Indonesia merupakan pasar terbesar baik dari segi potensi ekonomi maupun jumlah perusahaan rintisan (startup) yang juga paling banyak.
Ukuran pasar yang terus berkembang menjadikan perusahaan rintisan teknologi di Indonesia berpeluang besar tumbuh secara organik, sementara itu perusahaan teknologi raksasa pun masih dapat tumbuh secara anorganik dengan melakukan merger maupun akuisisi untuk melengkapi ekosistem bisnis mereka. Keberadaan konglomerasi baru ini bisa menjadi pesaing bagi emiten kakap di pasar modal tanah air.
Potensi ekonomi yang luar biasa ini menjadikan sejumlah konglomerasi besar tanah air gencar melakukan ekspansi ke sektor teknologi maupun ekosistem digital. Sektor yang sedang moncer ini ditengarai memiliki prospek yang cukup baik di masa mendatang.
Di Bursa Efek Indonesia, indeks teknologi atau IDXTECHNO yang membawahi emiten di sektor teknologi yang belum lama ini diluncurkan melaju cukup kencang. Sejak awal tahun, indeks teknologi BEI sudah menguat 418% kala Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hanya naik tipis 0,25%.
CNBC Indonesia mencatat, terdapat sejumlah konglomerasi yang melakukan ekspansi ke bisnis digital antara lain Salim Grup melalui Anthoni Salim yang belakangan memborong saham emiten data center yang baru IPO di awal tahun ini. Selain itu Grup Djarum dan Emtek juga melakukan ekspansi besar-besar ke sektor teknologi.
Selain pembelian saham perusahaan teknologi yang sudah melantai di bursa, konglomerasi bisnis besar di Indonesia banyak yang lebih fokus untuk melakukan investasi dan menyuntik modal di perusahaan rintisan. Salah satu contohnya adalah Grup Lippo yang melalui PT Multipolar TBK (MLPL) menyuntik modal di perusahaan startup edukasi Ruangguru dengan nilai investasi mencapai Rp 700 miliar.
Aksi ini memperluas portofolio Grup Lippo yang sebelumnya sudah memiliki OVO, Mbiz, Linknet, Matahari, Hypermart, Bank Nobu, dan beberapa lainnya.
Prospek yang cerah ini tentu juga didorong oleh animo masyarakat yang tidak ingin ketinggalan di pasar new economy. Deputi Gubernur Bank Indonesia, Rosmaya Hadi menyebut bahwa transaksi ekonomi dan keuangan digital yang terus meningkat merupakan salah satu peluang untuk mendorong perekonomian Indonesia agar lebih baik di tengah pandemi Covid-19.
Menurut Rosmaya kemajuan teknologi ini dapat menjadi tumpuan untuk melakukan lompatan ke depan khususnya dalam sumber pertumbuhan baru yang mengedepankan kreativitas dan inovasi.
Tech boom yang mulai ramai beberapa tahun ke belakang semakin dipercepat akibat situasi pandemi. Kondisi ini tidak hanya di negara maju seperti AS melainkan juga di hampir semua ekonomi termasuk di pasar emerging market seperti Indonesia.
Keterbatasan ruang gerak dimanfaatkan dengan baik oleh perusahaan-perusahaan teknologi. Hal-hal dasar seperti belanja baik untuk leisure maupun kebutuhan pokok, pembelajaran, konsultasi dokter, pembayaran dan sektor finansial, hingga hiburan kini semua dilakukan secara daring.
Ekonomi baru ini tentu akan menantang status quo emiten-emiten konglomerasi raksasa yang masih bergeming dan puas diri akan kinerja bisnis yang terbukti ampuh menghasilkan keuntungan besar selama berpuluh-puluh tahun.
Saat ini setidaknya ada lima perusahaan besar teknologi di Tanah Air, tiga diantaranya adalah pemain baru yakni GoTo, Sea Grup, Grab, sedangkan dua lainnya bagian dari konglomerasi lama yaitu Emtek, dan Grup Djarum.
Hal itu terungkap dalam riset terbaru PT Syailendra Capital bertajuk Syailendra Market Insight periode 24 September.
Lima grup ini terus melengkapi ekosistem bisnis digital sebagai new economy yang terdiri dari 6 lini bisnis utama, yakni e-commerce, financial, streaming, logistik, food delivery dan fresh product.
Dari kelima grup tersebut, hanya GoTo grup yang sudah memenuhi semuanya. Misalnya, untuk e-commerce mereka memiliki Tokopedia, Bank Jago di bisnis finansial, Go-Play di bisnis streaming.
Go-Send dan Anteraja untuk logistik, Go-Food di bisnis pengantaran makanan dan Hypermart, yang dikelola emiten Grup Lippo, PT Matahari Putra Prima Tbk (MPAA), untuk fresh product.
Sementara itu, Sea Grup asal Singapura, saat ini sudah memiliki Shopee, Seabank, Shopee Express dan Shopee Food. Mereka belum memiliki bisnis streming dan fresh product.
Grab Group dari Singapura saat ini juga sudah memiliki OVO, Grab Express, dan Grab Food. Mereka masih memiliki gap di bisnis e-commerce, streaming dan fresh product.
Lainnya, Emtek Grup (PT Elang Mahkota Teknologi Tbk/EMTK) juga terus gencar berinvestasi di bisnis digital. Saat ini Grup Emtek menjadi pengendali di PT Bukalapak Tbk (BUKA), DANA di bisnis finansial, dan Vidio untuk bisnis streaming. Namun, masih ada gap di bisnis logistik, pengantaran makanan dan fresh produt.
Bertambah lagi mereka juga sudah punya rumah sakit PT Sarana Meditama Metropolitan Tbk (SAME), pengelola Omni Hospitals, dan PT Kedoya Adyaraya Tbk (RSGK), pengelola RS Grha Kedoya.
Sedangkan, Grup Djarum tercatat sudah memiliki Blibli, Blu untuk bank digital, Mola TV di bisnis streaming dan Ranch Market. Djarum masih memiliki gap di bisnis logistik dan food delivery.
Dalam kesempatan terpisah, Direktur Panin Asset Management, Rudiyanto mengungkapkan, secara tren, ke depannya saham-saham berbasis new economy akan terus bertumbuh. Dia pun mengakui, saat ini saham Bukalapak termasuk dalam salah satu portofolio perseroan.
Dia menilai, pada saat ini, perbaikan laporan keuangan menuntut investor cukup realistis dengan mengalihkan investasi mereka saham-saham yang menjadi anggota indeks LQ45 yang sejak awal tahun ini masih terkoreksi. Untuk itu, emiten di sektor new economy harus membuktikan kinerjanya agar semakin menarik bagi investor.
Sejak revolusi industri, perusahaan berlomba untuk mengumpulkan bahan baku material, properti, mendirikan pabrik, dan mengumpulkan peralatan dalam jumlah banyak, perusahaan percaya bahwa dengan memiliki dan menguasai lebih banyak aset akan menjadikan perusahaan lebih berharga.
Selama bertahun-tahun hal tersebut memang benar.
Di AS perusahaan seperti General Electric, General Motors, Exxon Mobile, dan Walmart dapat menggunakan keunggulan kompetitif tersebut untuk bersaing dan terus berkembang menjadi semakin besar.
Akan tetapi dengan maraknya ekonomi digital dan transformasi teknologi yang super canggih menjadikan kepemilikan aset tidak lagi menjadi faktor dengan pengaruh besar. Beberapa perusahaan digital baru tidak menjual produk berwujud melainkan menawarkan pengalaman dan jasa seperti Netflix, Spotify dan Uber.
Perusahaan-perusahaan tersebut tidak berfokus untuk memiliki aset seperti film, musik, dan mobil melainkan menyediakan layanan yang memungkinkan kita untuk berbagi apa yang kita miliki (wawasan, hubungan, aset) dengan orang lain.
Ini adalah pergeseran yang cukup besar dengan perusahaan ritel terbesar yakni Amazon hanya memiliki segelintir toko fisik, sementara itu Uber tidak membeli mobil untuk armada bisnis, dan Ebay tidak mengelola rantai pasokan.
Barry Libert, Megan Beck, dan Yoram Wind dalam tulisannya di Harvard Business Review berargumen bahwa di era digital, aset fisik yang diperoleh perusahaan industri besar menjadi semakin memberatkan.
Persediaan terdepresiasi dan harus dipindahkan. Ketika lokasi geografis berubah, tanah sulit dijual di tempat lama dan juga sama sulitnya diperoleh di tempat baru. Selain itu peralatan harus dipelihara di dunia yang menjadi semakinvirtual. Dalam beberapa kasus, aset ini menghalangi perusahaan untuk beradaptasi, sehingga membebani mereka. Seperti Blockbuster yang memiliki lemari penuh kaset VHS lama dan kotak CD yang tanpa sadar telah ditenggelamkan oleh Netflix.
Korporasi tradisional dengan aset raksasa yang dulunya berada di urutan teratas daftar yang paling dikagumi semua orang kini mulai terlihat kuno, bergerak lambat, dan tidak fleksibel - terutama bagi investor.
Contoh paling signifikan terlihat di sektor otomotif, dimana perusahaan dengan aset raksasa seperti Toyota (US$ 484 miliar) dan Volkwagen (US$ 567 miliar) memiliki kapitalisasi yang jauh lebih rendah dari pada Tesla (US$ 52 miliar) yang sebagian besar dan juga paling berharga adalah aset tak berwujud seperti inovasi dan paten.
Kapitalisasi pasar Toyota adalah senilai US$ 304 miliar, VW memiliki valuasi senilai US$ 139 miliar, sedangkan valuasi Tesla lebih dari dua kali lipatnya Toyota di angka US$ 791 miliar.
Perusahaan teknologi lain seperti Microsoft, Facebook dan Alphabet (induk Google) juga memiliki aset yang relatif kecil dari kapitalisasi pasarnya.
Jika tech boom di Indonesia masih terus berlanjut, perusahaan-perusahaan rintisan yang kelak diperdagangkan publik sepertinya memiliki jalan yang relatif sama, akan tumbuh besar tapi bukan dari kepemilikan besar pada aset berwujud melainkan kemampuan memanfaatkan aset tidak berwujud.