Dolar AS Jadi "Bom Waktu", Buang atau Simpan nih?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
28 September 2021 13:45
Ketua Federal Reserve Board Jerome Powell
Foto: Ketua Federal Reserve Board Jerome Powell (REUTERS/Yuri Gripas)

Meski posisi net long dolar AS sedang menumpuk, tetapi dolar AS bisa dikatakan masih adem ayem. Sebabnya, belum ada kepastian kapan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) akan dilakukan.

Pengumuman tapering akan menjadi pemicu "ledakan" dolar AS, apalagi jika dibarengi dengan menguatnya proyeksi kenaikan suku bunga di AS pada tahun depan.

Pemicunya tersebut bisa muncul pada bulan November atau Desember, saat The Fed yang diprediksi akan mengumumkan waktu tapering, apalagi jika semakin banyak anggota The Fed yang melihat suku bunga akan naik di tahun depan.

Setiap akhir kuartal, bank sentral pimpinan Jerome Powell ini akan memberikan proyeksi suku bunganya, terlihat dari dot plot. Artinya, di bulan Desember akan ada Fed dot plot lagi. Setiap titik dalam dot plot tersebut merupakan pandangan setiap anggota The Fed terhadap suku bunga.

idr

Dalam dot plot yang terbaru, sebanyak 9 orang dari 18 anggota Federal Open Market Committee (FOMC) kini melihat suku bunga bisa naik di tahun depan. Jumlah tersebut bertambah 7 orang dibandingkan dot plot edisi Juni. Saat itu mayoritas FOMC melihat suku bunga akan naik di tahun 2023.

Artinya, terjadi perubahan proyeksi suku bunga yang signifikan. Kenaikan suku bunga yang lebih cepat dari sebelumnya lebih berisiko memicu capital outflow dari Indonesia, dan negara emerging market lainnya, sehingga menimbulkan gejolak di pasar finansial global. Apalagi, jika The Fed nantinya agresif dalam menaikkan suku bunga.

Sekedar mengingatkan, pada tahun 2013, tapering yang dilakukan The Fed memicu gejolak di pasar finansial yang disebut taper tantrum. Dolar AS "meledak" saat itu, indeksnya meroket sekitar 25% hingga akhir 2015.

Rupiah menjadi salah satu korban keganasan taper tantrum kala itu. Sejak The Fed mengumumkan tapering pada Juni 2013 nilai tukar rupiah terus merosot hingga puncak pelemahan pada September 2015.

Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ sementara pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%.

Saat itu, pasar dikejutkan dengan pengumuman tapering, sementara saat ini The Fed sudah menyampaikannya jauh-jauh hari sehingga pasar lebih bersiap, dan taper tantrum diperkirakan tidak akan terjadi atau tidak akan separah 2013.

Tetapi, dengan dot plot terbaru, artinya ada risiko suku bunga naik setelah tapering selesai. Ini tentunya akan lebih cepat ketimbang tahun 2013. Saat itu tapering selesai di bulan Oktober 2014, dan suku bunga baru dinaikkan pada Desember 2015. Artinya, ada jeda lebih dari satu tahun.

Sementara kali ini, kemungkinan jeda bisa jadi kurang dari 6 bulan, sebab The Fed berpeluang besar mulai melakukan tapering pada bulan Desember.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Nasib Rupiah di Tangan BI

(pap/pap)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular