Analisis

Saham-saham 'Go Green' Makin Banyak Peminat, Tertarik Borong?

Feri Sandria, CNBC Indonesia
25 October 2021 06:50
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Dorongan untuk menjalankan bisnis yang lebih berkelanjutan mengakibatkan lonjakan permintaan akan profesional dengan keahlian lingkungan, sosial dan tata kelola (environmental, social and governance/ESG).

Lebih dari seperlima perusahaan terbesar di dunia telah membuat beberapa bentuk komitmen untuk mencapai emisi nol bersih (net zero emission) dan investor kian mempertajam fokus mereka pada dampak sosial dari perusahaan yang mereka 'miliki'.

Pemahaman lingkungan, sosial dan tata kelola yang semakin baik menjadikan investor semakin menerapkan faktor non-keuangan tersebut sebagai bagian dari proses analisis mereka untuk mengidentifikasi risiko material dan peluang pertumbuhan.

Metrik ESG memang tidak menjadi bagian dari pelaporan keuangan wajib, meskipun semakin banyak perusahaan yang mengikuti arus ini dan mengungkapkannya dalam laporan tahunan mereka atau dalam laporan keberlanjutan yang berdiri sendiri.

Investasi ESG semakin populer dalam beberapa tahun terakhir dan dikenal juga dalam berbagai istilah seperti investasi berkelanjutan (sustainable investing), investasi yang bertanggung jawab secara sosial (socially responsible investing), dan investasi berdampak (impact investing).

Praktik ESG dapat mencakup, namun tidak terbatas pada, strategi yang dilakukan perusahaan berdasarkan komitmen yang mereka nyatakan terhadap satu atau lebih faktor ESG-misalnya, perusahaan dengan kebijakan yang ditujukan untuk meminimalkan dampak negatifnya terhadap lingkungan atau perusahaan yang berfokus pada prinsip-prinsip tata kelola dan transparansi.

Sebagian praktik ESG termasuk penyaringan perusahaan dari sektor-sektor tertentu atau yang menurut pandangan pengelola dana (fund manager) telah menunjukkan kinerja yang buruk sehubungan dengan pengelolaan risiko dan peluang ESG.

Selain itu, beberapa manajer dana (fund manager) mungkin berfokus pada perusahaan yang mereka pandang memiliki ruang untuk perbaikan dalam hal-hal ESG, dengan maksud untuk membantu perusahaan tersebut berkembang melalui keterlibatan aktif dengan perusahaan.

Menurut Sarah Galloway, salah satu pemimpin perusahaan perekrut Russell Reynolds Associates, menilai saat ini praktik ESG tidak dapat dipandang sebelah mata lagi.

Selain perusahaan global yang sudah sadar permintaan akan ahli ESG meningkat pesat di seluruh layanan profesional, termasuk di konsultan manajemen, firma penasihat, dan perusahaan properti.

Peningkatan permintaan tersebut sejalan dengan semakin banyak perusahaan dan pengelola dana berkomitmen untuk mengurangi jejak karbon mereka dan lebih menekankan pada kinerja non-keuangan.

AstraZeneca, Aviva, BT, Legal & General dan Rolls-Royce adalah beberapa perusahaan yang telah berjanji untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050.

"Private equity telah menyadari bahwa Anda tidak dapat melakukan IPO sebuah bisnis kecuali memiliki praktik keberlanjutan atau ESG yang sangat kuat sehingga mereka semua mempekerjakan kepala ESG atau keberlanjutan di tingkat yang sangat senior. . . untuk mengawasi portofolio mereka," kata Sarah Galloway, dilansir FT.

Salah satu contoh utama adalah penawaran umum saham perdana (inital public offering/IPO) Deliveroo, perusahaan pengiriman makanan online Inggris, pada akhir Maret lalu yang terkena dampak secara signifikan karena sejumlah besar manajer aset Inggris mengatakan bahwa mereka tidak akan berinvestasi dalam IPO karena risiko ESG serta harga.

Kegagalan Deliveroo -saham perusahaan sempat ambles hingga 26% pada hari pertama IPO- semata-mata terjadi karena huruf 'S' dari ESG. Beberapa investor besar telah menyatakan keprihatinan atas perlakuan grup usaha terhadap para pekerja.

NEXT: Kenapa Investor Memilih Saham ESG?

Terdapat berbagai alasan bagi para investor mengapa mereka memilik investasi ESG.

