Efek Evergrande! Harta 4 Keluarga Bos Properti 'Ludes' Rp95 T
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai aset keluarga taipan pemilik empat raksasa properti Hong Kong tercatat anjlok sebesar US$ 6,7 miliar atau setara dengan Rp 95,14 triliun (asumsi kurs Rp 14.200/US$) pada Senin (20/9/2021).
Hal tersebut terjadi di tengah adanya aksi jual besar-besaran (sell-off) seiring kekhawatiran para investor bahwa pemerintah China akan memperketat kontrol terhadap harga perumahan.
Melansir Bloomberg, Selasa (21/9) saham-saham pengembang properti memimpin pelemahan di saat indeks bursa saham Hang Seng, Bursa Hong Kong, ambles lebih dari 10% pada Senin kemarin (20/9).
Kekhawatiran soal efek penularan (contagion) dari krisis likuiditas yang sedang dialami raksasa properti China, China Evergrande Group, turut menambah tekanan jual pada perdagangan kemarin. Sebagai informasi, saham Evergrande juga ambles 10,24% pada Senin kemarin.
Adapun keempat saham properti kelas kakap Hong Kong tersebut menjadi yang paling menderita saat ambruknya Hang Seng pada perdagangan awal pekan ini.
Pertama, saham Henderson Land Development Co. milik pengusaha Lee Shau Kee anjlok 13%, menjadi penurunan terbesar sejak 2008.
Kedua, saham New World Development Ltd. milik keluarga Cheng mengalami penurunan terbesar dalam 7 tahun, yakni mencapai 12,27%.
Ketiga, saham CK Asset Holdings Ltd milik Li Ka-shing dan keempat, saham Sun Hung Kai Properties Ltd., yang dimiliki oleh keluarga Kwok, juga jatuh masing-masing sebesar 9,32% dan 10,34%.
Ambruknya Hang Seng dan saham properti Hong Kong itu dipicu oleh laporan Reuters pada hari Jumat pekan lalu, bahwa para pejabat China mengatakan kepada para pengembang properti Hong Kong untuk mengalihkan sumber daya untuk membantu mengatasi masalah kekurangan perumahan.
Hal tersebut lantas memicu kekhawatiran pasar bahwa agenda kebijakan "Kemakmuran Bersama" ala Presiden China Xi Jinping, yang sebelumnya telah memukul banyak industri di China daratan, akhirnya meluas ke perusahaan properti dan sumber kekayaan para taipan Hong Kong. Sebagaimana diketahui, Hong Kong merupakan pasar properti termahal sedunia.
"Orang mungkin khawatir tentang apakah mereka harus mengambil tanggung jawab ekstra untuk membangun lebih banyak perumahan bersubsidi," kata Philip Tse, kepala penelitian properti Hong Kong dan China Bocom International kepada Bloomberg, dikutip CNBC Indonesia, Selasa (21/9/2021).
Sebelumnya, investor sudah menyaksikan serangan regulasi dari Beijing ke perusahaan teknologi, pendidikan, dan kasino di tengah upaya Xi mengatasi kesenjangan sosial di China.
Harga properti di Hong Kong--yang termahal di dunia--telah menjadi penyebab kerusuhan sosial dan dijadikan 'kambing hitam' oleh pejabat China karena dianggap berkontribusi pada protes pro-demokrasi Hong Kong pada 2019 silam.
Pada bulan Juli lalu, pejabat tinggi China untuk Hong Kong Xia Baolong memutuskan, agar kota tersebut menghilangkan rumah-rumahnya yang terkenal kecil pada 2049.
Pada bulan Maret, Wakil Perdana Menteri China Han Zheng juga meratapi krisis perumahan di Hong Kong. Mengutip sumber yang dekat dengan pejabat China daratan, Reuters melaporkan bahwa China tidak akan lagi menerima perilaku monopoli yang dilakukan pengusaha.
Raymond Cheng, kepala penelitian properti China dan Hong Kong di CGS-CIMB Securities menjelaskan, kekhawatiran utama saat ini adalah bahwa Beijing akan meminta pemerintah Hong Kong untuk memberlakukan batas harga dan pembatasan pembelian.
Namun, kata Chng dalam sebuah catatan, peluang Hong Kong mengadopsi kebijakan perumahan yang sama dengan China daratan terbilang rendah, mengingat pemerintah menekankan prinsip "Satu Negara Dua Sistem".
'Satu Negara Dua Sistem' adalah istilah janji Beijing untuk mempertahankan karakter politik Hong Kong selama 50 tahun terhitung sejak 1997.
(adf/adf)