Analisis

Batu Bara Rekor US$ 200/ton, Deretan Taipan RI Ini Kian Kaya!

Ferry Sandria, CNBC Indonesia
30 September 2021 06:50
batu bara
Foto: Istimewa

Jakarta, CNBC Indonesia - Batu bara merupakan salah satu komoditas energi yang vital bagi Indonesia, tidak hanya menyumbang devisa melalui pajak dan royalti yang dibayarkan ke negara, batu bara juga memiliki peran penting dalam elektrifikasi nasional dan masih merupakan sember energi utama dengan biaya rendah.

Meski demikian batu bara yang memiliki rantai karbon pajang, pembakarannya menghasilkan emisi tinggi dan berkontribusi terhadap pemanasan global, sehingga eksistensinya di masa depan kian dipertanyakan.

Apalagi berbagai negara mulai menerapkan kebijakan hijau, termasuk Indonesia yang berencana mencapai net zero emission pada tahun 2070.

Sentimen negatif terhadap dampak lingkungan tampaknya tidak mampu membungkam reli panjang batu bara salah satunya yang salah satunya dipicu oleh lonjakan permintaan listrik berbiaya rendah.

Selama setahun terakhir harga batu bara terus mengalami penguatan, bahkan pada Senin (27/9) harga batu bara di pasar ICE Newcastle (Australia) tercatat tembus US$ 202,95/ton. Melonjak 6,2% dari posisi akhir pekan lalu sekaligus menjadi rekor tertinggi setidaknya sejak 2008.

Sementara itu dari dalam negeri Harga Batubara Acuan (HBA) yang ditetapkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) juga selalu menajak sejak bulan Maret tahun ini.

Kala itu HBA tercatat di angka US$ 84,47 dan terakhir bulan September ini harganya mencapai US$ 150,03 per ton, yang berarti dalam kurun waktu kurang dari setahun HBA telah menguat hingga 77,61%.

Kenaikan harga komoditas ini tentu akan berimplikasi positif pada kinerja emiten pertambangan batubara, menjadi katalis bagi emiten baru bara di semester kedua tahun ini.

Sebaliknya momentum ini dapat membebankan industri hulu seperti perusahaan pembangkit listrik yang biaya operasinya malah naik.

Sebenarnya reli panjang penguatan harga batu bara telah tercermin pada laporan keuangan tengah tahun emiten batubara nasional. Dari 14 emiten skala menengah hingga raksasa, hanya tiga perusahaan yang mengalami penurunan pendapatan.

Sementara itu semua perusahaan pada tengah tahun ini mampu mencatatkan laba bersih.

Perusahaan-perusahaan tersebut termasuk juga emiten yang mengelola tambang batu bara, meskipun bukan merupakan segmen bisnis dengan kontribusi terbesar yakni anak usaha Grup Astra, PT United Tractors Tbk (UNTR).

Meskipun demikian kontribusi segmen batu bara terhadap pendapatan usaha UNTR masih dapat dikatakan cukup signifikan.

Sebagai catatan hanya PTBA dan UNTR yang laporan keuangannya menggunakan denominasi rupiah, sedangkan emiten lain menggunakan dolar AS.

Untuk dapat memberikan gambaran jelas seluruhnya dikonversi ke rupiah menggunakan kurs Rp 14.300/US$.

Pendapatan Emiten Batu Bara/Ferry Sandria/data lapkeuFoto: Pendapatan Emiten Batu Bara/Ferry Sandria/data lapkeu
Pendapatan Emiten Batu Bara/Ferry Sandria/data lapkeu

Secara tahunan, sejak tengah tahun lalu pendapatan kumulatif 14 emiten batu bara ini tercatat naik 14% dari semula Rp 124,36 triliun menjadi Rp 142,35 triliun.

Selain UNTR, pendapatan tertinggi dicatatkan oleh PT Adaro Energy Tbk (ADRO), disusul oleh PT Indika Energy Tbk (INDY) dan PT Bayan Resources (BYAN).

Selanjutnya terdapat emiten batu bara pelat merah (PTBA), emiten batu bara Grup Sinarmas pengelola Berau Coal (GEMS) dan emiten batu bara Grup Banpu (ITMG) yang juga memiliki pendapatan cukup besar, berada di kisaran Rp 9-10 triliun.

Tiga emiten yang mengalami penurunan pendapatan adalah perusahaan batu bara Grup Bakrie (BUMI), konglomerasi Luhut (BUMI) dan PT Samindo Resources Tbk (MYOH)

Laba Emiten Batu Bara/Ferry Sandria/data lapkeuFoto: Laba Emiten Batu Bara/Ferry Sandria/data lapkeu
Laba Emiten Batu Bara/Ferry Sandria/data lapkeu

Pada semester pertama tahun ini, dari 14 perusahaan tersebut tidak terdapat satu pun emiten yang mengalami kerugian.

Sebelumnya pada akhir Juni 2020 masih terdapat dua emiten yang mengalami kerugian yakni INDY dan BUMI.

Secara tahunan, sejak tengah tahun lalu laba bersih kumulatif 14 emiten ini tercatat naik 99% dari semula hanya Rp 9,07 triliun kini melonjak menjadi Rp 19,28 triliun, dengan kinerja laba terbaik dicatatkan oleh Bayan yang juga mengalami pertumbuhan laba terbesar.

Emiten lainnya dengan kinerja laba impresif termasuk ITMG, PTBA, GEMS dan ADRO dengan perolehan berkisar antara 1,6 hingga 2,4 triliun rupiah.

Next: Para 'Penguasa' Emiten Tambang Batu Bara RI

Penguatan harga batu bara ini tentunya diproyeksikan bakal mengerek pendapatan perusahaan di kuartal III tahun ini dan berimbas pada performa laba emiten-emiten baru bara.

Dengan demikian, para pemilik perusahaan batu bara akan mendapatkan cuan dari dua hal, pertama, dividen dari laba bersih dan kedua dari pergerakan harga saham emiten batu bara.

Siapa saja yang diuntungkan dari meningkatnya harga batubara tahun ini?

Berikut Tim Riset CNBC Indonesia coba merangkum beberapa individu, keluarga atau konglomerat penguasa industri batubara Indonesia.

1. Low Tuck Kwong

Dato' Dr. Low Tuck Kwong, dilahirkan di Singapura 17 April 1948 dan berganti kewarganegaraan menjadi WNI pada 1992 memperoleh pundi-pundi dari kepemilikan saham di PT Bayan Resources Tbk (BYAN).

Titik balik kesuksesannya terjadi pada tahun 1997 ketika ia mengakuisisi tambang batubaranya pertamanya yaitu PT Gunungbayan Pratamacoal.

BYAN merupakan emiten dengan kapitalisasi terbesar yang fokus utama bisnis pertambangan batubara. Tercatat kapitalisasi pasar mencapai Rp 49,50 triliun, lebih besar dari Grup Adaro ataupun emiten tambang batu bara pelat merah Bukit Asam (PTBA).

Hingga tengah tahun ini (semester I) pendapatan Bayan tercatat naik 47% menjadi US$ 1,02 miliar (Rp 14,63 triliun), sedangkan laba bersihnya meningkat 387% menjadi US$ 337,05 juta (Rp 4,82 triliun).

Berdasarkan data real time billionaire yang dirilis Forbes, per 20 September 2021 Low Tuck Kwong tercatat sebagai taipan terkaya nomor 16 di Indonesia dengan total kekayaan mencapai US$ 1,20 miliar atau setara dengan Rp 17,16 triliun (kurs Rp 14.300/US$).

Mengacu data BEI per Selasa (28/9), dalam sebulan terakhir harga saham BYAN tercatat naik 49%, sedangkan selama tiga bulan terakhir tumbuh sebesar 60%.

2. Trio Boy Thohir, TP Rachmat, Edwin Soeryadjaya & Subianto

Kakak kandung Menteri BUMN RI Erick Thohir yakni Garibaldi 'Boy' Thohir bersama TP Rachmat dan Edwin Soeryadjaya mendirikan emiten raksasa PT Adaro Energy Tbk (ADRO), yang ketika pertama kali melantai di bursa tahun 2008 silam berhasil memperoleh dana IPO (penawaran umum saham perdana) terbesar sepanjang sejarah yang baru-baru ini rekornya dipecahkan oleh PT Bukalapak Tbk (BUKA).

Satu lagi yang juga memiliki saham perusahaan yakni Arini Saraswaty Subianto, anak tertua dari mendiang taipan Benny Subianto. Arini masuk urutan 43 terkaya versi Forbes 2020 dengan kekayaan US$ 610 juta atau Rp 8,7 triliun.

Lokasi penambangan Adaro tersebar di Pulau Sumatra dan Kalimantan, selain itu terdapat juga situs penambangan berlokasi di Australia yang baru diakuisisi tahun 2018 lalu.

Beberapa perusahaan pertambangan di bawah Adaro Group antara lain PT Mustika Indah Permai (MIP), PT Bukit Enim Energi (BEE), Adaro Metcoal Companies (AMC), PT Bhakti Energi Persada (BEP) dan banyak lagi.

Selain perusahaan tambang, Boy dan TP Rachmat juga masih punya banyak perusahaan lainnya.

Hingga tengah tahun ini pendapatan Adaro tercatat naik 15% menjadi US$ 1,56 miliar (Rp 22,34 triliun), sedangkan laba bersihnya meningkat 10% menjadi US$ 169,96 juta (Rp 2,43 triliun).

Data real time billionaire Forbes mencatat TP Rachmat sebagai taipan terkaya nomor 12 di Indonesia dengan total kekayaan mencapai US$ 2,00 miliar atau setara dengan Rp 28,6 triliun.

Dalam sebulan terakhir harga saham ADRO tercatat naik 31%, sedangkan selama tiga bulan terakhir tumbuh sebesar 34%.

NEXT: Ada Kiki Barki hingga Sudwikatmono

3. Kiki Barki

Kiki Barki Makmur adalah pengusaha batu bara pemilik PT Harum Energy Tbk (HRUM). Tahun 2010 silam namanya masuk dalam daftar 40 Orang Terkaya Indonesia versi Majalah Forbes dengan kekayaannya mencapai US$ 1,7 miliar. Terakhir kali namanya muncul di daftar orang terkaya Forbes adalah pada tahun 2013 dengan kekayaan US$ 680 juta.

Meskipun telah lama absen di datar Forbes, kekayaan Kiki Barki tentu masih sangat besar mengingat bisnis batubara miliknya ikut terdongkrak oleh kenaikan harga komoditas tersebut.

Harum Energy merupakan induk perusahaan yang didirikan pada tahun 1995, dengan portofolio usaha di bidang pertambangan batu bara dan kegiatan logistik berlokasi di Kalimantan Timur, Indonesia. Melalui PT Karunia Bara Perkasa Kiki Barki menguasai 79,79% saham HRUM.

Hingga tengah tahun ini pendapatan HRUM tercatat naik 13% menjadi US$ 108,96 juta (Rp 1,56 triliun), sedangkan laba bersihnya malah ambles 52% menjadi US$ 10,35 juta (Rp 148,01 miliar).

Dalam sebulan terakhir harga saham HRUM tercatat naik 70%, sedangkan selama tiga bulan terakhir tumbuh sebesar 59%.

4. Jardine Matheson (Grup Astra)

Konglomerasi Grup Astra yang memiliki gurita bisnis di berbagai sektor, juga memiliki unit pertambangan batu bara, selain sektor otomotif dan jasa keuangan. Bisnis tambang batubara Grup Astra dilakukan oleh PT United Tractors Tbk (UNTR) yang sahamnya 59,50% dimiliki oleh Astra.

Bisnis tambang batu bara memang bukanlah merupakan segmen bisnis utama UNTR, akan tetapi kontribusi yang diberikan cukup signifikan. Segmen usaha pertambangan batubara UNTR dijalankan oleh PT Tuah Turangga Agung (TTA).

Sampai dengan bulan Juni 2021 total penjualan batubara mencapai 6,3 juta ton, termasuk 1,4 juta ton batu bara metalurgi. Sejalan dengan peningkatan volume penjualan dan harga rata-rata, pendapatan segmen usaha Pertambangan Batu Bara naik sebesar 23% menjadi Rp7,5 triliun.

Hingga tengah tahun ini pendapatan UNTR secara keseluruhan tercatat naik 11% menjadi Rp 37,31 triliun, sedangkan laba bersihnya meningkat 11% menjadi Rp 4,51 triliun.

Dalam sebulan terakhir harga saham UNTR tercatat naik 22%, sedangkan selama tiga bulan terakhir tumbuh sebesar 15%.

Pemegang saham pengendali Astra (50,11% saham) yakni Jardine Matheson, perusahaan investasi asal Hong Kong-Inggris, lewat anak usahanya Jardine Cycle & Carriage Ltd.

5. Keluarga Sudwikatmono dan Lo Kheng Hong

Indika Group yang merupakan singkatan dari Industri Media dan Informatika telah berkembang menjadi salah satu perusahaan energi terdiversifikasi di Indonesia dengan portofolio bisnis yang mencakup sumber daya energi, jasa energi dan infrastruktur.