Sebagian ingin investasi yang mereka lakukan dapat mengubah dunia ke arah yang lebih baik, sedangkan yang lainnya mungkin hanya ingin meminimalkan dampak buruk yang mungkin terjadi akibat investasi yang dilakukan terhadap komunitas dan ekosistem.

Terdapat pula kalangan lain yang menggunakan ESG untuk melindungi portofolio mereka dari dampak negatif yang muncul timbul, seperti kasus Deliveroo.

Akan tetapi apa pun motivasinya, semua investor ESG ingin menghasilkan tingkat pengembalian (return) yang tinggi terhadap uang yang mereka keluarkan.

Meski terlihat sederhana, dalam praktiknya implementasi ESG jauh lebih rumit.

Sebagai contoh, bagaimana perusahaan dapat diklasifikasikan sebagai emiten ramah ESG?

Mungkin contoh yang paling menarik adalah perusahaan milik salah satu orang terkaya dunia Elon Muks, Tesla, yang sahamnya tercatat di Bursa Nasdaq AS.

Perusahaan produsen mobil listrik yang tentu lebih baik bagi lingkungan dari pada mobil berbahan bakar fosil yang dari permukaan terlihat memberi dampak positif.

Akan terdapat pertanyaan terkait pertambangan nikel yang digunakan Tesla sebagai baterai serta listrik yang digunakan berasal dari sumber terbarukan atau tidak.

Selain itu awal tahun ini Tesla juga berinvestasi US$ 1,5 miliar atau setara dengan Rp 21 triliun pada bitcoin, yang diketahui membutuhkan daya listrik besar dan memberikan dampak negatif pada lingkungan.

Tesla yang dikabarkan tidak jadi berinvestasi pada tambang dan smelter nikel di Indonesia ditengarai karena berusaha meminimalisir dampak lingkungan yang mungkin terjadi.

Akan tetapi saat ini investor tidak perlu memusingkan hal tersebut mengingat semakin banyaknya indeks saham yang ramah ESG yang muncul.

Di pasar modal Indonesia, akhir tahun lalu tahun lalu, Bursa Efek Indonesia (BEI) resmi meluncurkan indeks baru IDX ESG (Environmental, Social, Governance) Leaders yang diiharapkan bisa memacu praktik terkait lingkungan, sosial dan tata kelola emiten dalam penerapan investasi berkelanjutan di Indonesia dengan menetapkan 30 saham yang memiliki penilaian ESG yang baik.

Beberapa konstituen besar indeks ini termasuk PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM), PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), PT Astra International Tbk (ASII), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI), dan PT Jasa Marga Tbk (JSMR).

Porsi terbesar dicatatkan oleh sektor keuangan sebesar 29,1% dan diikuti oleh sektor infrastruktur sejumlah 25,1%.

Selain indeks yang bertambah secara signifikan, jumlah uang yang digelontorkan dalam investasi ESG juga meningkat drastis.

Di Amerika Serikat (AS), tahun 2016 terdapat US$ 8,1 triliun dalam aset ESG yang dikelola secara profesional berdasarkan data dari The Forum for Sustainable and Responsible Investment.

Pada tahun 2020 angka tersebut melonjak menjadi US$ 17,1 triliun yang berati tumbuh lebih dari 100% dalam kurun waktu 4 tahun saja.

Terkait kinerja indeks ESG terhadap indeks tradisional, berdasarkan data dan kajian dari Morgan Stanley Capital Internasional (MSCI) dan juga laporan BEI, di Indonesia sendiri indeks Indonesia ESG Leader memiliki performa yang nyaris serupa dengan indeks tradisional, dengan gross return yang sedikit lebih baik.

 

Kinerja indeks ESG vs indeks tradisional (sumber: MSCI)Foto: MSCI
Kinerja indeks ESG vs indeks tradisional (sumber: MSCI)
Kinerja indeks ESG vs IHSG vs LQ45 (sumber: BEI)Foto: BEI
Kinerja indeks ESG vs IHSG vs LQ45 (sumber: BEI)

Hal tersebut merupakan salah satu contoh saja, beberapa indeks ESG lain dapat memiliki kinerja lebih buruk atau pun lebih baik, mengingat jumlahnya yang semakin banyak.

Jadi, sudah siap pindah portofolio dengan melihat prospek jangka panjang?

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular