Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia adalah negara eksportir komoditas. Batu bara, minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO), tembaga, sebut saja. Indonesia punya, karena orang bilang tanah kita tanah surga...
Kebetulan saat ini tengah terjadi siklus super (super-cycle) harga komoditas. Sejak akhir 2020 (year-to-date), harga batu bara meroket 160,87% secara point-to-point. Sementara harga CPO melesat 23,53%, tembaga melonjak 20,32%, timah melambung 74,46%, dan nikel naik 12,21%.
Kenaikan harga komoditas benar-benar terasa di kinerja ekspor Indonesia. Pada Agustus 2021, nilai ekspor Indonesia mencapai US$ 21,42 miliar. Ini adalah rekor tertinggi sepanjang sejarah Indonesia merdeka.
Derasnya devisa yang mengalir dari ekspor ini menjadi pijakan kuat bagi stabilitas nilai tukar rupiah. Sejak awal kuartal III-2021, rupiah menguat 1,33% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di perdagangan pasar spot. Rupiah jadi mata uang terbaik di Asia.
Halaman Selanjutnya --> Sampai Kapan Rupiah Berjaya?
Namun, sampai kapan ini terjadi? Sampai kapan rupiah mampu mempertahankan takhta sebagai 'raja' Asia?
Dalam riset terbaru berjudul FX Fundamentals: What Happens When Commodities Reverse?, Citi memperkirakan kejayaan rupiah masih akan terjadi dalam waktu dekat. Sebab, surplus neraca perdagangan seiring kencangnya laju ekspor akan tetap tinggi setidaknya sampai akhir 2021.
"Citi memperkirakan harga gas alam akan terus naik hingga musim dingin 2021 karena ketatnya pasokan. Ini akan mendorong penggunaan baru bara, yang merupakan komoditas andalan ekspor Indonesia," sebut Helmi Arman, Ekonom Citi.
Di sisi lain, lanjut Helmi, impor masih terbatas karena dunia usaha sedang dalam masa pemulihan akibat kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegatan Masyarakat (PPKM) ketat pada Juli-Agustus 2021. Hasilnya, transaksi berjalan (current account) Indonesia akan semakin rendah, dekat dengan 0% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit transaksi berjalan yang semakin rendah akan memperkuat fundamental rupiah.
Namun, tambah Helmi, Indonesia harus hati-hati. Sebab, perkembangan positif ini lebih dipengaruhi oleh faktir siklus, bukan sesuatu yang bersifat struktural.
"Perbaikan neraca perdagangan Indonesia pada 2021 disebabkan oleh tiga hal. Satu, kenaikan harga komoditas andalan ekspor. Dua, pertumbuhan impor masih lambat karena permintaan domestik belum sepenuhnya pulih. Tiga, peningkatan volume ekspor logam karena peningkatan kapasitas produksi.
"Dua faktor yang disebut pertama bersifat siklus. Hanya satu yang sifatnya strukutral, yaitu yang ketiga," terang Helmi.
Harga komoditas tidak bisa selamanya naik, pasti ada siklus pembalikan seperti yang terjadi pada 2012-2014 setelah lonjakan harga pada 2010-2011. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin tren pembalikan itu akan terjadi 2022 alias tahun depan.
"Surplus neraca perdagangan kemungkinan akan mulai mengecil pada 2022. Ditambah lagi kenaikan harga komoditas akan mendongkrak ekspektasi inflasi sehingga mempengaruhi minat investor di pasar keuangan. Akibatnya, ruang penguatan rupiah menjadi terbatas," tulis Helmi.
TIM RISET CNBC INDONESIA