
Covid-19 Delta di AS 'Meledak', Waspada Rupiah!

Jakarta, CNBC Indonesia -Kurs rupiah tertahan di zona merah hampir sepanjang perdagangan Rabu kemarin (18/8/2021), namun akhirnya mampu bangkit di akhir perdagangan dan berakhir stagnan melawan dolar Amerika Serikat (AS).
Stagnannya rupiah bisa dikatakan cukup bagus pada pada perdagangan Rabu kemarin usai libur Selasa 17 Agustus HUT Kemerdekaan, sebab dolar AS sedang kuat-kuatnya.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di Rp 14.370/US$, tetapi beberapa menit kemudian sudah melemah 0,17% di Rp 14.395/US$. Level tersebut menjadi yang terlemah pada perdagangan kemarin.
Rupiah perlahan mampu bangkit di menit-menit akhir, hingga menutup perdagangan kemarin di level Rp 14.370/US$, alias stagnan.
Lonjakan kasus corona varian delta di Amerika Serikat membuat pelaku pasar sedang keluar dari aset-aset berisiko dan beralih ke dolar AS.
Rata-rata kasus dalam 7 hari hingga awal pekan ini sebanyak 133.068 kasus dari total penduduk AS, menjadi yang tertinggi sejak 3 Februari lalu. Jika dilihat dari rata-rata pertengahan Juni lalu sekitar 12.000 kasus, artinya mengalami kenaikan sekitar 1000%.
![]() idr |
"Kita berada di pertengahan musim panas, orang-orang mulai berkumpul, mereka dalam kelompok yang besar. Vaksin telah membuat mereka merasa aman, dan mereka lupa dengan protokol kesehatan," kata dr. Perkin Halkitis, dekan di Rutgers School of Public Health, dalam wawancara bersama CNBC International, dikutip Kamis (19/8).
Ngerinya lonjakan kasus tersebut membuat pelaku pasar melihat risiko pelambatan ekonomi di AS semakin meningkat, bahkan China juga sudah mengalaminya.
Alhasil, pelaku pasar mengalihkan investasinya ke aset aman (safe haven) kali ini dolar AS menjadi pilihan.
Dolar AS juga didukung oleh situasi di kekacauan yang terjadi di Afganistan.
"Konsumen AS berhati-hati melihat lonjakan corona delta, dikombinasikan dengan pelambatan ekonomi China serta gejolak politik di Afganistan, membuat investor keluar dari aset berisiko dan beralih ke dolar AS," kata Karl Schamotta, kepala strategi pasar di Cambridge Global Payments di Toronto, dikutip CNBC International.
NEXT: Jadi Safe Haven, Dolar AS Diburu
Jika melihat indeks dolar AS memang terlihat tren menguat. Saat kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19) melonjak, dolar AS memang justru semakin perkasa. Hal tersebut tentunya berbeda itu terjadi di Indonesia, di mana rupiah langsung mengalami tekanan.
Melansir data Refinitiv, indeks dolar AS pada perdagangan Selasa lalu (17/8), saat pasar di Indonesia libur, melesat 0,54% ke 93,132, yang merupakan level penutupan tertinggi sejak 30 Maret lalu. Indeks ini dijadikan tolak ukur kekuatan dolar AS.
![]() idr |
Terkait dengan maraknya investor memburu aset safe haven dolar AS juga pernah terjadi, saat pandemi pertama diumumkan Maret 2020. Saat itu, terjadi aksi jual besar-besaran di semua aset setelah Covid-19 dinyatakan sebagai pandemi.
Saat itu, emas yang merupakan aset safe haven juga ambrol, hanya dolar AS yang terbang tinggi, hingga muncul istilah cash is the king. Bukan sembarang cash, hanya dolar AS.
Saat itu indeks dolar AS menyentuh level 102, tertinggi sejak Januari 2017.
Di sisi lain, bank sentral AS, The Fed, belum bisa memastikan dampak ekonomi naiknya kasus Covid-19 di AS. Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua The Fed, Jerome Powell, yang berbicara pada Selasa malam waktu AS.
"Masih belum jelas apakah corona delta akan memberikan dampak yang besar terhadap perekonomian, kita akan melihat itu nanti," kata Powell, dikutip CNBC International.
Selain itu spekulasi tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) masih menjaga kinerja dolar AS. Sebabnya, The Fed diperkirakan akan mengumumkan tapering pada bulan depan.
Hasil polling terbaru yang dilakukan Reuters menunjukkan sebanyak 28 dari 43 analis memprediksi The Fed akan mengumumkan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) pada bulan September.
Nilai QE saat ini sebesar US$ 120 miliar per bulan, dengan rincian US$ 80 miliar untuk pembelian obligasi pemerintah (Treasury) dan US$ 40 miliar untuk efek beragun aset KPR (Mortgage-Backed Security/MBS).
Dalam survei terbaru tersebut, The Fed akan mengurangi pembelian Treasury sebesar US$ 10 miliar, dan MBS sebesar US$ 5 miliar.
Sementara polling mengenai kapan tapering akan mulai dilakukan, sebanyak 26 dari 43 analis memprediksi pada kuartal I-2021. Sementara sisanya mengatakan tapering pertama akan dilakukan di kuartal IV-2021.
Selain itu, mayoritas responden juga melihat QE akan berakhir pada akhir 2022.
![]() idr |
Jim O'Sullivan, kepala ahli strategi makro Amerika Serikat di TD Securities, tidak yakin The Fed akan mengumumkan tapering pada bulan depan. November dikatakan menjadi lebih masuk akal, sebab The Fed akan melihat perkembangan pasar tenaga kerja lebih lanjut.
"Saya tahu beberapa pejabat The Fed berusaha menekan agar pengumuman tapering dilakukan pada rapat kebijakan moneter bulan September, tetapi itu kemungkinan tidak terjadi," kata O'Sullivan, sebagaimana dilansir Reuters.
"November menjadi mungkin jika data tenaga kerja dalam 2 bulan ke depan menunjukkan perbaikan, bulan Desember sebenarnya lebih favorit sebagai pengumuman resmi," tambahnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Suku Bunga Bisa Naik di 2022, Spekulan Malah Buang Dolar AS!
