
Saham-saham 'Go Green' Makin Banyak Peminat, Tertarik Borong?

Terdapat berbagai alasan bagi para investor mengapa mereka memilik investasi ESG.
Sebagian ingin investasi yang mereka lakukan dapat mengubah dunia ke arah yang lebih baik, sedangkan yang lainnya mungkin hanya ingin meminimalkan dampak buruk yang mungkin terjadi akibat investasi yang dilakukan terhadap komunitas dan ekosistem.
Terdapat pula kalangan lain yang menggunakan ESG untuk melindungi portofolio mereka dari dampak negatif yang muncul timbul, seperti kasus Deliveroo.
Akan tetapi apa pun motivasinya, semua investor ESG ingin menghasilkan tingkat pengembalian (return) yang tinggi terhadap uang yang mereka keluarkan.
Meski terlihat sederhana, dalam praktiknya implementasi ESG jauh lebih rumit.
Sebagai contoh, bagaimana perusahaan dapat diklasifikasikan sebagai emiten ramah ESG?
Mungkin contoh yang paling menarik adalah perusahaan milik salah satu orang terkaya dunia Elon Muks, Tesla, yang sahamnya tercatat di Bursa Nasdaq AS.
Perusahaan produsen mobil listrik yang tentu lebih baik bagi lingkungan dari pada mobil berbahan bakar fosil yang dari permukaan terlihat memberi dampak positif.
Akan terdapat pertanyaan terkait pertambangan nikel yang digunakan Tesla sebagai baterai serta listrik yang digunakan berasal dari sumber terbarukan atau tidak.
Selain itu awal tahun ini Tesla juga berinvestasi US$ 1,5 miliar atau setara dengan Rp 21 triliun pada bitcoin, yang diketahui membutuhkan daya listrik besar dan memberikan dampak negatif pada lingkungan.
Tesla yang dikabarkan tidak jadi berinvestasi pada tambang dan smelter nikel di Indonesia ditengarai karena berusaha meminimalisir dampak lingkungan yang mungkin terjadi.
Akan tetapi saat ini investor tidak perlu memusingkan hal tersebut mengingat semakin banyaknya indeks saham yang ramah ESG yang muncul.
Di pasar modal Indonesia, akhir tahun lalu tahun lalu, Bursa Efek Indonesia (BEI) resmi meluncurkan indeks baru IDX ESG (Environmental, Social, Governance) Leaders yang diiharapkan bisa memacu praktik terkait lingkungan, sosial dan tata kelola emiten dalam penerapan investasi berkelanjutan di Indonesia dengan menetapkan 30 saham yang memiliki penilaian ESG yang baik.
Beberapa konstituen besar indeks ini termasuk PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM), PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), PT Astra International Tbk (ASII), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI), dan PT Jasa Marga Tbk (JSMR).
Porsi terbesar dicatatkan oleh sektor keuangan sebesar 29,1% dan diikuti oleh sektor infrastruktur sejumlah 25,1%.
Selain indeks yang bertambah secara signifikan, jumlah uang yang digelontorkan dalam investasi ESG juga meningkat drastis.
Di Amerika Serikat (AS), tahun 2016 terdapat US$ 8,1 triliun dalam aset ESG yang dikelola secara profesional berdasarkan data dari The Forum for Sustainable and Responsible Investment.
Pada tahun 2020 angka tersebut melonjak menjadi US$ 17,1 triliun yang berati tumbuh lebih dari 100% dalam kurun waktu 4 tahun saja.
Terkait kinerja indeks ESG terhadap indeks tradisional, berdasarkan data dan kajian dari Morgan Stanley Capital Internasional (MSCI) dan juga laporan BEI, di Indonesia sendiri indeks Indonesia ESG Leader memiliki performa yang nyaris serupa dengan indeks tradisional, dengan gross return yang sedikit lebih baik.
![]() Kinerja indeks ESG vs indeks tradisional (sumber: MSCI) |
![]() Kinerja indeks ESG vs IHSG vs LQ45 (sumber: BEI) |
Hal tersebut merupakan salah satu contoh saja, beberapa indeks ESG lain dapat memiliki kinerja lebih buruk atau pun lebih baik, mengingat jumlahnya yang semakin banyak.
Jadi, sudah siap pindah portofolio dengan melihat prospek jangka panjang?
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]
