Roundup

Covid-19 Delta di AS 'Meledak', Waspada Rupiah!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
19 August 2021 07:50
Gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Jerome Powell  (AP Photo/Jacquelyn Martin)
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jika melihat indeks dolar AS memang terlihat tren menguat.  Saat kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19) melonjak, dolar AS memang justru semakin perkasa. Hal tersebut tentunya berbeda itu terjadi di Indonesia, di mana rupiah langsung mengalami tekanan.

Melansir data Refinitiv, indeks dolar AS pada perdagangan Selasa lalu (17/8), saat pasar di Indonesia libur, melesat 0,54% ke 93,132, yang merupakan level penutupan tertinggi sejak 30 Maret lalu. Indeks ini dijadikan tolak ukur kekuatan dolar AS.

idrFoto: Refinitiv
idr

Terkait dengan maraknya investor memburu aset safe haven dolar AS juga pernah terjadi, saat pandemi pertama diumumkan Maret 2020. Saat itu, terjadi aksi jual besar-besaran di semua aset  setelah Covid-19 dinyatakan sebagai pandemi.

Saat itu, emas yang merupakan aset safe haven juga ambrol, hanya dolar AS yang terbang tinggi, hingga muncul istilah cash is the king. Bukan sembarang cash, hanya dolar AS.

Saat itu indeks dolar AS menyentuh level 102, tertinggi sejak Januari 2017.

Di sisi lain, bank sentral AS, The Fed, belum bisa memastikan dampak ekonomi naiknya kasus Covid-19 di AS. Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua The Fed, Jerome Powell, yang berbicara pada Selasa malam waktu AS.

"Masih belum jelas apakah corona delta akan memberikan dampak yang besar terhadap perekonomian, kita akan melihat itu nanti," kata Powell, dikutip CNBC International.

Selain itu spekulasi tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) masih menjaga kinerja dolar AS. Sebabnya, The Fed diperkirakan akan mengumumkan tapering pada bulan depan.

Hasil polling terbaru yang dilakukan Reuters menunjukkan sebanyak 28 dari 43 analis memprediksi The Fed akan mengumumkan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) pada bulan September.

Nilai QE saat ini sebesar US$ 120 miliar per bulan, dengan rincian US$ 80 miliar untuk pembelian obligasi pemerintah (Treasury) dan US$ 40 miliar untuk efek beragun aset KPR (Mortgage-Backed Security/MBS).

Dalam survei terbaru tersebut, The Fed akan mengurangi pembelian Treasury sebesar US$ 10 miliar, dan MBS sebesar US$ 5 miliar.

Sementara polling mengenai kapan tapering akan mulai dilakukan, sebanyak 26 dari 43 analis memprediksi pada kuartal I-2021. Sementara sisanya mengatakan tapering pertama akan dilakukan di kuartal IV-2021.

Selain itu, mayoritas responden juga melihat QE akan berakhir pada akhir 2022.

idrFoto: Refinitiv
idr

Jim O'Sullivan, kepala ahli strategi makro Amerika Serikat di TD Securities, tidak yakin The Fed akan mengumumkan tapering pada bulan depan. November dikatakan menjadi lebih masuk akal, sebab The Fed akan melihat perkembangan pasar tenaga kerja lebih lanjut.

"Saya tahu beberapa pejabat The Fed berusaha menekan agar pengumuman tapering dilakukan pada rapat kebijakan moneter bulan September, tetapi itu kemungkinan tidak terjadi," kata O'Sullivan, sebagaimana dilansir Reuters.

"November menjadi mungkin jika data tenaga kerja dalam 2 bulan ke depan menunjukkan perbaikan, bulan Desember sebenarnya lebih favorit sebagai pengumuman resmi," tambahnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular