Akhir Tahun Ngeri Bagi RI, Ada Tapering & Corona Gelombang 3

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
23 September 2021 12:42
Gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Jerome Powell  (AP Photo/Steven Senne)
Foto: Gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Jerome Powell (AP Photo/Steven Senne)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pengumuman kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) masih belum memberikan waktu pasti kapan tapering akan dilakukan. Tetapi hampir pasti mengkonfirmasi pengurangan program pembelian aset (quantitative easing/QE) tersebut akan dilakukan pada bulan Desember.

Pasar keuangan Republik Indonesia (RI) wajib bersiap, sebab tidak hanya akan menghadapi tapering, tetapi juga potensi serangan virus corona gelombang ketiga di akhir tahun nanti.

Dalam pengumuman kebijakan moneter dini hari tadi, selain mempertahankan suku bunga acuan 0,25%, The Fed juga menegaskan akan segera melakukan tapering.

"Jika semua kemajuan terus sesuai dengan ekspektasi, anggota Komite menilai pengurangan nilai pembelian aset bisa segera dilakukan," tulis pernyataan The Fed.

Indeks dolar AS yang sebelumnya melemah langsung berbalik menguat 0,28% pasca pengumuman tersebut.

Powell dalam konferensi persnya anggota Komite (Federal Open Market Committee/FOMC) sudah siap untuk melakukan tapering, meski saat ini belum membuat keputusan.

"Saat ini belum ada keputusan (kapan tapering dilakukan), anggota FOMC umumnya melihat selama pemulihan ekonomi berada pada jalurnya, tapering secara bertahap bisa dilakukan dan akan selesai pada pertengahan tahun depan," kata Powell sebagaimana dilansir CNBC International.

Mengingat bulan depan tidak ada rapat kebijakan moneter The Fed, maka peluang tapering dilakukan Desember semakin besar. The Fed baru akan mengadakan rapat lagi pada bulan November, dan sangat kecil kemungkinannya langsung melakukan tapering, sebab hal tersebut bisa memicu gejolak di pasar finansial.

Skenario yang paling mungkin, pengumuman dilakukan di November, dan tapering pertama pada bulan Desember.

Peluang tapering di akhir tahun semakin menguat melihat proyeksi suku bunga terbaru The Fed. Mayoritas anggota The Fed kini melihat suku bunga akan dinaikkan tahun depan, lebih cepat dari proyeksi sebelumnya pada tahun 2023.

Apalagi Powell juga menyatakan tapering akan selesai pertengahan tahun depan. Nilai QE saat ini sebesar US$ 120 miliar per bulan.

Dari total US$ 120 miliar/bulan saat ini, The Fed membeli Treasury sebesar US$ 80 miliar/bulan dan efek beragun aset KPR US$ 40 miliar/bulan.

Kepala investasi di BlackRock, Rick Rieder, memperkirakan saat tapering dilakukan The Fed akan memangkas US$ 10 miliar pembelian obligasi (Treasury) dan US$ 5 miliar pembelian efek beragun aset KPR.

Artinya, jika The Fed konsisten setiap bulannya melakukan tapering US$ 10 miliar untuk Treasury dan US$ 5 miliar, maka nilai quantitative easing baru akan nol dalam tempo 8 bulan. Persis seperti proyeksi Powell selesai di pertengahan tahun depan.

Tapering tahun ini memang diperkirakan dampaknya tidak akan seburuk tahun 2013 ke pasar finansial global, yang disebut taper tantrum.

Rupiah menjadi salah satu korban keganasan taper tantrum kala itu. Sejak The Fed mengumumkan tapering tapering pada Juni 2013 nilai tukar rupiah terus merosot hingga puncak pelemahan pada September 2015.

idr

Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ sementara pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%.

Salah satu penyebab tapering tahun ini diperkirakan tidak akan ganas yakni komunikasi The Fed yang lebih bagus, sehingga pasar sudah siap sejak lama. Hal tersebut juga diungkapkan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, saat mengumumkan kebijakan moneter Selasa lalu.

"Insya Allah dengan berbagai asesmen, kondisi ekonomi, dan pengalaman yang kami lakukan, dampak tapering The Fed bisa diantisipasi secara baik dan lebih rendah dibandingkan taper tantrum pada 2013," tegas Perry dalam konferensi pers usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI periode September 2021, Selasa (21/9/2021).

Perry juga mengatakan salah satu alasannya The Fed melakukan komunikasi yang baik kepada investor, media massa, dan masyarakat.

Dengan komunikasi yang baik, lanjut Perry, pasar pun tidak 'meledak-ledak'.

Meski demikian, tingkat kewaspadaan di akhir tahun nanti tetap harus dinaikkan sebab ada "hantu" lain yang mengintai, yakni potensi penyebaran virus corona gelombang ketiga.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Pemerintah Prediksi Gelombang Ketiga Covid-19

Di negara-negara dengan vaksinasi tinggi, serangan virus corona masih terjadi bahkan menginfeksi dengan cepat dan cukup tinggi. Sebut saja Amerika Serikat, Inggris, kemudian yang terdekat Singapura yang kemarin mencatat penambahan kasus sebanyak 1.457 orang, tertinggi selama pandemi melanda. Padahal, lebih dari 80% warga Singapura sudah mendapat vaksinasi penuh.

Sehingga vaksinasi bukan jaminan virus corona akan lenyap dari muka bumi ini. Hanya saja, ketika vaksinasi sudah dilakukan, pasien yang bergejala berat menjadi berkurang, sehingga tidak perlu lagi ke rumah sakit. Singapura melaporkan sebanyak 98% dari warganya yang terinfeksi Covid-19 dengan tanpa gejala atau dengan gejala ringan.

Lonjakan kasus meski vaksinasi sudah masif membuat banyak negara menyiapkan rencana hidup berdampingan dengan virus corona.

Kasus penyakit virus corona (Covid-19) di Indonesia sudah berhasil ditekan setelah melonjak beberapa bulan terakhir. Tetapi pemerintah sudah memprediksi akan adanya serangan gelombang ketiga di akhir tahun nanti.

Koordinator Tim Pakar dan Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Prof. Wiku Adisasmito mengatakan ini berdasarkan pengalaman. Menurutnya gelombang ketiga bisa terjadi tiga bulan ke depan saat libur Natal dan Tahun Baru.

"Artinya potensi kenaikan kasus meningkat. Dengan pembelajaran gelombang 1 dan 2, harus semakin tangguh," katanya di Jakarta, Selasa (21/9/2021).

Dia tak menampik jika mobilitas penduduk dan aktivitas masyarakat menjadi penyumbang lonjakan kasus. Adapun tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menghadapi kondisi ideal, hingga RI dan dunia terbebas dari pandemi dan menjadi endemi.

"Lonjakan kasus kedua pada Juli memberikan banyak pelajaran. Penanganan lebih mahal, lama dan memakan korban. Upaya terbaik adalah melanggengkan penurunan kasus dengan protokol kesehatan sedikitpun tidak lengah," katanya.

Sebagaimana diketahui, lonjakan kasus pertama kalinya (first wave) terjadi pada Januari 2021 setelah Libur Natal dan tahun Baru 2020. Selanjutnya, lonjakan kasus kedua terjadi pada Juli.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular