Tok! BEI Cabut Saham PBRX, SRIL & WSBP dari Pantauan Khusus

Aldo Fernando, CNBC Indonesia
Rabu, 28/07/2021 15:58 WIB
Foto: Vice Chief Executive Officer PT Pan Brothers Tbk, Anne Patricia Sutanto (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Efek Indonesia (BEI) resmi mengeluarkan saham emiten tekstil PT Pan Brothers Tbk (PBRX) dari daftar pemantauan khusus pada hari ini, Rabu (28/7/2021).

Berdasarkan keterbukaan informasi BEI, pada Selasa (27/7), PBRX masuk ke dalam kriteria poin 8 efek dalam pemantauan khusus.

"Perubahan ini mulai efektif pada tanggal 28 Juli 2021," jelas pihak bursa, dikutip CNBC Indonesia, Rabu (28/7/2021).


Sebagai informasi, poin 8 yang dimaksud adalah ketika suatu emiten dalam kondisi dimohonkan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) atau dimohonkan pailit.

Sebelumnya, pada Senin (26/7) lalu, PKPU dari PT Bank Maybank Indonesia Tbk (BNII) kepada Pan Brothers ditolak oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Artinya PBRX lolos dari gugatan PKPU ini.

Putusan tersebut dibacakan dalam sidang yang dilaksanakan Senin (26/7/).

Kuasa Hukum Maybank Indonesia Budi Rahmad mengatakan, penolakan atas tuntutan PKPU ini lantaran pengadilan mengakui putusan Pengadilan Tinggi Singapura atas moratorium kewajiban PBRX di negara tersebut.

"Iya, ditolak," kata Budi kepada CNBC Indonesia, Senin ini (26/7).

Dia menjelaskan, pertimbangan majelis hakim terkait dengan penolakan PKPU tersebut bertentangan dengan hukum karena telah mengakui putusan moratorium Singapura.

Kemudian moratorium ini dijadikan sebagai untuk menyatakan pemohon tidak mempunyai legal standing untuk mengajukan permohonan PKPU a quo.

"Padahal jelas-jelas putusan [pengadilan] asing gak bisa diberlakukan di Indonesia dan UU kepailitan juga gak mengenal/mengakui putusan asing," terang dia.

Untuk langkah selanjutnya, Budi menyebut masih akan dikoordinasikan dengan Maybank Indonesia selaku kliennya.

Adapun gugatan PKPU ini diajukan Maybank pada Senin (24/5/2021) dengan nomor perkara perkara 245/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Jkt.Pst.

Sementara itu, pada 28 Juni 2021 lalu, di Singapura, Komisaris Yudisial Philip Jeyaretnam memberi tanggapan atas permohonan OS 551 dan Subsidiaries OS. Komisioner Yudisial Philip pun memberikan moratorium kepada Pan Brothers dan entitas anak hingga 28 Desember 2021.

Permohonan moratorium ini memang didasarkan pada Section 64 of Insolvency, Restructuring and Dissolution Act 2018 dengan nomor perkara HC/OS 551/2021.

Selain itu, PBRX juga mengajukan permohonan lain berdasar Section 65 of the IRDA (Subsidiaries OS) untuk moratorium terhadap anak perusahaan dalam mendukung restrukturisasi perseroan.

Mengenai nilai utang yang dimoratorium, nilai terbesar adalah kepada pemegang obligasi dan sindikasi lenders dengan nilai obligasi sebesar US$ 171,1 juta atau setara Rp 2,48 triliun (kurs rata-rata Rp 14.500/US$) dan limit sindikasi sebesar US$ 138,5 juta atau setara Rp 2 triliun.

Untuk diketahui, kewajiban Pan Brothers dari Maybank Indonesia berupa fasilitas pinjaman bilateral senilai Rp 4,16 miliar dan US$ 4,05 juta (sekitar Rp 58,75 miliar, asumsi kurs Rp 14.500/US$), sehingga total Rp 62,91 miliar.

Selain saham PBRX, sehari sebelumnya, atau pada Selasa (27/7) kemarin, pihak bursa juga resmi mencabut tiga saham lainnya dari daftar pemantauan khusus.

Ketiga saham tersebut ialah saham emiten engineering dan manufaktur PT Grand Kartech Tbk (KRAH), emiten tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL), dan emiten konstruksi anak usaha PT Waskita Karya Tbk (WSKT) PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP).

Seperti halnya Pan Brothers, sebelumnya, ketiga saham emiten di atas masuk ke dalam poin 8 dalam kriteria efek dalam pemantauan khusus alias terjerat PKPU.

Sebagai contoh, SRIL saat ini sedang dalam proses PKPU di tiga negara, antara lain Indonesia, Singapura, dan Amerika Serikat (AS). Proses PKPU di Indonesia, misalnya, Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang telah memutuskan untuk mengabulkan permintaan perusahaan untuk memperpanjang proses PKPU hingga 90 hari ke depan.

Sementara itu, perusahaan baru-baru ini mengalami penurunan rating Jangka Panjang Issuer Default Rating (IDR) menjadi RD (Restricted Default) dari sebelumnya C yang dilakukan oleh lembaga pemeringkat global Fitch Ratings.

Ini terjadi seiring Sritex tidak memenuhi pembayaran bunga jatuh tempo sekitar US$ 850.000 atau setara dengan Rp 11,9 miliar (kurs US$ 1 = Rp 14.000) atas pinjaman sindikasi senilai US$ 350 juta atau Rp 4,9 triliun, yang jatuh tempo 23 April 2021.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(adf/adf)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Saham Sritex Terancam Didepak dari Bursa Efek Indonesia