Right Issue Terbesar Sukses, Market Cap BRI Melesat Rp 69 T

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
27 September 2021 12:15
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Pekan lalu, sentimen investor dihadaopi oleh krisis likuiditas dari perusahaan properti terbesar kedua di China, yakni China Evergrande Group.

Krisis likuiditas Evergrande telah membuat investor kembali khawatir, di mana kekhawatiran tersebut sempat berdampak ke pasar aset berisiko seperti saham dan kripto pada pekan lalu.

Bursa saham global, termasuk IHSG pun sempat berjatuhan pada awal pekan lalu, karena investor menilai bahwa krisis keuangan Evergrande dapat berdampak luas ke perekonomian China, bahkan mungkin global.

Namun pada Rabu (22/9/2021) lalu, kekhawatiran investor sebenarnya sudah mulai mereda, setelah manajemen Evergrande berniat untuk menyelesaikan pembayaran bunga obligasi lokalnya pada Kamis (23/9/2021) lalu.

Selain itu, kabar positif juga sempat hadir, di mana pemerintah China telah memberikan bantuan dana hingga ratusan triliun rupiah ke sistem keuangan China. Hal ini dilakukan untuk menekan kekhawatiran pelaku pasar terhadap krisis Evergrande.

Pemerintah China melalui bank sentral China mengaku telah menyuntikkan dana sebesar 120 miliar yuan (US$ 18,6 miliar) atau Rp 264 trilun lebih ke sistem perbankan lewat reverse repurchase agreements. Secara net, suntikan yang diberikan bank sentral China mencapai 90 miliar yuan.

Alhasil, bursa Asia yang sebelumnya sempat berjatuhan mulai kembali stabil pada perdagangan Rabu lalu, meskipun untuk indeks Nikkei saat itu masih terkoreksi.

Tetapi, setelah investor mulai optimis masalah Evergrande dapat terselesaikan, ada permasalahan dari Evergrande yang belum terselesaikan hingga kini, di mana bunga obligasi dalam denominasi dolar Amerika Serikat (AS) masih belum dibayarkan oleh Evergrande.

Sementara itu, pemerintah China menyatakan kepada pejabat lokal di negara tersebut untuk bersiap-siap menghadapi kemungkinan terburuk dari permasalahan Evergrande, seperti yang dilaporkan oleh media asal AS, Wall Street Journal Rabu lalu.

Hal ini terjadi karena masih belum ada kepastian seputar kemampuan perseroan membayar kewajibannya dalam denominasi dolar Amerika Serikat (AS).

Pemerintahan Xi Jinping juga mengatakan bahwa pejabat lokal hanya boleh turun tangan disaat menit-menit terakhir untuk mencegah efek domino kasus tersebut.

Laporan WSJ menunjukkan kemungkinan pemerintah pusat masih memiliki keinginan untuk menyelamatkan Evergrande, terlepas dari implikasi globalnya.

Akibatnya mayoritas bursa Asia pada perdagangan akhir pekan lalu kembali melemah, di mana indeks Hang Seng dan Shanghai menjadi yang paling terdampak dari reaksi pasar Asia pada perdagangan Jumat lalu.

Selain berfokus pada masalah Evergrande, investor juga merespons positif dari sikap bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang tetap mempertahankan suku bunga acuannya di level mendekati nol (0-0,25%).

Meskipun The Fed masih terkesan dovish, namun program pengurangan obligasi atau tapering oleh The Fed sepertinya akan berlanjut, di mana The Fed akan memulai tapering pada November mendatang.

Di lain sisi, proyeksi ekonomi AS yang disebut dot plot menunjukkan sembilan dari 18 anggota FOMC mengharapkan kenaikan suku bunga pada tahun 2022. Angka tersebut naik dari tujuh anggota dalam proyeksi The Fed pada bulan Juni lalu.

Hal ini terjadi setelah ketua The Fed, Jerome Powell mengatakan dalam pidatonya bahwa "kemajuan lebih lanjut yang substansial" dari inflasi dan lapangan kerja mulai mulai mendekati target.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular