Jakarta, CNBC Indonesia - Nama Abu Dhabi Investment Authority (ADIA), dana abadi atau sovereign wealth fund (SWF) milik Uni Emirat Arab (UEA) kembali ramai diperbincangkan pelaku pasar modal.
Hal ini lantaran, ADIA baru saja memimpin penggalangan dana pra-IPO GoTo dengan investasi sebesar US$ 400 juta atau setara dengan Rp 5,7 triliun (kurs Rp 14.300/US$).
GoTo Group, entitas gabungan Gojek dan Tokopedia, adalah ekosistem digital yang mengklaim terbesar di Indonesia dan tengah berencana masuk bursa dengan melepas saham perdana (initial public offering/IPO) di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan bursa global.
Transaksi tersebut menjadi investasi pertama oleh Departemen Private Equities ADIA ke dalam perusahaan teknologi Asia Tenggara, dan sekaligus investasi terbesarnya di Indonesia.
Sebelumnya selama bertahun-tahun, strategi investasi ADIA sangat konservatif, berinvestasi hampir secara eksklusif pada instrumen utang negara dari mata uang cadangan terkemuka dunia.
Namun, pada 1990-an, strategi itu berubah menjadi lebih agresif dan kini sudah mulai melakukan investasi di perusahaan rintisan yang belum melaksanakan penawaran perdana.
Hamad Shahwan Al Dhaheri, Direktur Eksekutif Departemen Private Equity di ADIA, mengatakan, "investasi di GoTo ini selaras dengan sejumlah tema investasi utama kami, termasuk pertumbuhan ekonomi digital di pasar Asia Tenggara yang berkembang pesat."
"Kami melihat potensi yang kuat di kawasan ini, khususnya di Indonesia di mana latar belakang ekonomi yang dinamis mendorong ADIA untuk terus mempertegas kehadirannya," katanya dalam keterangan di situs resmi ADIA, dikutip Kamis ini (21/10).
"Kami telah mengikuti dengan cermat bisnis yang telah dikerjakan Gojek dan Tokopedia untuk memacu perkembangan ekonomi dan inovasi di kawasan ini bahkan sebelum mereka bersatu, dan sangat bersemangat untuk bermitra dengan gabungan GoTo dan tim manajemennya di fase pengembangan selanjutnya."
Sebelumnya ADIA telah lebih dulu hadir di Asia Tenggara melalui EdgePoint Infrastructure ('EdgePoint'), platform infrastruktur digital asal Singapura yang berfokus pada pengembangan, akuisisi, dan pengoperasian menara telekomunikasi di Asia Tenggara.
ADIA telah berkomitmen hingga US$ 500 juta atau Rp 7,2 triliun untuk berinvestasi di EdgePoint dan untuk mendukung pertumbuhan platform di masa depan, yang diharapkan mencakup akuisisi dan pengembangan menara baru.
Edge Point atau EP ID Holdings Pte. Ltd adalah pengendali baru emiten menara telekomunikasi PT Centratama Telekomunikasi Indonesia Tbk (CENT), setelah menambah kepemilikan saham menjadi lebih dari 76% dan baru saja menyelesaikan tender offer.
Ambisi ADIA menjadi penguasa digital di Indonesia sepertinya tidak main-main.
ADIA juga dikabarkan akan ikut dalam initial public offering (IPO) atau penawaran saham perdana PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel), anak usaha PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) melalui SWF milik pemerintah Indonesia yakni Indonesia Investment Authority (INA).
Sebelumnya pertengahan Maret tahun ini pemerintah Uni Emirat Arab (UEA) mengumumkan bakal melakukan investasi sebesar US$ 10 miliar atau setara Rp 144 triliun (kurs Rp 14.400/US$) ke INA.
Investasi tersebut bahkan diarahkan langsung Sheikh Mohammed bin Zayed bin Sultan Al Nahyan, yang merupakan Putra Mahkota Abu Dhabi sekaligus Wakil Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata UEA.
ADIA dikabarkan tertarik untuk berinvestasi bersama INA di sektor ke infrastruktur yaitu jalan tol, pelabuhan dan bandara.
NEXT: Siapa ADIA?
ADIA merupakan salah satu pengelola dana kekayaan negara Uni Emirat Arab (UEA). Akan tetapi mereka tidak pernah mempublikasikan jumlah aset yang dikelola secara resmi.
Sejatinya ADIA beroperasi sebagai dana tabungan antar generasi dengan portofolio aset internasional yang terdiversifikasi dan tentu memiliki fokus untuk menghasilkan keuntungan finansial jangka panjang.
