Cek! Ini Mata Uang yang Paling Terpuruk Akibat Krisis Energi

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
13 October 2021 17:38
Suasana pemadaman listrik besar-besaran di Caracas, Venezuela.
Foto: Penumpang terlihat saat pemadaman di bandara internasional Simon Bolivar di Caracas, Venezuela 25 Maret 2019. (REUTERS / Carlos Jasso)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19) masih belum selesai, kini krisis energi melanda di berbagai negara. Semua bermula dari tingginya harga gas alam di Eropa, alhasil harga komoditas lainnya seperti batu bara ikut meroket.

Banyak faktor yang dikatakan memicu lonjakan harga gas alam. Mulai dari rendahnya persediaan, pengurangan penggunaan energi fosil, hingga kurangnya supply dari Rusia.

Awal mula penurunan persediaan terjadi di bulan April lalu, saat Eropa mengalami cuaca dingin yang tidak biasa, membuat permintaan gas alam meningkat. Persediaan sejak saat itu berkurang drastis hingga di bawah rata-rata lima tahun sebelum pandemi. Penurunan tersebut mengindikasikan terjadinya krisis pasokan.

Kenaikan harga gas alam tersebut diperkirakan masih akan terus terjadi mengingat sebentar lagi akan memasuki musim dingin.

Harga gas alam di Henry Hub. Oklahoma Amerika Serikat (AS) sejak akhir 2020 melambung lebih dari 110%. Di Eropa kenaikannya bahkan sekitar 4 kali lipat dari di AS.

Salah satu dampak kenaikan harga gas alam adalah mahalnya biaya pembangkitan listrik, sehingga memukul beberapa industri, juga menurunkan daya beli masyarakat.

Inggris menjadi salah satu negara yang mengalami krisis energi paling parah di Eropa. Industri yang menggunakan banyak energi seperti baja, kaca, keramik hingga kertas, terancam menghentikan produksi mereka.

Meluasnya krisis energi di Inggris juga cukup berdampak pada pergerakan poundsterling, maklum saja perekonomian Inggris menjadi terancam.

Poundsterling yang sebelumnya membukukan penguatan di tahun ini harus berbalik melemah. Pada 1 Juni lalu, poundsterling berada di US$ 1,4248, dibandingkan posisi akhir 2020 atau secara year-to-date (YtD) tercatat menguat lebih dari 4,2%.

Tetapi pada hari ini, poundsterling berada di kisaran US$ 1,3610, secara YtD turun 0,5%. Jika dilihat dari level tertinggi 1 Juni, poundsterling tercatat merosot 4,5%.

Di Asia, China dan India juga mengalami masalah yang sama. Tetapi mata uang keduanya menunjukkan kinerja yang berbeda. Nilai tukar yuan China terbilang stabil memasuki semester II-2021, dan mampu membukukan penguatan lebih dari 1,2% jika dilihat dari posisi akhir tahun lalu.

Sementara itu rupee India tercatat melemah lebih dari 3,14% sejak awal September, sementara secara YtD pelemahnya sebesar 3,05%. Artinya ptekanan yang terjadi sejak awal September tersebut membuat rupee membukukan kinerja negatif sepanjang tahun ini.

Jepang juga menjadi salah satu negara yang terdampak tingginya harga energi. Tarif listrik di Jepang naik ke level tertinggi dalam 9 bulan terakhir. Yang lebih parah, mata uang yen malah ikut merosot.

Data dari Refinitiv menunjukkan kurs yen jeblok 10% melawan dolar AS, menyentuh level 113,78/US$ yang merupakan level terlemah dalam 3 tahun terakhir.

jpy

Krisis energi membuat harga minyak mentah ikut meroket. Harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) sepanjang tahun ini melesat lebih dari 65% ke atas US$ 80/barel, tertinggi dalam 6 tahun terakhir. Kemudian jenis Brent juga sama meroket lebih dari 60% ke kisaran US$ 83/barel, tertinggi sejak tahun 2018.

Nahas bagi Jepang hampir semua kebutuhan minyak mentahnya didapat dari impor. Yen yang sebelumnya sudah melemah melawan dolar AS menjadi semakin terpuruk.
Hanya minyak mentah dibanderol dengan dolar AS, sementara yen sedang melemah, alhasil biaya impor menjadi membengkak. Kurs yen semakin tertekan.

"Yen yang melelah saat harga minyak mentah sedang menguat tajam membuat pendapatan negara 'melayang' keluar negeri dengan mudah," kata Daisuke Karakama, kepala ekonomi di Mizuho Bank yang berbasis di Tokyo, sebagaimana dikutip Reuters.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Indonesia Masih Aman, Rupiah Stabil

Indonesia sejauh ini belum mengalami dampak langsung dari krisis energi yang melanda di beberapa negara. Bahkan, bisa dikatakan Indonesia mendapat rejeki nomplok. Nilai tukar rupiah pun masih stabil dalam 2 bulan terakhir, meski secara YtD melemah 1,25%.

Kenaikan harga minyak mentah dunia turut mengerek naik harga minyak mentah Indonesia (ICP).

Dalam simulasi sensitivitas APBN terhadap perubahan indikator ekonomi makro, kenaikan harga minyak justru menguntungkan. Setiap kenaikan harga minyak mentah Indonesia (ICP) sebesar US$ 1/barel, belanja negara memang bertambah Rp 3,5 triliun.

Akan tetapi penerimaan negara bertambah lebih banyak yaitu Rp 4,4 triliun baik dari pajak maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dengan demikian, net surplus dari kenaikan harga minyak adalah Rp 0,9 triliun.

Pada September 2021, rata-rata ICP ada di US$ 72,7/barel, tertinggi sejak Oktober 2018. Sepanjang Januari-September, rata-rata ICP adalah US$ 65,21/barel, melonjak 63,51% dibandingkan rerata sembilan bulan pertama 2020.

Itu baru dari ICP, belum lagi dari batu bara yang harganya terbang tinggi.

Harga Batu Bara Acuan (HBA) bulan Oktober 2021 kembali naik hingga menembus US$ 161,63 per ton, naik dari HBA pada September 2021 yang tercatat sebesar US$ 150,03 per ton.

Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian ESDM, Agung Pribadi mengatakan ini merupakan angka tertinggi dalam satu dekade terakhir.

Kenaikan HBA ini menurutnya karena dipengaruhi permintaan batu bara yang terus meningkat di China akibat naiknya kebutuhan batu bara untuk pembangkit listrik yang melampaui kapasitas pasokan batu bara domestik.

"Kenaikan HBA bulan Oktober 2021 disebabkan oleh permintaan yang terus meningkat di China di mana saat ini kebutuhan batu bara meningkat untuk keperluan pembangkit listrik yang melampaui kapasitas pasokan batu bara domestik, juga meningkatnya permintaan batu bara dari Korea Selatan dan kawasan Eropa seiring dengan tingginya harga gas alam," ungkapnya, seperti dikutip dari keterangan resmi Kementerian, dikutip Kamis (07/10/2021).

Sehingga krisis energi di beberapa negara membuat Indonesia mendapat rejeki nomplok. Tetapi tetap waspada kemungkinan terjadinya stagflasi. Harga energi yang bisa memicu lonjakan inflasi lagi, sementara pertumbuhan ekonomi berisiko melambat.

Jika itu terjadi, Indonesia akan terkena imbasnya, dan rupiah bisa mengalami tekanan.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular