Inflasi di Amerika Ngeri, The Fed Terpaksa Kerek Suku Bunga?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
Kamis, 14/10/2021 14:45 WIB
Foto: Rangkaian bendera Amerika Serikat dipasang di Washington D.C., menjelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Joe Biden dan Kamala Harris. (AP/Alex Brandon)

Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi di Amerika Serikat (AS) kembali menjadi perhatian. Sebab tingginya inflasi saat ini diprediksi bisa berlangsung lama, bukan sementara saja. Oleh karena itu, bank sentral AS (The Fed) bisa jadi akan terpaksa menaikkan suku bunga, agar inflasi tidak lepas kendali.

Dampaknya bisa besar, sebab laju pertumbuhan ekonomi bisa terhambat, apalagi jika pasar tenaga kerja mulai melemah lagi. Yield obligasi AS (Treasury) pun bergerak volatil kemarin. Treasury tenor 10 tahun sempat melesat ke atas 1,6%, tetapi setelahnya malah berbalik turun dan mengakhiri perdagangan di 1,5525%, atau turun 2,9 basis poin dari penutupan perdagangan hari sebelumnya.

Kenaikan yield menjadi artinya pelaku pasar melepas kepemilikan Treasury, sebab ada ekspektasi suku bunga akan dinaikkan, sehingga yield yang rendah menjadi kurang menarik.


Saat yield berbalik turun, artinya kembali ada aksi beli. Hal ini bisa menjadi mengindikasikan pelaku pasar cemas akan outlook perekonomian ke depannya, dan memilih bermain aman di aset safe haven.

Dampak dari penurunan yield Treasury tersebut, dolar AS kemarin jeblok 0,46%, dan berlanjut lagi hari ini. Rupiah pun sukses menguat, sempat menyentuh Rp 14.150/US$ pagi tadi, yang merupakan level terkuat dalam 6 bulan terakhir.

Pemerintah AS kemarin melaporkan inflasi yang dilihat dari consumer price index (CPI) di bulan September dilaporkan tumbuh 0,4% dari bulan sebelumnya, lebih tinggi dari hasil polling Reuters terhadap para ekonom sebesar 0,3%. Sementara itu dibandingkan September 2020, inflasi melesat 5,4%, lebih tinggi dari pertumbuhan bulan Agustus 5,3% year-on-year (YoY).

Inflasi tersebut merupakan yang tertinggi dalam 13 tahun terakhir.

Grafik: Inflasi (CPI) Amerika Serikat 
Foto: Refinitiv

Sementara itu inflasi inti yang tidak memasukkan sektor makanan dan energi, tumbuh 0,2% month-on-month (MoM), dan 4% YoY.

Inflasi merupakan salah satu acuan utama bank sentral AS (The Fed) dalam menerapkan kebijakan moneter, untuk saat ini adalah kapan waktunya tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) dan kenaikan suku bunga.

The Fed sebenarnya lebih melihat inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) yang akan dirilis akhir bulan ini. Tetapi, CPI yang masih menanjak bisa memberikan gambaran jika PCE juga masih akan naik lagi.

Inflasi PCE Inti di bulan Agustus tumbuh 3,6%, yang merupakan pertumbuhan tertinggi dalam 30 tahun terakhir. Jika mengikuti kenaikan CPI, maka inflasi PCE tentunya bisa semakin tinggi.

Ketua The Fed, Jerome Powell, bahkan mengatakan "frustasi" melihat tingginya inflasi yang disebabkan oleh gangguan pasokan (supply).

"Gangguan rantai pasokan yang tak kunjung membaik membuat frustasi, bahkan faktanya malah sedikit memburuk. Kami melihat hal ini akan berlanjut tahun depan, dan menahan inflasi tinggi lebih lama dari yang kami perkirakan," kata Powell akhir September lalu.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Pasar Lihat Peluang Suku Bunga Naik di September 2022


(pap/pap)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Perang Iran Vs Israel Membara, Kemana Dana Investor Kakap Lari?

Pages