Sebagai informasi, UEA adalah negara federasi dari tujuh emirat yakni Abu Dhabi, Ajman, Dubai, Fujairah, Ras al-Khaimah, Sharjah dan Umm al-Qaiwain.
Meski aset SWF-nya tak disebutkan secara resmi, The Economist memprediksi angka tersebut mencapai US$ 875 miliar, atau setara Rp 12.250 triliun (kurs Rp 14.000), The Sovereign Wealth Fund Institute memberikan angka estimasi yang lebih moderat yakni sebesar US$ 580 miliar atau setara Rp. 8.120 triliun.
Angka tersebut tentu bisa disebut raksasa seperti yang tercantum dalam UU Cipta Kerja yang baru disahkan tahun lalu.
Sheikh Mohammed bin Zayed bin Sultan Al Nahyan juga merupakan Wakil Ketua Dewan Direksi Abu Dhabi Investment Authority (ADIA), lembaga khusus yang mengelola SWF milik UEA.
Seperti kebanyakan SWF lain, lembaga tersebut awalnya didirikan untuk mengelola dana surplus hasil penjualan minyak.
Asal-usul ADIA dapat ditelusuri hingga tahun 1960-an, ketika para pejabat pemerintahan kolonial Inggris menjalankan sebuah badan investasi untuk mengelola pendapatan dari minyak, sumber daya alam yang telah ditemukan tahun 1930-an.
Tidak lama setelah memperoleh kemerdekaan pada tahun 1971, UAE resmi mendirikan ADIA tahun 1976.
Berdasarkan laporan terbaru yang diterbitkan di situs resminya, ADIA mengelola portofolio investasi global yang terdiversifikasi pada lebih dari 24 kelas aset dan sub-kategori.
Pada market outlook jangka panjang mereka, ADIA mencatat bahwa pandemi Covid-19 telah menyebabkan melemahnya ekonomi global dengan dampak jangka panjang yang masih belum diketahui jelas. ADIA juga mencatat bahwa saat ini layanan finansial lebih kuat disbanding saat krisis global 2008.
ADIA mengatakan bahwa saat ini pertimbangan terhadap perubahan perubahan iklim serta tata kelola lingkungan, sosial dan perusahaan (ESG) mulai dikedepankan oleh para investor.
ADIA juga meramalkan bahwa perkembangan teknologi akan membawa perubahan fundamental terhadap industri investasi dalam satu dekade ke depan.
Hal tersebut di atas menjadi dasar pengambilan keputusan atas di mana dan bidang apa dana kekayaan tersebut boleh diinvestasikan.
Saat ini, porfofolio investasi jangka panjang milik ADIA tersebar di empat pasar utama yaitu Amerika Utara dengan minimal 35% dan maksimal 50%, Eropa minimal 20% dan maksimal 35%, negara maju di Asia minimal 10% dan maksimal 20%.
Terakhir ADIA juga menginvestasikan dana SWF mereka di negara-negara pasar berkembang atau emerging markets minimal 15% dan maksimal 25%.
Jika menggunakan estimasi dari The Sovereign Wealth Fund, setidaknya akan ada dana investasi sebesar US$ 87 miliar atau Rp. 1.218 triliun yang mengalir di emerging market.
Dana tersebut diinvestasikan di berbagai sektor mulai dari surat berharga pemerintah (government bonds), pasar saham, saham-saham berkapitalisasi besar dan menengah private equity, real estate hingga infrastruktur.
Portofolio yang dikelola terbagi menjadi 45% investasi pasif dan 55% investasi aktif, dengan 45% dikelola secara internal dan selebihnya dikelola secara eksternal.
Sejatinya ADIA bukan satu-satunya pengelola dana abadi UEA, tapi memang merupakan yang terbesar. Selain ADIA setidaknya terdapat tiga pengelola lain yakni Abu Dhabi Investment Council (ADIC) mengelola investasi domestik dan regional, dan sejumlah kecil aset strategis asing, yang sebelumnya berada di bawah pengelolaan ADIA.
Abu Dhabi Investment Company (juga dikenal sebagai Invest AD) fokus pada negara pasar berkembang khususnya yang berada di kawasan Timur Tengah dan Afrika.
Terakhir adalah Mubadala Investment Company yang secara eksklusif mengelola dana untuk diinvestasikan secara domestik pada sektor-sektor penting. Situs reminya mengungkapkan bahwa Mubadala memiliki total dana kelolaan sejumlah US$ 243 miliar (894 miliar dirham UEA).
TIM RISET CNBC INDONESIA