Jakarta, CNBC Indonesia - Seperti yang sudah diduga, laju inflasi Indonesia masih lambat. Juga seperti yang diduga, daya beli rakyat memang sedang bermasalah.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi pada Agustus 2021 adalah 0,03% dibandingkan bulan sebelumnya (month-on-month/mtm). Sementara dibandingkan Agustus 2020 (year-on-year/yoy), terjadi inflasi 1,59%. Realisasi ini sama persis dengan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia.
Inflasi tipis ini sepertinya lebih disebabkan oleh faktor musiman yaitu tahun ajaran baru. Agustus memang menjadi tahun ajaran baru di berbagai tingkat pendidikan, SD hingga perguruan tinggi.
Ini membuat inflasi kelompok pendidikan melesat. Secara bulanan terjadi inflasi 1,2%.
Menariknya, kelompok makanan, minuman, dan tembakau justru mengalami deflasi sebesar 0,32% mtm. Setianto, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, menyebut sejumlah kebutuhan pokok yang harganya turun di antaranya adalah cabai rawit, cabai merah, daging ayam ras, bayam, buncis, dan sawi hijau.
Halaman Selanjutnya --> Inflasi Inti Melambat
Kemudian, hal lain yang perlu diperhatikan adalah inflasi inti yang berisi barang dan jasa dengan harga persisten, bandel, susah naik-turun. Inflasi inti kerap dijadikan indikator untuk mengukur daya beli.
Secara bulanan inflasi inti tercatat 0,21% pada Agustus 2021. Namun ini lebih disebabkan oleh faktor musiman yang suda disinggung sebelumnya yaitu tahun ajaran baru.
Secara tahunan, inflasi inti adalah 1,31%, terendah dalam tiga bulan terakhir. Perlambatan laju inflasi inti menandakan penurunan daya beli sudah terkonfirmasi.
 Sumber: BPS |
Padahal di sisi lain, Bank Indonesia (BI) masih menerapkan kebijakan moneter longgar. Suku bunga acuan masih rendah di 3,5%, terendah sepanjang sejarah. BI juga masih terus menggelontorkan likuiditas ke perekonomian (quantitative easing) senilai Rp 114,15 triliun pada 2021 hingga 16 Agustus.
Namun 'siraman' uang dari MH Thamrin tidak membuat inflasi bergerak. Ini semakin memberi klarifikasi bahwa permintaan memang sedang rendah.
"Likuiditas di perekonomian memadai (ample) yang ditunjukkan dengan data uang beredar baik M1 maupun M2 yang terus tumbuh secara konsisten. Namun pasokan likuiditas itu tidak cukup untuk menciptakan inflasi karena perputaran uang (money velocity) turun," papar Tirta Citradi, Ekonom MNC Sekuritas, dalam risetnya.
Jadi sepertinya kekhawatiran Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah terbukti. Inflasi yang rendah tidak selamanya baik, karena bisa menjadi sinyal pelemahan daya beli.
"Angka inflasi di bawah target 2021 yaitu 3%. Tetapi kita juga tahu bahwa inflasi yang rendah juga bisa bukan hal yang menggembirakan. Bisa saja ini mengindikasikan turunnya daya beli masyarakat akibat pembatasan aktivitas dan mobilitas," tegas Jokowi dalam pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Tim Pengendalian Inflasi di Istana Negara, Jakarta, pekan lalu.
TIM RISET CNBC INDONESIA