Jakarta, CNBC Indonesia - Kondisi pasar keuangan Tanah Air ditutup bervariasi kemarin. Harga saham dan obligasi pemerintah menguat sedangkan nilai tukar rupiah justru melemah.
Bursa saham nasional sukses finish di zona hijau dengan penguatan signifikan pada perdagangan Rabu (6/10/2021). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melesat 2,06% ke level 6.417,32 hingga akhir perdagangan sesi II menyusul rebound di bursa Paman Sam.
Apresiasi IHSG juga turut ditopang oleh penguatan saham big cap bank dan juga saham-saham emiten batu bara di tengah berlanjutnya kenaikan harga acuan global. Kemarin batu bara sempat menyentuh US$ 280/ton.
Di saat yield obligasi pemerintah AS cenderung menguat, imbal hasil yield SBN Indonesia justru melemah. Artinya harga instrumen pendapatan tetap berisiko rendah ini mengalami kenaikan.
Melansir data dari Refinitiv, yield SBN bertenor 1 tahun menguat 0,7 basis poin (bp) ke level 3,251% dan yield SBN berjatuh tempo 3 tahun naik 0,2 bp ke level 3,872%. Sementara itu, yield SBN dengan tenor 20 tahun cenderung stagnan di level 7,098% dan yield SBN 10 tahun yang menjadi acuan juga mengalami penurunan sebesar 1,2 bps menjadi 6,31%.
Di saat saham dan obligasi pemerintah menguat, nilai tukar rupiah justru mengalami pelemahan setelah seharian diperdagangkan menguat di hadapan greenback. Namun koreksi rupiah cenderung sangat tipis.
Mata uang Garuda berakhir terdepresiasi 0,01% ke Rp 14.250/US$ di hadapan dolar AS di pasar spot. Koreksi rupiah yang minim masih terbantu oleh adanya inflow dana asing ke pasar keuangan domestik.
Kemarin asing mencatatkan net buy di seluruh pasar mencapai lebih dari Rp 3,4 triliun. Overall, kinerja pasar finansial dalam negeri masih tergolong oke.
Beralih ke Barat, bursa saham New York rebound setelah mengalami koreksi tajam di awal perdagangan.
Tiga indeks saham acuan Wall Street kompak berakhir di zona hijau. Indeks Dow Jones menguat 0,3% setelah sempat ambruk di atas 1%. Indeks S&P 500 naik 0,41% dan terakhir Nasdaq Composite melesat 0,47%.
Faktor pemicu yang membuat Wall Street berbalik arah adalah kongres yang melunak terkait debt ceiling atau plafon utang AS. Seperti diketahui utang AS sudah tembus batas (threshold) US$ 28,4 triliun dan harus ditentukan apakah bakal dinaikkan atau ditangguhkan.
Perdebatan sebelumnya dikarenakan kongres belum satu suara. Pihak partai Republik dinilai cenderung kontra dengan kebijakan untuk meningkatkan plafon utang AS. Kongres akan kembali voting penentuan pada 18 Oktober nanti.
Pemimpin Senat Minoritas Mitch McConnell mengatakan melalui akun twitter bahwa pihak Republik akan memberikan kelonggaran kepada Demokrat untuk menggunakan prosedur normal dalam memperpanjang batas utang hingga Desember dalam rangka menghindari terjadinya krisis dan kemungkinan default.
Cuitan tersebut direspons positif oleh pelaku pasar yang membuat pasar saham akhirnya berbalik arah. Selain itu data ketenagakerjaan yang baik juga menjadi katalis positif untuk aset berisiko seperti saham.
Data ADP per September membagikan kabar positif berupa tambahan posisi pekerjaan sebanyak 568.000 sebulan lalu, yang melampaui estimasi ekonom dalam polling Dow Jones sebanyak 425.000.
Di sisi lain investor masih mencermati tren pergerakan harga energi global terutama harga minyak mentah. Harga minyak mentah yang tembus US$ 80/barel memantik kekhawatiran inflasi yang tinggi akan bertahan lama sehingga memaksa bank sentral bakal mengetatkan kebijakan moneter lebih cepat dari perkiraan awal.
Yield SBN AS untuk tenor 10 tahun sudah tembus 1,5% lagi akibat ekspektasi inflasi yang tetap tinggi.
Lanjutnya penguatan pasar saham AS tentu menjadi kabar yang baik untuk bursa saham Benua Kuning.
Namun ada yang perlu diwaspadai. Apresiasi IHSG yang sudah terlalu tajam membuka ruang terjadinya aksi profit taking.
Sebagai pengingat IHSG sudah menguat sampai 2% kemarin. Kalaupun menguat, paling terbatas saja.
Di awal Oktober pergerakan IHSG memang cenderung liar. Menguat signifikan lalu dibanting. Apresiasi yang tinggi juga memicu kenaikan risiko untuk profit taking.
Risiko juga datang dari Timur, tepatnya dari China. Setelah Evergrande yang dilanda krisis utang kini pengembang properti lain juga mengalami nasib serupa.
Ada dua perusahaan properti China yang kini menjadi pantauan pelaku pasar. Mereka adalah Fantasia Holdings dan Sinic Holdings. Khusus Fantasia sudah mengalami gagal bayar (default), sementara Sinicberpotensi default.
Buruknya kondisi likuiditas Sinic Holdings menyebabkan perusahaan pemeringkatan global, Fitch Ratings, dua hari lalu (4/10) kembali menurunkan peringkat utang menjadi 'C' dari sebelumnya 'CCC'.
Ini merupakan penurunan rating kedua dalam sebulan terakhir setelah sebelumnya pada 22 September Sinic Holdings yang semula memiliki peringkat 'B+' turun ke 'CCC'.
Senasib dengan Sinic, Fantasia juga berkali-kali rating-nya diturunkan oleh Fitch dalam sebulan terakhir, dimulai dari tanggal 16 September dari 'B+' menjadi 'B', kemudian pada 4 Oktober turun menjadi 'CCC-'.
Terakhir pada Selasa kemarin (5/6) akhirnya Fantasia distempel 'RD' (Restricted Default) oleh Fitch setelah perusahaan gagal melunasi senior notesnya sebesar US$ 206 juta atau setara dengan Rp 2,94 triliun (kurs Rp 14.300/US$) yang jatuh tempo pada 4 Oktober 2021.
Harga saham Fantasia Holdings dan Sinic Holdings anjlok lebih dari 50% secara year to date. Ditambah lagi sejak adanya krisis Evergrande pasar obligasi China mencatatkan outflow US$ 8,1 miliar di bulan September.
Risiko tingginya inflasi, hingga potensi default obligasi pengembang properti China masih menjadi sentiment utama yang patut diwaspadai.
Investor sendiri harus sudah bersiap dengan adanya volatilitas yang tinggi baik di pasar saham maupun obligasi.
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
- Rilis Data Transaksi Berjalan Korea Selatan bulan Agustus 2021 (06.00 WIB)
- Rilis Data Cadangan Devisa Indonesia bulan September 2021 (10.30 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q2-2021 YoY) | 7,07% |
Inflasi (September 2021, YoY) | 1,60% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (September 2021) | 3,50% |
Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2021) | -5,82% PDB |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q2-2021) | -0,80% PDB |
Cadangan Devisa (Agustus 2021) | US% 144,78 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA