Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) sepertinya masih jauh dari kata usai. Kehadiran virus corona varian delta yang lebih menular dari sebelumnya membuat dunia harus kembali waspada.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan, jumlah pasien positif corona di seluruh negara per 1 September 2021 adalah 217.558.771 orang, Jumlah ini lebih banyak dibandingkan seluruh populasi di Brasil yang sekitar 214 juta jiwa.
Amerika Serikat (AS) masih menjadi negara dengan pasien positif corona terbanyak dunia yaitu 40.330.712 orang. Sementara Indonesia berada di posisi 13 dengan 2.100.138 orang.
Perkembangan ini membuat berbagai negara kembali membatasi aktivitas dan mobilitas masyarakat. DI Indonesia, pemerintah menerapkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Meski PPKM berangsur-angsur dilonggarkan, tetapi masih ada pembatasan di sana-sini. Misalnya, restoran dan warung makan hanya boleh melayani pengunjung yang makan-minum di tempat dengan kapasitas 50%. Pusat perbelanjaan atau mal sudah boleh buka, tetapi kapasitas pengunjung dibatasi 25%. Intinya, pemerintah berharap masyarakat sebisa mungki tetap #dirumahaja.
Salah satu dampak mobilitas yang terbatas adalah penurunan permintaan energi. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi komponen energi pada Agustus 2021 adalah -0,02% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Sementara dibandingkan Agustus 2020 (year-on-year/yoy), terjadi inflasi -0.1%.
Bukannya inflasi, yang ada malah deflasi baik itu bulanan maupun tahunan. Ini menandakan permintaan bahan bakar minyak (BBM) sedang sangat rendah.
Halaman Selanjutnya --> Banyak yang Tak Yakin Soal Masa Depan Minyak
Perkembangan seperti ini yang membuat pelaku pasar pesimistis terhadap prospek harga minyak. Pada pukul 09:08 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet turun masing-masing 0,85% dan 0,98%.
Berdasarkan jajak pendapat Reuters yang melibatkan 43 responden ekonom/analis di seluruh dunia, harga si emas hitam diperkirakan dalam tren turun. Survei edisi Agustus memperkirakan rata-rata harga minyak jenis brent sepanjang 2021 adaah US$ 68.02/barel.
Angka itu lebih rendah ketimbang hasil survei Juli yang memproyeksikan rata-rata harga di US$ 68,76/barel. Ini menjadi kali pertama proyeksi harga mengalami revisi ke bawah sejak November 2020.
 Sumber: Reuters |
"Kehadiran virus corona varian delta membebani permintaan dan harga. Pasar minyak dunia yang overheating sepertinya tidak akan terjadi dalam waktu dekat," kata Suvro Sarkar, Analis DBS Bank, seperti dikutip dari Reuters.
Tidak hanya pelaku pasar, lembaga seperti International Energy Agency (IEA) pun pesimistis. Lembaga yang berkantor pusat di Paris (Prancis) ini mencatat permintaan minyak dunia pada Juli 2021 anjlok 120.000 barel/hari. Untuk semester II-2021, permintaan diperkirakan turun 500.000 barel/hari dari proyeksi sebelumnya.
"Proyeksi permintaan pada paruh kedua 2021 diturunkan karena pembatasan sosial yang lebih ketat, terutama d Asia, sehingga menurunkan mobilitas dan konsumsi BBM. Kami memperkirakan permintaan akan turun di China, Indonesia, dan negara-negara Asia lainnya," sebut laporan bulanan IEA.
 Sumber: IEA, Reuters |
Halaman Selanjutnya --> Harga Minyak Turun, Indonesia Untung atau Buntung?
Kembali ke laptop, eh, Indonesia, kira-kira apakah penurunan harga minyak membawa berkah atau musibah?
Indonesia adalah negara net importir migas. Tahun lalu, neraca migas Indonesia membukukan defisit US$ 6 milar. Sejak 2012, defisit neraca migas terjadi secara berturut-turut.
Mengutip laporan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), defisit neraca migas berlanjut pada 2021. Defisit neraca migas pada kuartal I adalah US$ 2,27 milar dan kuartal berikutnya minus US$ 3,38 miliar. Neraca migas menjadi salah satu biang keladi defisit transaksi berjalan (current account) yang pada kuartal I dan II masing-masing sebesar US$ 1,06 miliar dan US$ 2,23 miliar.
Salah satu penyebab pembengkakan defisit transaksi berjalan dari US$ 1,06 miliar menjadi US$ 2,23 miliar adalah harga minyak. Pada kuartal I-2021, rata-rata harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) adalah US$ 61,52/barel dan kuartal berikutnya naik menjadi US$ 68,5/barel.
Kenaikan harga minyak memang mendongrak penerimaan ekspor migas. Namun karena itu tadi, Indonesia adalah negara net importir minyak, artinya impor lebih tinggi ketimbang ekspor. Jadi kalau digabung, hasilnya menjadi minus.
Defisit neraca migas yang membebani transaksi berjalan mempengaruhi gerak nilai tukar rupiah. Sepanjang kuartal II-2021, rupiah hanya mampu menguat tipis 0,17% di hadapan dolar AS secara point-to-point. Rupiah kalah kuat ketimbang dolar Taiwan dan yuan China.
Transaksi berjalan adalah fundamental bagi nilai tukar mata uang. Sebab transaksi berjalan mencerminkan pasokan devisa yang datang dari ekspor-impor barang dan jasa. Pasokan valas dari pos ini lebih stabil, berjangka panjang, ketimbang dari arus modal di pasar keuangan alias hot money yang bisa datang dan pergi sesuka hati.
Oleh karena itu, sepertinya kalau harga minyak terus turun Indonesia bakal diuntungkan. Biaya impor minyak akan berkurang, beban transaksi berjalan lebih ringan, dan rupiah tidak tertekan.
TIM RISET CNBC INDONESIA