
Menanti Raksasa Teknologi dari RI, Siapa yang Jadi Penguasa?

Sejak revolusi industri, perusahaan berlomba untuk mengumpulkan bahan baku material, properti, mendirikan pabrik, dan mengumpulkan peralatan dalam jumlah banyak, perusahaan percaya bahwa dengan memiliki dan menguasai lebih banyak aset akan menjadikan perusahaan lebih berharga.
Selama bertahun-tahun hal tersebut memang benar.
Di AS perusahaan seperti General Electric, General Motors, Exxon Mobile, dan Walmart dapat menggunakan keunggulan kompetitif tersebut untuk bersaing dan terus berkembang menjadi semakin besar.
Akan tetapi dengan maraknya ekonomi digital dan transformasi teknologi yang super canggih menjadikan kepemilikan aset tidak lagi menjadi faktor dengan pengaruh besar. Beberapa perusahaan digital baru tidak menjual produk berwujud melainkan menawarkan pengalaman dan jasa seperti Netflix, Spotify dan Uber.
Perusahaan-perusahaan tersebut tidak berfokus untuk memiliki aset seperti film, musik, dan mobil melainkan menyediakan layanan yang memungkinkan kita untuk berbagi apa yang kita miliki (wawasan, hubungan, aset) dengan orang lain.
Ini adalah pergeseran yang cukup besar dengan perusahaan ritel terbesar yakni Amazon hanya memiliki segelintir toko fisik, sementara itu Uber tidak membeli mobil untuk armada bisnis, dan Ebay tidak mengelola rantai pasokan.
Barry Libert, Megan Beck, dan Yoram Wind dalam tulisannya di Harvard Business Review berargumen bahwa di era digital, aset fisik yang diperoleh perusahaan industri besar menjadi semakin memberatkan.
Persediaan terdepresiasi dan harus dipindahkan. Ketika lokasi geografis berubah, tanah sulit dijual di tempat lama dan juga sama sulitnya diperoleh di tempat baru. Selain itu peralatan harus dipelihara di dunia yang menjadi semakinvirtual. Dalam beberapa kasus, aset ini menghalangi perusahaan untuk beradaptasi, sehingga membebani mereka. Seperti Blockbuster yang memiliki lemari penuh kaset VHS lama dan kotak CD yang tanpa sadar telah ditenggelamkan oleh Netflix.
Korporasi tradisional dengan aset raksasa yang dulunya berada di urutan teratas daftar yang paling dikagumi semua orang kini mulai terlihat kuno, bergerak lambat, dan tidak fleksibel - terutama bagi investor.
Contoh paling signifikan terlihat di sektor otomotif, dimana perusahaan dengan aset raksasa seperti Toyota (US$ 484 miliar) dan Volkwagen (US$ 567 miliar) memiliki kapitalisasi yang jauh lebih rendah dari pada Tesla (US$ 52 miliar) yang sebagian besar dan juga paling berharga adalah aset tak berwujud seperti inovasi dan paten.
Kapitalisasi pasar Toyota adalah senilai US$ 304 miliar, VW memiliki valuasi senilai US$ 139 miliar, sedangkan valuasi Tesla lebih dari dua kali lipatnya Toyota di angka US$ 791 miliar.
Perusahaan teknologi lain seperti Microsoft, Facebook dan Alphabet (induk Google) juga memiliki aset yang relatif kecil dari kapitalisasi pasarnya.
Jika tech boom di Indonesia masih terus berlanjut, perusahaan-perusahaan rintisan yang kelak diperdagangkan publik sepertinya memiliki jalan yang relatif sama, akan tumbuh besar tapi bukan dari kepemilikan besar pada aset berwujud melainkan kemampuan memanfaatkan aset tidak berwujud.
[Gambas:Video CNBC]