fluktuasi, bahkan bisa saja terkoreksi.

Ancaman paling nyata dari krisis energi adalah inflasi. Saat ini inflasi menjadi masalah di berbagai negara, di Amerika Serikat (AS) inflasi yang dilihat dari consumer price index (CPI) berada di level tertinggi dalam 13 tahun terakhir, sebesar 5,4% year-on-year (YoY).

cpiGrafik: CPI Amerika Serikat
Foto: Refinitiv

Sementara jika dilihat dari personal consumption expenditure (PCE) berada di level tertinggi dalam 3 dekade terakhir. Di bulan Agustus, inflasi PCE Inti tumbuh 3,6% YoY.
Inflasi PCE merupakan inflasi yang dijadikan acuan bank sentral AS (The Fed) dalam menetapkan kebijakan moneter.


Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) sudah memperingatkan bank sentral agar bersiap menaikkan suku bunga agar inflasi tidak lepas kendali.

Inflasi yang tinggi juga melanda Eropa, bahkan beberapa negara di Asia. Singapura misalnya, Otoritas Moneter Singapura (Monetary Authority of Singapore (MAS) pada pekan lalu mengetatkan kebijakan moneter, sebab inflasi diperkirakan akan meningkat.

Yang paling agresif dalam menaikkan suku bunga adalah bank sentral Brasil yang sudah menaikkan suku bunga lima kali berturut-turut. Terbaru, kemarin suku bunga dinaikkan sebesar 100 basis poin menjadi 6,25%. Total kenaikan suku bunga bank sentral Brasil sebesar 325 basis poin, bahkan akan menaikkan lagi di tahun depan.

Analis dari MNC Sekuritas Aqil Triyadi mengatakan ketika inflasi terjadi, maka sektor konsumen yang diuntungkan.

"Ketika terjadi inflasi dimana harga naik luar biasa tinggi, sektor konsumer diunggulkan. Ketika harga bahan baku juga mungkin naik dari operasional, dimana biaya-biaya naik, sehingga perusahaan emiten bisa menaikkan harga jual yang akan diberikan ke konsumer," kata Aqil dalam Investime CNBC Indonesia, Kamis (14/10).

Ketika harganya bisa dinaikkan, maka selisih dari keuntungan berpotensi lebih besar. Namun, di sisi lain, inflasi bisa jadi membuat sebagian masyarakat tidak bisa menjangkaunya. Apalagi saat ini daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih.

"Hal itu akan berdampak pada demand masyarakat, ketika tidak terjangkau di masa pandemi, ini jadi hal yang pro kontra, ketika ada inflasi sehingga konsumer diuntungkan bisa merugikan," jelas Aqil.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Aset Lindung Nilai Terhadap Inflasi, Emas atau Bitcoin?

Emas secara tradisional dianggap sebagai aset lindung nilai terhadap inflasi. Tetapi, di tahun ini saat inflasi di berbagai negara sedang tinggi-tingginya, logam mulia ini justru melempem.

Sebaliknya, mata uang kripto bitcoin yang digadang-gadang sebagai emas digital meroket. Alhasil, bitcoin kini dianggap sebagai aset lindung nilai terhadap inflasi yang lebih baik ketimbang emas. Hal tersebut diungkapkan oleh investor legendaris Paul Tudor Jones.

"Bitcoin akan menjadi bagus untuk lindung nilai. Mata uang kripto akan bagus untuk lindung nilai. Ada tempat untuk kripto dan jelas saat ini lebih bak ketimbang emas... Saya juga berfikir kripto juga akan bagus untuk lindung nilai terhadap inflasi. Untuk saat ini, saya akan memilih kripto ketimbang emas," kata Jones dalam acara "Squawk Box" CNBC International, Rabu (20/10).

Pada tahun lalu baik emas maupun bitcoin sama-sama melesat, tetapi di tahun ini beda ceritanya. Sepanjang tahun ini Bitcoin kemarin mencatat rekor tertingi sepanjang masa, dan sudah melesat lebih dari 127% sepanjang 2021, sementara emas justru melemah lebih dari 6%.

Emas sejauh ini terganjal isu tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) bank sentral AS (The Fed), yang kemungkinan besar akan dilakukan bulan depan. Kemudian akan disusul dengan kenaikan suku bunga paling cepat di akhir 2022.

Hal tersebut membuat emas sulit menguat. Maklum saja, tapering pernah terjadi di tahun 2013, dan harga emas saat itu terus menurun hingga tahun 2015.

Alhasil, investor tentunya lebih berhati-hati. Tetapi ada bedanya, inflasi di tahun 2013 tidak setinggi saat ini, sehingga masih belum jelas bagaimana reaksi emas ketika tapering dilakukan. Tidak menutup kemungkinan emas ke depannya kembali menunjukkan "jati dirinya" sebagai lindung nilai terhadap inflasi, yang sudah terbukti sejak lama.

Sementara untuk bitcoin meski terus melesat naik, masih tetap menjadi perdebatan apakah layak menyandang status sebagai lindung nilai terhadap inflasi. Apalagi beberapa negara, seperti China, memberlakukan kebijakan yang ketat terhadap aset kripto.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular