Wow! Dolar Singapura Bakal Lebih Mahal dari Dolar Australia

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
22 July 2021 14:40
An Australia Dollar note is seen in this illustration photo June 1, 2017. REUTERS/Thomas White/Illustration
Foto: Dolar Australia (REUTERS/Thomas White)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar dolar Australia sedang dalam tren penurunan melawan rupiah sejak pertengahan April lalu. Hal yang sama juga terjadi pada dolar Singapura, tetapi pelemahan Mata Uang Negeri Merlion ini lebih terjaga. Alhasil, sedikit lagi kurs dolar Singapura akan lebih mahal ketimbang dolar Australia.

Melansir data Refinitiv, pada pukul 13:17 WIB, dolar Australia melemah 0,2% melawan rupiah ke Rp 10.677,15/AU$. Di saat yang sama, dolar Singapura melemah 0,1% di Rp 10.649,68/SG$. Selisih kedua dolar ini kini kurang dari Rp 50.

Kali Terakhir Mata Uang Kanguru lebih murah ketimbang Mata Uang Negeri Merlion yakni pada November 2020 lalu.

Jika dilihat sejak pertengahan April lalu, dolar Australia sudah anjlok lebih dari 5,5%. Sementara dolar Singapura hanya 2,6%. Hal tersebut menyebabkan kurs keduanya kini berbeda tipis-tipis saja.

Penyebab utama kemerosotan dolar Australia adalah sikap dovish bank sentralnya (Reserve Bank of Australia/RBA).

Dovish artinya arah kebijakan RBA masih longgar, sementara lawannya adalah hawkish yakni pengetatan kebijakan moneter.

Perekonomian Australia sudah menunjukkan pemulihan yang cukup kuat pasca dihantam pandemi penyakit virus corona, sehingga pelaku pasar memperkirakan RBA akan mengetatkan kebijakan moneternya.

Bukannya mengetatkan kebijakan moneter, RBA justru memperpanjang program pembelian asetnya (quantitative easing/QE), meski nilainya dikurangi. QE bank sentral Australia saat ini senilai AU$ 5 miliar per pekan, dan berakhir pada bulan September nanti.

Tetapi dalam rapat kebijakan moneter bulan ini, RBA memutuskan memperpanjang QE dengan mengurangi nilai pembelian menjadi AU$ 4 miliar per pekan. RBA juga memutuskan mempertahankan suku bunga di rekor terendah 0,1%.

RBA melalui sang gubernur Philip Lowe juga menegaskan suku bunga baru akan dinaikkan pada tahun 2024.

Selain itu, lonjakan kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19) mulai berdampak pada perekonomian Australia.

Biro Statistik Australia melaporkan penjualan ritel bulan Juni merosot 1,8% dari bulan sebelumnya. Penurunan tersebut menjadi yang pertama dalam 7 bulan terakhir, dan lebih tajam ketimbang prediksi penurunan Reuters sebesar 0,5%.

Di akhir Mei lalu, beberapa kota besar di Negara Bagian Victoria kembali menerapkan lockdown guna meredam penyebaran terbaru virus corona. Hal tersebut berdampak pada merosotnya penjualan ritel.

Sebelumnya, optimisme para pebisnis juga terpukul. National Australia Bank (NAB) pada pekan lalu melaporkan indeks keyakinan bisnis Australia turun menjadi 11 di bulan Juni dari bulan sebelumnya 20.

Indeks tersebut menggunakan angka 0 sebagai ambang batas. Di atasnya atau angka positif berarti optimistis, sementara di bawah 0 atau negatif berarti para pebisnis sedang pesimistis.

Selain itu, mayoritas para ekonom kini memprediksi produk domestik bruto (PDB) Australia akan merosot di kuartal III-2021. Jika itu terjadi, maka PDB Australia akan mengalami kontraksi lagi setelah kali terakhir terjadi pada kuartal II-2020 lalu.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Nanjak Berhari-Hari, Dolar Singapura & Australia Akhirnya KO

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular