Jakarta, CNBC Indonesia - Tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) oleh bank sentral hampir pasti akan terjadi di penghujung tahun. Hal tersebut terindikasi dari pengumuman kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) Kamis (23/9) dini hari tadi.
Tapering layak diwaspadai sebab berisiko memicu taper tantrum seperti 2013. Tetapi sebenarnya ada yang lebih mengkhawatirkan, yakni dot plot, atau proyeksi suku bunga The Fed. Sejak pandemi penyakit virus corona (Covid-19) melanda, The Fed membabat habis suku bunganya menjadi 0,25%, dan bertahan hingga saat ini.
Setiap akhir kuartal, The Fed akan memberikan proyeksi suku bunganya, terlihat dari dot plot. Setiap titik dalam dot plot tersebut merupakan pandangan setiap anggota The Fed terhadap suku bunga.
Dalam dot plot yang terbaru, sebanyak 9 orang dari 18 anggota Federal Open Market Committee (FOMC) kini melihat suku bunga bisa naik di tahun depan. Jumlah tersebut bertambah 7 orang dibandingkan dot plot edisi Juni. Saat itu mayoritas FOMC melihat suku bunga akan naik di tahun 2023.
Artinya, terjadi perubahan proyeksi suku bunga yang signifikan. Kenaikan suku bunga yang lebih cepat dari sebelumnya lebih berisiko memicu capital outflow dari Indonesia, dan negara emerging market lainnya, sehingga menimbulkan gejolak di pasar finansial global. Apalagi, jika The Fed nantinya agresif dalam menaikkan suku bunga.
Kemungkinan The Fed agresif dalam menaikkan suku bunga terbuka cukup lebar. Sebab pada rapat kebijakan kali ini bank sentral pimpinan Jerome Powell ini juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi.
Saat proyeksi pertumbuhan ekonomi dipangkas, suku bunga diproyeksikan naik lebih cepat, menarik. Lantas, bagaimana jika pertumbuhan ekonomi AS malah lebih bagus dari proyeksi The Fed? Suku bunga tentunya bisa dinaikkan dengan agresif guna mencegah perekonomian AS overheating.
FOMC kini memproyeksikan produk domestik bruto (PDB) tahun ini tumbuh 5,9%, jauh di bawah proyeksi bulan Juni sebesar 7%. Tetapi untuk tahun 2022, diproyeksikan sebesar 3,8% naik dari sebelumnya 3,3%.
Inflasi di tahun ini diprediksi lebih tinggi, yang menjadi salah satu alasan The Fed akan melakukan tapering. Inflasi inti tahun ini diperkirakan tumbuh 3,7% naik dari sebelumnya 3%. Kemudian di tahun depan melambat menjadi 2,3% tetapi itu masih lebih tinggi dari proyeksi Juni 2,1%.
Sementara itu untuk pasar tenaga kerja, The Fed akan pesimistis. Tingkat pengangguran di akhir tahun nanti diperkirakan sebesar 4,8%, lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya 4,5%.
Meski demikian, Powell mengatakan pasar tenaga kerja tidak perlu fantastis, cukup yang bagus dan masuk akal untuk mencapai target.
"Untuk saya, tidak perlu laporan pasar tenaga kerja yang sangat bagus, sangat kuat. Pasar tenaga kerja perlu yang bagus dan masuk akal agar membuat saya merasa sudah mencapai target. Anggota FOMC yang lain, banyak diantara mereka yang merasa target sudah tercapai, yang lainnya ingin melihat kemajuan lebih lanjut," kata Powell dalam konferensi persnya.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Tapering Pertama Dilakukan Bulan Desember?
Pada tahun 2013, tapering yang dilakukan The Fed memicu gejolak di pasar finansial yang disebut taper tantrum. Rupiah menjadi salah satu korban keganasan taper tantrum kala itu. Sejak The Fed mengumumkan tapering pada Juni 2013 nilai tukar rupiah terus merosot hingga puncak pelemahan pada September 2015.
Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ sementara pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%.
Saat itu, pasar dikejutkan dengan pengumuman tapering. Sementara saat ini The Fed sudah menyampaikannya jauh-jauh hari sehingga pasar lebih bersiap, dan taper tantrum diperkirakan tidak akan terjadi.