Masuknya Indika ke industri batu bara dimulai dengan mengakuisisi PT Kideco Jaya Agung pada tahun 2004 dengan harga senilai US$ 150 juta. Bersama anak usahanya, Indika tercatat merupakan salah satu perusahaan batubara terbesar dalam negeri.

Selanjutnya, bisnis Indika terus berkembang dengan mengakuisisi PT Petrosea Tbk (PTRO) pada 2009.

Indika Energy mencatatkan laba bersih US$ 12,01 juta atau setara dengan Rp 174 miliar (kurs Rp 14.500/US$) di 6 bulan pertama tahun ini, dari periode yang sama tahun lalu rugi bersih US$ 21,92 juta atau Rp 318 miliar.

Dengan demikian laba per saham menjadi US$ 0,0023 dari sebelumnya rugi per saham US$ 0,0042.

Sementara itu pendapatan PTRO juga naik 10% menjadi US$ 193,90 juta dan laba bersih meningkat 30% menjadi US$ 11,76 juta.

Dalam sebulan terakhir harga saham INDY tercatat naik 32%, sedangkan selama tiga bulan terakhir tumbuh sebesar 34%. Sementara itu harga saham PTRO dalam sebulan terakhir tercatat naik 7%, sedangkan selama tiga bulan terakhir tumbuh sebesar 24%.

Saham INDY dipegang oleh PT Indika Inti Investindo sebesar 37,79%, 30,65% dikuasai PT Teladan Resources dan 31,28% dikuasai investor publik.

Pemilik saham mayoritas Indika Inti adalah Agus Lasmono Sudwikatmono. Situs resmi INDY mencatat, Agus Lasmono adalah pendiri dan pemilik Indika Energy, sebelumnya dia menjabat sebagai Wakil Komisaris Utama Indika Energy dari tahun 2007 sampai 2017.

Pada 2010, Agus Lasmono masuk menjadi salah satu anak muda terkaya versi Forbes dengan kekayaan mencapai US$ 845 juta saat itu atau sekitar Rp 12 triliun kurs saat ini Rp 14.300/US$).

Satu lagi yang juga berpotensi cuan yakni investor Lo Kheng Hong (LKH) yang memegang 15,01% atau sebanyak 151.422.200 saham PTRO, anak usaha INDY. LKH sebelumnya resmi menjual semua kepemilikan sahamnya di PT Mitrabahtera Segara Sejati Tbk (MBSS) sebanyak 107.012.600 saham (6,115%), mengikuti INDY yang juga melepas saham MBSS.

6. Keluarga Bakrie

Grup Bakrie tercatat memiliki bisnis di hampir semua sektor penting perekonomian. Gurita bisnis Grup Bakrie mencakup bisnis pertambangan, energi, infrastruktur, jasa keuangan, kesehatan, telekomunikasi, media, perkebunan hingga teknologi.

Roda bisnis bidang pertambangan milik Grup Bakrie dilaksanakan oleh PT Bumi Resources Tbk(BUMI) yang mana ketiga anak Nirwan Bakrie menjabat posisi penting di Grup Bumi, mulai dari jabatan presiden direktur hingga anggota komisaris.

BUMI mengendalikan dua raksasa tambang batu bara tanah air yakni PT Kaltim Prima Coal (KPC) dan PT Arutmin Indonesia.

Hingga paruh pertama tahun ini pendapatan BUMI tercatat turun 4% menjadi US$ 421,86 juta, sedangkan perusahaan mampu memperoleh laba bersih US$ 1,89 juta dari semula mengalai kerugian US$ 86,11 juta pada Juni 2020 lalu.

Dalam sebulan terakhir harga saham BUMI tercatat naik 20%, sedangkan selama tiga bulan terakhir tumbuh sebesar 10%.

Selain yang telah disebutkan di atas masih terdapat beberapa konglomerasi besar penguasa industri batu bara nasional, seperti emiten pelat merah PT Bukit Asam Tbk (PTBA) yang hingga paruh pertama tahun ini mencatatkan kenaikan pendapatan 14% menjadi Rp 10,29 triliun dengan laba bersih juga meningkat 38% menjadi Rp 1,79 triliun.

Grup Sinarmas juga memiliki usaha tambang batu bara yang berlokasi di Berau Kalimantan Timur yang bisnisnya dijalankan oleh PT Golden Energy Mines Tbk (GEMS). Beberapa pemain besar lainnya termasuk PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) milik Banpu Minerals Singapura dan emiten milik Luhut Binsar Pandjaitan, TBS Energi Utama Tbk (TOBA).

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular