Saham Teknologi Dibantai, Ikut Dibuang Bandar Setelah Terbang
Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas saham emiten yang terhimpun dalam indeks sektor teknologi alias IDXTECHNO ambles ke zona merah pada awal perdagangan hari ini, Rabu (18/8/2021). IDXTECHNO sendiri anjlok 5,46%, menjadi yang paling anjlok di antara indeks sektor lainnya.
Berikut pelemahan sejumlah saham teknologi, pukul 09.39 WIB:
DCI Indonesia (DCII), saham -7,00%, ke Rp 44.175/saham
Kioson Komersial Indonesia (KIOS), -6,76%, ke Rp 1.035/saham
Bukalapak.com (BUKA), -6,74%, ke Rp 830/saham
Sat Nusapersada (PTSN), -6,67%, ke Rp 280/saham
Limas Indonesia Makmur (LMAS), -6,32%, ke Rp 89/saham
Anabatic Technologies (ATIC), -5,81%, ke Rp 810/saham
Hensel Davest Indonesia (HDIT), -4,04%, ke Rp 428/saham
Metrodata Electronics (MTDL), -3,08%, ke Rp 2.520/saham
Digital Mediatama Maxima (DMMX), -1,19%, ke Rp 3.330/saham
Distribusi Voucher Nusantara (DIVA), -0,60%, ke Rp 4.970/saham
M Cash Integrasi (MCAS), -0,41%, ke Rp 12.025/saham
Menurut data di atas, dari 11 saham teknologi yang memerah, 4 di antaranya menyentuh batas auto rejection bawah (ARB), seperti saham emiten data center milik Toto Sugiri DCII, KIOS, emiten e-commerce BUKA, sampai PTSN.
Saham DCII menjadi yang paling anjlok dengan menyentuh minus 7,00% pagi ini. Dengan ini, saham DCII sudah terkena ARB selama 4 hari beruntun atau semenjak suspensi dibuka bursa pada Kamis (12/8) pekan lalu.
Seperti, hari-hari sebelumnya, nilai transaksi saham DCII tergolong 'mini', yakni mencapai Rp 57,43 juta dengan volume 1.300 saham.
Saham DCII sebelumnya disuspensi BEI pada 17 Juni 2021 atau hampir 2 bulan seiring dengan terjadinya peningkatan harga saham DCII yang signifikan.
BEI juga telah melakukan pemeriksaan atas transaksi saham DCII menindaklanjuti atas suspensi saham 17 Juni. Ini adalah suspensi kedua yang dilakukan setelah saham DCII naik secara signifikan.
Direktur Pengawasan Transaksi dan Kepatuhan BEI, Kristian Manullang menjelaskan, saham DCII mengalami volatilitas harga secara terus menerus.
"Atas kondisi ini, kami sedang melakukan pemeriksaan atas transaksi saham DCII. Tujuan pemeriksaan ini untuk memastikan ada tidaknya indikasi manipulasi transaksi," kata Kristian kepada awak media, Rabu (7/6/2021).
Seperti diketahui, saham DCII terakhir kali diperdagangkan pada level Rp 59.000 per saham pada Rabu (16/6/2021).
Seperti saham DCII, saham pendatang baru BUKA juga kembali ARB 6,74%, setelah Senin lalu ditutup anjlok 6,81%. Dengan ini, sejak debut pada 6 Agustus lalu, saham BUKA hanya menghijau dua kali. Sementara, saham ini sudah 5 kali ambles dengan 4 di antaranya ARB.
Dalam sepekan saham BUKA terjun bebas 25,23%. Dengan demikian, harga saham BUKA kini di bawah harga penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) di Rp 850/saham, atau turun 2,4%.
Nilai transaksi saham BUKA menjadi yang tertinggi di bursa pagi ini, mencapai Rp 534,2 miliar. Sementara, asing melakukan beli bersih Rp 56,78 miliar di pasar reguler.
Terkait dengan potensi saham BUKA ini, analis riset PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia Hariyanto Wijaya, dalam riset per 9 Agustus, juga sudah memasukkan saham BUKA dalam 8 top picks Mirae Asset pada Agustus ini.
Tujuh saham lainnya yakni PT Medikaloka Hermina Tbk (HEAL), PT Prodia Wdyahusada Tbk (PRDA), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI), PT Bank BTPN Syariah Tbk (BTPS), PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR), PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI), dan PT Surya Citra Media Tbk (SCMA).
Menurut Hariyanto, dari segi pasar, dengan mulai melantainya saham teknologi pertama di dalam negeri yakni BUKA, dan selanjutnya akan disusul oleh perusahaan lainnya dinilai akan dapat mengikuti jalur yang sama dengan pasar saham Amerika Serikat di mana perusahaan teknologi sekarang mendominasi 5 kapitalisasi pasar terbesarnya.
Hal ini juga ditunjang dengan gross merchandise value (GMV) Indonesia yang diperkirakan oleh lembaga Bain bisa bertumbuh dengan compound annual growth rate (CAGR) atau rata-rata tahunan pada periode 2020-2025 sebesar 23%, dari US$ 44 miliar atau setara dengan Rp 638 triliun (kurs Rp 14.500/US$) pada 2020 menjadi US$ 124 miliar atau setara Rp 1.798 triliun pada 2025.
Menurut dia, dua raksasa teknologi, yakni BUKA dan GoTo akan dapat memonetisasi tren yang meningkat pertumbuhan ekonomi digital Indonesia.
"Kami pikir perusahaan teknologi raksasa, seperti Bukalapak dan GoTo akan dapat memonetisasi tren yang meningkat pertumbuhan ekonomi digital Indonesia," kata Hariyanto Wijaya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(adf/adf)