Bos Schroders Buka-bukaan Efek Tapering hingga Outlook Global

Syahrizal Sidik, CNBC Indonesia
20 August 2021 09:30
Presiden Direktur PT Schroder Investment Management Indonesia (Schroders), Michael Tjoajadi
Foto: Presiden Direktur PT Schroder Investment Management Indonesia (Schroders), Michael Tjoajadi

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Direktur PT Schroder Investment Management Indonesia (Schroders), Michael Tjoajadi memproyeksikan di ekonomi global akan tumbuh signifikan di kisaran 5,9% pada tahun ini, angka pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2001.

Menurut Michael, ekonomi global mulai kembali pulih setelah tertekan cukup dalam pada tahun lalu ke level 3,5% akibat pandemi. Capaian itu lebih buruk dari pada saat krisis tahun 2008 di mana ekonomi terkontraksi 0,4%.

"Ekonomi dunia mengalami penurunan signifikan dari positif agregat 2,6% pada 2019 menjadi turun 3,5% di 2020," kata Michael, di acara Intimate Gathering yang diselenggarakan CNBC Indonesia, Kamis (19/8/2021).

Namun demikian, dia meyakini, seiring dengan vaksinasi yang terus masif dilakukan, hal ini akan mendorong perekonomian dunia kembali pulih signifikan. Schroders memperkirakan, ekonomi dunia akan tumbuh 5,9% di 2021 dan 4,5% setahun kemudian.

"Forecast bisa mengalami kenaikan 5,9% di tahun 2021. Perekonomian ini pertumbuhan tertinggi sejak di tahun 2001," katanya menambahkan.

Dengan positifnya pertumbuhan ekonomi global, hal ini diyakini juga akan berdampak baik bagi perekonomian domestik. Hal ini sudah terlihat dari pertumbuhan ekonomi nasional di kuartal kedua yang tumbuh 7,07% secara tahunan.

"Di Indonesia, kita harapkan akan tetap tumbuh walau tidak setinggi 7% karena ada PPKM Level 4 dua bulan, akan tetap mengalami positif pertumbuhan di 2021 dan akan continue di 2022," imbuhnya.

Namun demikian, meski ekonomi diperkirakan tetap tumbuh positif, ada faktor risiko yang menjadi perhatian pelaku pasar, yaitu tingkat inflasi.

Di AS misalnya, tingkat inflasi menunjukkan kenaikan yang signifikan karena disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain, pemulihan ekonomi di Negeri Paman Sam yang lebih dulu, meningkatnya daya beli masyarakat, dan faktor positif pertumbuhan ekonomi dunia. Hal ini turut mendorong naiknya harga-harga seperti barang komoditas, energi, CPO (minyak sawit) hingga nikel.

"Inflasi naik memberikan indikasi perekonomian akan tumbuh dan membuat kita optimis, laba perusahaan publik akan mengalami kenaikan," katanya.

Adapun terkait dengan rencana pengurangan nilai pembelian aset (tapering) oleh bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed yang kemungkinan terjadi tahun ini, dinilai akan menjadi sentimen negatif bagi bursa saham domestik dalam jangka pendek.

Presiden Direktur PT Schroder Investment Management Indonesia (Schroders), Michael TjoajadiFoto: Presiden Direktur PT Schroder Investment Management Indonesia (Schroders), Michael Tjoajadi
Presiden Direktur PT Schroder Investment Management Indonesia (Schroders), Michael Tjoajadi

Hal ini terlihat dari respons negatif pelaku pasar terkait wacana tapering The Fed yang menyebabkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Kamis kemarin terkoreksi cukup agresif 2,06% ke level 5.992,32 poin dengan nilai transaksi Rp 14,10 triliun.

Namun demikian, meski bursa saham Tanah Air terkena imbas, dampaknya tak signifikan seperti bursa saham di AS yang sudah mengalami kenaikan yang cukup signifikan.

"Short term [jangka pendek] akan impact ke sentimen? Ya akan terjadi impact-nya walau saya tidak melihat Indonesia akan memiliki impact yang sangat besar. AS yang mengalami dampak sangat besar, AS punya harga saham sudah naik signifikan," ungkap Michael.

Michael melanjutkan, kendati menghadapi risiko taper tantrum, dia optimistis, pada tahun ini ekonomi Indonesia akan tetap tumbuh seiring dengan pemulihan ekonomi nasional.

Sinyal ini sudah terlihat dari pertumbuhan ekonomi nasional di kuartal kedua yang tumbuh 7,07% secara tahunan, sehingga, imbasnya akan positif bagi kinerja keuangan emiten.

"Saya melihat walaupun terjadi taper tantrum, ekonomi akan tetap tumbuh, saya melihat perusahaan publik akan tumbuh revenue dan profitnya," ujar Michael.

Faktor selanjutnya yang menyebabkan IHSG tidak akan terkoreksi cukup dalam dengan sentimen tapering lantaran secara valuasi, imbal hasil IHSG masih belum bergerak signifikan, berbeda dengan indeks Dow Jones yang sudah mencetak rekor.

Sejak awal tahun sampai dengan 18 Agustus 2021, IHSG hanya menguat 2,33%, masih lebih baik dari bursa saham Malaysia dan Filipina yang terkoreksi 6%. Sedangkan, kinerja IHSG masih kalah dari bursa saham Thailand dan Singapura yang menguat 7,09% dan 10,17% secara year to date.

"Ini tidak terlalu berimbas ke indeks kita. Valuasi di negara yang indeksnya sudah naik jauh lebih mahal daripada Indonesia. Valuasi kita dibandingkan pre-Covid, itu tidak ke mana-mana. Indeks pre Covid 6.200-6.600. Dow Jones di US memecahkan rekor, mereka sudah jauh lebih mahal," tuturnya.


(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ramai Gagal Bayar Properti China, Bos Schroders Waspadai Ini!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular