Catatan saja, data center adalah fasilitas yang digunakan perusahaan untuk melengkapi aplikasi dan data penting mereka. Secara sederhana, data center dirancang berdasarkan jaringan penyimpanan dan sumber daya komputasi yang memungkinkan transfer aplikasi dan data bersama.
Sebelum BSDE, sejumlah emiten Tanah Air sudah 'menceburkan' diri ke bisnis yang prospektif ini. Sebut saja, duo emiten yang notabene memang berbisnis jasa data center milik pengusaha Toto Sugiri--dan sebagian sahamnya juga dikuasai Bos Indofood Anthoni Salim--PT DCI Indonesia Tbk (DCII) dan PT Indointernet Tbk (EDGE).
Kemudian, menyusul DCII dan EDGE, emiten telekomunikasi pelat merah PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) dan Grup Lippo, yang masuk lewat PT Multipolar Technology Tbk (MLPT), anak usaha PT Multipolar Tbk (MLPL).
Di bawah ini, Tim Riset CNBC Indonesia akan membahas secara ringkas kekuatan bisnis kelima emiten di atas.
Sebenarnya, baru tiga emiten yang benar-benar sudah memiliki lini bisnis data center, yakni DCII, EDGE, dan TLKM. Sementara, dua emiten sisanya masih dalam tahap penjajakan.
Menurut riset Mordor Intelligence pada 2020, setidaknya ada lima perusahaan yang menjadi pemain utama di bisnis pusat data di Indonesia, yaitu Telkomsigma, DCII, NTT Communications Corporation, GTN Data Center, dan Omadata Padma Indonesia.
Asal tahu saja, Telkomsigma (PT Sigma Cipta Caraka) dimiliki oleh TLKM lewat PT Multimedia Nusantara (TelkomMetra) yang diakuisisi sejak 2010.
Mari kita bahas satu per satu dimulai dari DCII.
DCI Indonesia berdiri pada 18 Juli 2011 sebagai pusat data Tier IV pertama di Asia Tenggara dan memulai kegiatannya secara komersial pada tahun 2013.
Perusahaan ini bergerak di bidang industri penyedia jasa aktivitas hosting dan aktivitas terkait lainnya seperti jasa pengolahan data, web-hosting, streaming, aplikasi hosting dan penyimpanan cloud computing.
Selain itu, DCI Indonesia juga terutama menyediakan jasa colocation, yaitu penyediaan tempat untuk menyimpan atau menitipkan server pelanggan dengan standar keamanan fisik dan infrastruktur, seperti kestabilan arus listrik dan kontrol udara.
DCI sendiri adalah pusat data yang sengaja dibangun dengan total lahan 8.5ha. Manajemen berencana untuk terus memiliki lebih banyak gedung dengan total daya 300 MW (megawatt).
Menurut pemaparan materi paparan public (public expose) pada 7 Juni lalu, DCI menjadi pemimpin pasar (market leader), yakni 51% dari pangsa pasar data center colocation di Tanah Air.
Kabar teranyar, saat ini, DCII juga tengah membangun kawasan data center di Karawang, Jawa Barat.
Pembangunan gedung ini telah dimulai sejak kuartal IV 2020. Dengan dilakukannya topping off ini menandai bahwa kegiatan konstruksi memasuki tahap akhir dan diperkirakan selesai pada kuartal IV 2021.
Gedung ini memiliki 10 lantai dengan enam lantai di antaranya ruang data dengan total kapasitas 3.000 rack serta kapasitas total daya listrik 15 MW.
Mengenai kinerja terbaru, laba bersih DCII naik 35,09% secara tahunan (year on year/yoy) menjadi Rp 110,62 miliar dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 81,89 miliar.
Seiring dengan meningkatnya laba bersih, pendapatan usaha DCI Indonesia juga tumbuh 3,68% secara yoy dari Rp 361,93 miliar pada triwulan II 2020 menjadi Rp 375,23 miliar pada periode yang sama tahun ini.
EDGE
Mirip dengan 'saudara mudanya' DCII, EDGE yang bergerak di bisnis infrastruktur internet juga memiliki fokus bisnis data center.
Perusahaan ini didirikan pada 1994 oleh pengusaha teknologi Toto Sugiri. Namun, kini sahamnya juga dipegang oleh investor Hong Kong, Digital Edge Ltd (DE) sebesar 59,1%, sementara Toto Sugiri menggenggam 16,56% saham EDGE.
Berdasarkan dokumen paparan publik, yang dilaksanakan 28 Juni 2021, manajemen menyatakan, saat ini Indonet memiliki 1 EDGE Data Center yang terletak di Kuningan Barat dan telah beroperasi sejak Januari 2021.
Setelah menyelesaikan pembangunan Fase 1 dan Fase 2, saat ini Indonet tengah melaksanakan pembangunan Fase 3 sampai dengan 5 yang akan dilakukan secara bertahap sesuai dengan progress dengan pelanggan.
EDGE Data Center 1 telah beroperasi sejak Januari 2021 dan karena permintaan yang terus meningkat, Indonet pun tengah merencanakan pembangunan EDGE Data Center yang kedua.
Manajemen EDGE, menegaskan bahwa perseroan akan terus meningkatkan segmen bisnis data center hingga mencapai 50% dari total pendapatan perusahaan dan akan dilakukan secara bertahap.
Mengenai kinerja terbaru, EDGE mencetak kenaikan laba 4,80% secara tahunan menjadi Rp 55,39 miliar pada semester I 2021, dari Rp 52,85 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Kenaikan laba ini ditopang yang pertumbuhan pendapatan sebesar 28,36% secara yoy dari Rp 226,21 miliar pada paruh pertama 2020 menjadi Rp 290,35 miliar pada 6 bulan pertama tahun ini.
Apabila ditelisik lebih jauh, pendapatan dari pos layanan cloud menyumbang paling banyak, yakni 55,60% dari total pendapatan atau setara dengan Rp 161,43 miliar pada semester I ini, naik dari pendapatan tahun sebelumnya Rp 115,08 miliar.
Lalu, pos pendapatan konektivitas mengekor dengan berkontribusi sebesar 27,85% dari total pendapatan paruh pertama 2021 atau Rp 80,86 miliar, turun dari Rp 86,01 miliar pada semester I 2020.
Sementara, pos data center berada di urutan ketiga dengan menyumbang Rp 36,60 miliar atau 12,61% dari total pendapatan EDGE. Sumbangsih pos data center ini melesat 113,04% dibandingkan pendapatan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 15,71 miliar.
TLKM
Telkom, sang penguasa pasar telekomunikasi di Bumi Pertiwi, juga masuk ke bisnis data center, seiring dengan potensi bisnis di sektor ini di tengah akselerasi ekonomi digital yang kian cepat.
Seperti sempat disinggung di atas, TLKM masuk ke bisnis pusat data melalui Telkomsigma.
Menurut penjelasan di website perusahaan, Telkomsigma saat ini memiliki lebih dari 300 klien dari berbagai industri yang didominasi oleh sektor perbankan dan jasa keuangan. Telkomsigma memiliki 3 sub kategori di bisnis data center ini, yakni jasa collocation, layanan data center, dan layanan profesional data center.
Data center yang ada saat ini sudah menggunakan teknologi Tier III dan Tier IV dan tersebar di beberapa wilayah di Indonesia, seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.
Menurut catatan CNBC Indonesia, dalam struktur perusahaan, data center ini masuk dalam divisi Enterprise & Business Service. Divisi ini berkontribusi rata-rata sebesar 30%-35% dan sebagai salah satu pendorong pertumbuhan laba bersih perusahaan karena bisnis ini memiliki tingkat profitabilitas yang tinggi.
Mengutip siaran pers Telkomsigma pada 12 Oktober 2020, market share Telkomsigma saat ini kira-kira mencapai lebih dari 40% untuk layanan data center. Di samping itu, Telkomsigma mengelola operasional 16 internet data center dan 3 enterprise data center yang tersebar di Indonesia.
Selain itu, pada awal Juni lalu, pembangunan pusat data skala besar berstandar global--dengan sertifikasi 3 dan 4--milik Telkom, yakni HyperScale Data Center hampir memasuki tahap akhir untuk campus 1 di Cikarang.
Mengutip penjelasan di website Telkom, saat ini, TLKM telah memiliki 26 data center yang tersebar di 12 kota besar Indonesia, yang terdiri dari 5 data center internasional, 18 neuCentrIX serta 3 data center tier 3 dan 4.
Telkom HyperScale Data Center sendiri dibangun di atas lahan seluas 65 ribu meter persegi, berkapasitas total hingga 10.000 rack, dan daya listrik sekitar 75 MW.
Tidak hanya itu, pada bulan lalu, Telkom juga mengumumkan kerja sama dengan Etisalat Group, perusahaan telekomunikasi Uni Emirat Arab (UEA) dan akan berinvestasi senilai US$ 100 juta atau setara Rp 1,45 triliun (kurs Rp 14.500/US$) di bisnis data center. Investasi tersebut akan dilakukan di Nongsa Digital Park, Batam, Kepulauan Riau.
Telkom sendiri berhasil mencatatkan perolehan laba bersih sebesar Rp 12,45 triliun pada semester pertama 2021, meningkat 13,30% dari periode yang sama tahun lalu dimana perusahaan memperoleh laba bersih sebesar Rp 10,99 triliun.
Kinerja laba yang positif salah satunya didorong oleh kenaikan pendapatan yang tercatat sebesar Rp 69,48 triliun, naik tipis 3,92% secara tahunan dari posisi Juni 2020 lalu yang berada di angka Rp 66,85 triliun.
Kontribusi terbesar pendapatan TLKM masih disumbang dari segmen pendapatan data, internet dan jasa teknologi informatika senilai Rp 39,57 triliun atau lebih dari setengah total pendapatan konsolidasi perusahaan.
MLPT
Tidak mau ketinggalan dengan konglomerasi lainnya, Grup Lippo juga mencoba peruntungan di bisnis pusat data lewat MLPT.
Dikutip dari website perusahaan, MLPT bergerak di bidang IT System Integrator, yani melalui penyediaan layanan dan solusi IT, mulai dari perangkat keras dan layanan integrasinya, sistem aplikasi dan layanan implementasinya, layanan IT Consulting, hingga business process managed services.
Dalam keterbukaan informasi yang disampaikan MLPT, perseroan mengaku sedang menjajaki rencana potensi kemitraan melalui anak usahanya, PT Graha Teknologi Nusantara di bisnis data center.
"Saat ini perseroan sedang menjajaki potensi kemitraan untuk anak usaha Perseroan yang bergerak dalam bidang data center, yakni PT Graha Teknologi Nusantara lnformasi lebih lanjut akan diberikan oleh Perseroan setelah ada perkembangan yang materiil," kata Corporate Secretary Multipolar Technology, Wahyudi Chandra, dikutip Senin (14/6/2021)
Sepanjang semester I 2021, MLPT berhasil membukukan laba bersih Rp 88,33 miliar, naik 10,09% secara tahunan dari Rp 80,23 miliar pada periode yang sama tahun lalu.
Seiring dengan itu, pendapatan usaha juga meningkat 3,89% menjadi Rp 1,20 triliun pada 6 bulan pertama tahun ini, dari Rp 1,16 triliun pada semester I 2020.
Lebih rinci, pendapatan dari pos perangkat keras & perangkat pendukungnya masih menjadi andalan perusahaan dengan menyumbang 46,23% dari total pendapatan perusahaan pada semester I atau sebesar Rp 555,38 miliar. Di posisi kedua, ada pos pendapatan jasa teknologi sebesar Rp 313,70 miliar atau 26,11% dari total pendapatan MLPT.
BSDE
Terakhir, sekaligus emiten teranyar yang berkomitmen memasuki bisnis pusat data, BSDE yang disokong Grup Sinar Mas.
Presiden Direktur BSDE, Fransiscus Xaverius RD mengungkapkan, perseroan sudah melakukan pembicaraan dengan beberapa mitra strategis untuk bekerja sama terkait investasi di bisnis data center. Hanya saja, Ridwan belum memberi gambaran lebih lanjut mengenai besaran investasi yang digelontorkan.
"Sudah ada pembicaraan dengan beberapa strategic partner bersama-sama berinvestasi dalam data center," kata Ridwan, dalam Public Expose Live 2021, Selasa (7/9/2021).
Sebenarnya, Grup Sinar Mas juga sudah 'nyemplung ke bisnis ekonomi digital. Sebelumnya, Grup ini mengembangkan kawasan Digital Hub di BSD City yang membebaskan para startup, tech leader dan komunitas digital untuk berinovasi.
Pendanaan langsung Sinarmas Group pada teknologi digital salah satunya dengan menggandeng Grab dalam pengembangan Grab Innovation and Engineering Lab di BSD City. Selain itu, anak usaha Sinarmas, PT Smarfren Telecom Tbk (FREN) juga menyediakan layanan telekomunikasi jaringan nirkabel.
Sebagai informasi, pada semester pertama tahun ini, BSDE membukukan perolehan laba bersih yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar Rp 680 miliar pada semester pertama tahun ini, berkebalikan dari periode yang sama di tahun sebelumnya yang merugi Rp 192,68 miliar.
Sampai dengan 30 Juni 2021, emiten properti ini mencatatkan kenaikan pendapatan sebesar 39% menjadi senilai Rp 3,25 triliun dari sebelumnya Rp2,33 triliun.
Rinciannya, kontribusi pendapatan terbesar BSDE masih disokong penjualan tanah dan bangunan senilai Rp 2,57 triliun, membaik dari tahun sebelumnya Rp 1,74 triliun. Sementara itu, pendapatan di segmen hotel dan arena rekreasi dan bisnis sewa masih tertekan seiring dengan pandemi Covid-19.
Prospek Cerah Bisnis Data Center
Memang, prospek data center di Tanah Air terbilang cerah. Menurut riset yang dikutip dari EDGE, industri data center di Indonesia diramal bisa tumbuh signifikan sampai dengan tahun 2025 dengan market size tembus US$ 618 juta atau setara dengan Rp 8,96 triliun (kurs 14.500).
Pertumbuhan bisnis data center didorong oleh seiring meningkatnya porsi ekonomi internet di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Menurut riset Google dan Temasek dalam laporan yang berjudul e-Conomy SEA 2020, pertumbuhan ekonomi digital di Tanah Air diperkirakan mencapai US$ 133 miliar pada 2025.
Selain itu, Gross Merchandise Value (GMV) ekonomi internet Indonesia diperkirakan mencapai USD 124 miliar pada tahun 2025.
Apalagi, munculnya Pandemi Covid-19 sejak Maret tahun lalu turut mengubah dan mempercepat transformasi digital dan adopsi cloud serta data center.
Menurut riset Mordor Intelligence, Jakarta berkembang sebagai pusat konektivitas, pusat perbankan dan keuangan utama yang mewakili sebagian besar perdagangan dan jasa Indonesia. dengan demikian hal ini berfungsi sebagai hub utama untuk vendor colocation.
"Pasar data center Indonesia dianggap sebagai salah satu pasar data center masih dalam tahap awal di dunia. Sektor ini diperkirakan akan mengalami pertumbuhan eksponensial karena peningkatan migrasi pemain layanan Over-The-Top (OTT) di Indonesia, peningkatan belanja TI, dan penyebaran 5G, yang akan mendorong pasar pusat data," jelas Mordor Intelligence, dikutip CNBC Indonesia, Rabu (8/9/2021).
Mengutip penjelasan Mordor, saat ini industri Datacenter mulai mendapatkan dorongan dengan investasi dari penyedia cloud raksasa seperti Google, Alibaba & Amazon. Pada tahun lalu, Alibaba Cloud mengumumkan investasi pusat data senilai US$ 28 miliar yang mencakup 21 wilayah, termasuk Indonesia, Malaysia, dan Singapura demi mendukung 'transformasi digital di dunia pascapandemi'.
Selain itu sang pesaing Alibaba Cloud, Amazon Web Services (AWS) baru-baru ini mengungkapkan rencana untuk membangun pusat data di negara tersebut pada awal 2022, bersama dengan Microsoft yang menjadi hosting 2.500 pengembang di Jakarta per akhir Februari 2020.
Sementara, kantor jasa professional terbesar di dunia, PricewaterhouseCoopers (PwC) memperkirakan pasar global untuk edge data center akan tumbuh hampir tiga kali lipat menjadi US$ 13,5 miliar (Rp 195,75 triliun) pada tahun 2024 dari US$ 4 miliar (Rp 58 triliun) pada tahun 2017.
PWC juga menjelaskan terdapat beberapa tren yang membantu pertumbuhan edge data center ke depan yakni masuknya 5G, semakin maraknya penggunaan internet of things (IoT) yang membutuhkan latensi rendah serta perkembangan video streaming dan juga augmented reality (AR) & virtual reality (VR).
Data center, termasuk layanan komputasi/penyimpanan awan (cloud), sangat diandalkan di sejumlah sektor, seperti perbankan, teknologi informasi dan komunikasi, layanan kesehatan, pemerintahan dan sektor keamanan, e-commerce, penyedia jasa ride-hailing dan lain sebagainya.
TIM RISET CNBC INDONESIA