
Dolar AS Jadi "Bom Waktu", Buang atau Simpan nih?

Bank Indonesia (BI) dalam pengumuman kebijakan moneter pekan lalu memperkirakan tapering kali ini tidak akan berdampak sebesar 2013-2015, dan BI juga sudah siap.
"Insya Allah dengan berbagai asesmen, kondisi ekonomi, dan pengalaman yang kami lakukan, dampak tapering The Fed bisa diantisipasi secara baik dan lebih rendah dibandingkan taper tantrum pada 2013," tegas Perry dalam konferensi pers usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI periode September 2021, Selasa (21/9).
Menurut Perry, ada tiga alasan. Satu, The Fed melakukan komunikasi yang baik kepada investor, media massa, dan masyarakat.
Dengan komunikasi yang baik, lanjut Perry, pasar pun tidak 'meledak-ledak'. Memang imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS naik merespons isu tapering, tetapi relatif kecil. Tidak seperti 2013, di mana dalam tempo dua bulan yield US Treasury Bonds melonjak menjadi 3,5%.
Dua, BI menjalin kerja sama dengan pemerintah untuk melakukan stabilisasi di pasar. Untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, BI tetap menjalankan intervensi di tiga pasar (triple intervention) yaitu di pasar spot, Domestic Non-Deliverable Forwards (DNDF), dan pembelian Surat Berharga Negara (SBN).
"Sejak awal tahun, kecuali Februari, BI tidak banyak melakukan intervensi. Bekerjanya mekanisme pasar melakukan penyesuaian, rupiah tetap stabil," ungkap Perry.
Tiga, tambah Perry, ketahanan ekonomi domestik sudah jauh lebih baik. Defisit transaksi berjalan (current account deficit) relatif sehat di 0,6-1,4% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dibandingkan 2018 yang di atas 3% PDB. Kemudian cadangan devisa mencapai lebih dari US$ 144 miliar.
Tetapi, yang dihadapi BI tidak hanya tapering, ada juga suku bunga The Fed. Melihat proyeksi terbaru The Fed suku bunga bisa naik di tahun depan. BI kemungkinan tidak ahead the curve, jika melihat proyeksi terakhirnya.
Ahead the curve, merupakan jargon yang sering kali disebutkan Gubernur BI Perry Warjiyo pada tahun 2018 lalu.
"Kebijakan suku bunga acuan akan ditempuh pre-emptif dan ahead the curve untuk stabilisasi nilai tukar di samping konsisten jaga inflasi agar terkendali,' papar Perry saat menaikkan suku bunga pada Mei 2018.
Jargon ahead the curve yang dimaksud Perry mengacu kepada sikap hawkish yang diterapkannya dalam merespons normalisasi tingkat suku bunga acuan yang dilakukan oleh bank sentral AS (The Fed).
Sikap tersebut kembali ditunjukkan Perry Agustus lalu yang membuka peluang kenaikan suku bunga di akhir 2022.
Sejak pandemi virus corona mendera Indonesia tahun lalu, BI sudah menurunkan suku bunga acuan sebanyak 125 basis poin (bps). Kini BI 7 Day Reverse Repo Rate berada di 3,5%, terendah sepanjang sejarah.
Namun MH Thamrin sudah mulai memikirkan mengenai kapan mengakhiri kebijakan moneter ekspansif. Jika data yang ada mendukung, maka bukan tidak mungkin suku bunga mulai dinaikkan pada akhir tahun depan.
"Sudah ada rencana exit policy dari BI dengan mengurangi likuiditas sedikit-sedikit. Baru kemungkinan akhir 2022 masalah suku bunga. Tentu saja ada data yang harus kita lihat," ungkap Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam konferensi pers secara virtual, Selasa (24/8/2021).
Jika BI tidak ahead the curve, alias The Fed lebih dulu menaikkan suku bunga, maka risiko terjadinya capital outflow semakin besar, dan rupiah bisa bergejolak.
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]