Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar buruk bagi mata uang utama utama Asia datang di pekan ini. Spekulator menambah posisi jual (short), bahkan terhadap yuan China.
Alhasil, semua mata uang utama Asia, kini berada dalam posisi jual dan lebih memilih dolar Amerika Serikat (AS). Meski demikian, kabar baiknya ada peluang posisi tersebut berubah, sebab dolar AS sedang dalam tekanan dalam 2 hari terakhir, dan ada kemungkinan hingga beberapa bulan ke depan.
Posisi jual seluruh mata uang Asia terlihat dari survei 2 mingguan Reuters yang terbaru. Pelaku pasar sebelumnya mengambil posisi beli (long) mata uang yuan sejak April lalu, kini berbalik mengambil posisi jual.
Survei tersebut menggunakan skala -3 sampai 3, angka negatif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) mata uang Asia dan jual (short) dolar AS. Semakin mendekati -3 artinya posisi long yang diambil semakin besar.
Sementara angka positif berarti short mata uang Asia dan long dolar AS, dan semakin mendekati angka 3, semakin besar posisi short mata uang Asia.
Survei terbaru yang dirilis Kamis (29/7/2021) menunjukkan angka untuk rupiah di 0,27, sedikit lebih buruk dari 2 pekan lalu 0,23.
Sementara itu angka untuk yuan China sebesar 0,27, dari sebelumnya -0,15. Yuan sebelumnya menjadi satu-satunya mata uang Asia yang disurvei Reuters yang masih berada dalam posisi beli, sebelum berbalik menjadi jual.
Berbaliknya posisi pelaku pasar tersebut akibat tindakan keras pemerintah China terhadap sektor swasta yang memicu kecemasan di pasar finansial.
Meski posisi jual pelaku pasar terhadap rupiah bertambah, tetapi menjadi yang terbaik kedua setelah yuan China. Sementara bath Thailand dan ringgit Malaysia menjadi yang terburuk dengan angka 1,49 dan 1,4.
Survei tersebut dilakukan Reuters sebelum bank sentral AS (The Fed) mengumumkan kebijakan moneter di pekan ini. Sehingga ada peluang disurvei berikutnya posisi mata uang Asia akan membaik, sebab dolar AS jeblok pasca pengumuman The Fed.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Indeks dolar AS Sentuh Level Terendah 1 Bulan
Sesuai dengan perkiraan pasar, The Fed pada Kamis dini hari mempertahankan suku bunga sebesar 0,25%, dan program pembelian aset (quantitative easing/QE) senilai US$ 120 miliar.
Tetapi bulan hal tersebut yang dilihat pelaku pasar, melainkan tapering atau pengurangan nilai QE akan dilakukan. The Fed masih belum memberikan detail dari tapering, malah memberikan kesan belum akan dilakukan dalam waktu dekat. Alhasil, dolar AS terpuruk.
The Fed melihat perekonomian AS semakin kuat, tapi masih perlu melihat kemajuan substansial lebih lanjut, khususnya untuk pasar tenaga kerja dan inflasi, sebelum memulai tapering.
"Kami menggunakan pendekatan yang setransparan mungkin. Kita belum mencapai kemajuan substansial lebih lanjut," kata ketua The Fed, Jerome Powell, sebagaimana dikutip CNBC International, Kamis (29/7/2021).
Sementara itu untuk pasar tenaga kerja, Powell mengatakan masih perlu lebih kuat lagi, sebelum memulai tapering.
"Saya ingin melihat pasar tenaga kerja lebih kuat lagi dalam beberapa bulan ke depan sebelum memulai mengurangi QE yang saat ini senilai US$ 120 miliar per bulan," kata Powell.
Kepala ekonom Bank of America, Michelle Meyer memprediksi The Fed akan mengumumkan rencana tapering di akhir tahun ini, tetapi tidak menutup kemungkinan di bulan September. Dan tapering resmi dimulai di awal tahun depan.
"Saya pikir The Fed masih mungkin mengumumkan rencana tapering di bulan September, tergantung dari data tenaga kerja. Jika sangat kuat, maka saya pikir Powell akan memberikan lebih banyak detail pada bulan September," kata Meyer.
Spekulasi The Fed tidak akan melakukan tapering di tahun ini semakin menguat setelah rilis data produk domestik bruto (PDB) AS.
Departemen Perdagangan AS kemarin melaporkan PDB tumbuh 6,5% di kuartal II, sedikit lebih tinggi ketimbang kuartal sebelumnya 6,3%, tetapi jauh di bawah estimasi Dow Jones sebesar 8,4%.
Indeks dolar AS pun ambrol 0,5%, dan sudah merosot dalam 4 hari beruntun. Indeks yang dijadikan tolak ukur kekuatan dolar AS ini berada di level terendah dalam 1 bulan terakhir, bahkan tidak menutup kemungkinan terus mengalami penurunan jika data ekonomi AS, khususnya inflasi menunjukkan pelambatan dan pasar tenaga kerja yang kembali memburuk.
TIM RISET CNBC INDONESIA