Tetapi, dengan dot plot terbaru, artinya ada risiko suku bunga naik setelah tapering selesai. Ini tentunya akan lebih cepat ketimbang tahun 2013. Saat itu tapering selesai di bulan Oktober 2014, dan suku bunga baru dinaikkan pada Desember 2015. Artinya, ada jeda lebih dari satu tahun.
Sementara kali ini, kemungkinan jeda bisa jadi kurang dari 6 bulan, sebab The Fed berpeluang besar mulai melakukan tapering pada bulan Desember nanti.
Mengingat bulan depan tidak ada rapat kebijakan moneter The Fed, maka peluang tapering dilakukan Desember semakin besar. The Fed baru akan mengadakan rapat lagi pada bulan November, dan sangat kecil kemungkinannya langsung melakukan tapering, sebab hal tersebut bisa memicu gejolak di pasar finansial.
Skenario yang paling mungkin, pengumuman dilakukan di November, dan tapering pertama pada bulan Desember.
Peluang tapering di akhir tahun semakin menguat melihat proyeksi suku bunga terbaru The Fed. Mayoritas anggota The Fed kini melihat suku bunga akan dinaikkan tahun depan, lebih cepat dari proyeksi sebelumnya pada tahun 2023.
Apalagi Powell juga menyatakan tapering akan selesai pertengahan tahun depan. Nilai QE saat ini sebesar US$ 120 miliar per bulan.
Dari total US$ 120 miliar/bulan saat ini, The Fed membeli Treasury sebesar US$ 80 miliar/bulan dan efek beragun aset KPR US$ 40 miliar/bulan.
Kepala investasi di BlackRock, Rick Rieder, memperkirakan saat tapering dilakukan The Fed akan memangkas US$ 10 miliar pembelian obligasi (Treasury) dan US$ 5 miliar pembelian efek beragun aset KPR.
Artinya, jika The Fed konsisten setiap bulannya melakukan tapering US$ 10 miliar untuk Treasury dan US$ 5 miliar, maka nilai quantitative easing baru akan nol dalam tempo 8 bulan. Persis seperti proyeksi Powell selesai di pertengahan tahun depan.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> BI Tidak Ahead The Curve?
Melihat proyeksi terbaru The Fed suku bunga bisa naik di tahun depan. Bank Indonesia (BI) kemungkinan tidak ahead the curve, jika melihat proyeksi terakhirnya.
Ahead the curve, merupakan jargon yang sering kali disebutkan Gubernur BI Perry Warjiyo pada tahun 2018 lalu.
"Kebijakan suku bunga acuan akan ditempuh pre-emptif dan ahead the curve untuk stabilisasi nilai tukar di samping konsisten jaga inflasi agar terkendali,' papar Perry saat menaikkan suku bunga pada Mei 2018.
Jargon ahead the curve yang dimaksud Perry mengacu kepada sikap hawkish yang diterapkannya dalam merespons normalisasi tingkat suku bunga acuan yang oleh The Fed saat itu.
Sikap tersebut kembali ditunjukkan Perry Agustus lalu yang membuka peluang kenaikan suku bunga di akhir 2022.
Sejak pandemi virus corona mendera Indonesia tahun lalu, BI sudah menurunkan suku bunga acuan sebanyak 125 basis poin (bps). Kini BI 7 Day Reverse Repo Rate berada di 3,5%, terendah sepanjang sejarah.
Namun MH Thamrin sudah mulai memikirkan mengenai kapan mengakhiri kebijakan moneter ekspansif. Jika data yang ada mendukung, maka bukan tidak mungkin suku bunga mulai dinaikkan pada akhir tahun depan.
"Sudah ada rencana exit policy dari BI dengan mengurangi likuiditas sedikit-sedikit. Baru kemungkinan akhir 2022 masalah suku bunga. Tentu saja ada data yang harus kita lihat," ungkap Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam konferensi pers secara virtual, Selasa (24/8/2021).
Jika BI tidak ahead the curve, alias The Fed lebih dulu menaikkan suku bunga, maka risiko terjadinya capital outflow semakin besar.
TIM RISET CNBC INDONESIA