Newsletter

Covid RI Cetak Rekor (Lagi)! Ekonomi Samar-Kesehatan Ambyar

Putra, CNBC Indonesia
15 July 2021 05:57
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia-Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menutup sesi dua dengan depresiasi 0,55% ke level 5.979,21 pada perdagangan Rabu (14/7/21) di tengah terus melesatnya kasus Covid-19 di dalam negeri.

Data BEI mencatat, nilai transaksi hari ini sebesar Rp 9,6 triliun dan terpantau investor asing membeli bersih Rp 126 miliar di pasar reguler.

Dari dalam negeri beredar kabar di pasar bahwa investor dan para manajer investasi (MI) mulai melarikan dananya dari saham-saham blue chip untuk bersiap masuk ke saham-saham unicorn yang akan melantai dalam waktu dekat yakni Bukalapak dan GoTo.

Setali tiga uang, di pasar spot rupiah harus mengakhiri penguatan dua hari beruntun melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (14/7/21).

Tekanan bagi rupiah datang dari dalam dan luar negeri, tetapi ketua The Fed Jerome Powell, yang akan memberikan testimoni membuat rupiah mampu bertahan di bawah Rp 14.500/US$.

Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,06% di Rp 14.470/US$. Depresiasi rupiah berlanjut hanya sampai Rp 14.495/US$ atau 0,23%, setelahnya rupiah sukses memangkas pelemahan.

Di akhir perdagangan, rupiah berada di Rp 14.475/US$, atau melemah 0,09% di pasar spot.

Pelemahan rupiah bisa dikatakan tidak terlalu besar meski dolar AS sedang mengamuk. Indeks dolar AS kemarin melesat 0,53% setelah rilis data inflasi, yang kembali memunculkan isu tapering (pengurangan pembelian aset) oleh The Fed di tahun ini.

Dari dalam negeri sentimen utama yang menggerakkan pasar keuangan yakni terus melesatnya kasus Covid-19 menyebabkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati angkat bicara dan menyebutkan bahwa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat bisa diperpanjang hingga enam pekan.

Hal ini tentu saja dapat memicu sentimen negatif bagi pasar keuangan dalam negeri karena dengan kasus Covid-19 yang berlarut-larut dan pergerakan masyarakat yang direm dengan PPKM darurat, roda perekonomian berpotensi untuk macet sehingga pertumbuhan ekonomi berpotensi tergerus.

Bursa saham Amerika Serikat (AS) ditutup mayoritas menguat terbatas pada perdagangan dini hari tadi, setelah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) terindikasi tak akan buru-buru menanggalkan kebijakan moneter longgar.

Data perdagangan mencatat, indeks acuan Dow Jones naik 0,13% ke level 34.933, indeks acuan S&P 500 juga terapresiasi 0,12% ke level 4.374, meskipun demikian indeks acuan Nasdaq dengan komponen saham teknologi terpaksa terkoreksi 0,22% ke level 14.644.

"Pasar sudah terbiasa dengan ungkapan 'suku bunga rendah lebih lama' dan komentar [Jerome] Powell hari ini tidak serta-merta mengubahnya," tutur Diane Swonk, Kepala Ekonom Grant Thornton, kepada CNBC International.

Bos The Fed Jerome Powell baru saja memberikan pidato di depan Komite Layanan Keuangan dan harus meyakinkan anggota Kongres bahwa kebijakan uang longgar yang dijalankan masih layak dipertahankan meski inflasi kemarin menyentuh level tertinggi sejak Agustus 2008.

Mr. Jay Powell meredakan ketakutan yang sempat terjadi di pasar karena angka inflasi AS bulan Juni yang meroket melebihi ekspektasi. Bos bank sentral AS tersebut menyebutkan bahwa bank sentral bisa menunggu sebelum mulai melonggarkan pembelian obligasinya, meski kenaikan angka inflasi, yang menurut Powell bakal moderat akhir tahun ini.

"Angka inflasi memang lebih tinggi dari yang diharapkan, akan tetapi ini kenaikan ini masih konsisten dengan apa yang sudah dibahas sebelum-sebelumnya. Ini hanyalah badai permintaan yang tinggi dan lemahnya penawaran, hal ini akan terlewati dalam waktu dekat." Ujar Powell pada pertemuan sang Gubernur The Fed dengan House Financial Services Comitee.

Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun-yang menjadi acuan di pasar-langsung melemah, dan terus menurun setelah rilis indeks harga produsen per Juni menguat melampaui angka inflasi.

Sebanyak 23 emiten yang menjadi konstituen indeks S&P 500 akan merilis kinerja keuangannya pekan ini. FactSet memperkirakan laba bersih mereka akan tumbuh 64% secara tahunan. Sementara itu, UBS menaikkan target indeks S&P 500 akhir tahun nanti menjadi 4.500.

Di ranah politik, Menteri Keuangan AS, Janet Yellen mengatakan dirinya tak berencana untuk mengaktifkan kembali diskusi reguler dengan China dan memilih untuk melanjutkan kebijakan suspensi yang diberlakukan oleh presiden sebelumnya, Donald Trump.

Dari dalam negeri, sentimen penggerak utama pasar tak lain dan tak bukan adalah kasus Covid-19 yang kembali memecahkan rekor menembus 50 ribu kasus per hari dan kembali menjadi juara dunia kenaikan kasus corona harian tertinggi.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), sejak kemarin pukul 12.00 hingga hari ini Rabu (14/7/2021) pukul 12.00 WIB, kasus baru Covid-19 bertambah 54.517 pasien. Rekor hari ini memecahkan rekor kemarin yang menembus 47.899 kasus. Hingga hari ini total konfirmasi positif di Indonesia menembus 2,67 juta.

Sementara itu, kasus kematian bertambah 991 orang sehingga total menjadi 69.210 orang. Ini merupakan kasus kematian Covid-19 yang cukup tinggi di Indonesia dalam sehari.

Kembali pecahnya rekor Covid-19 ini di terjadi tengah hari ke 12 penerapan PPKM Darurat. Kasus Covid-19 di Indonesia belum melandai malah terus meroket. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai apakah PPKM Darurat akan diperpanjang setelah 20 Juli mendatang.

Rekor Covid-19 yang terjadi secara beruntun di tengah pemberlakuan PPKM Darurat juga membuat para pelaku pasar bertanya-tanya akan efektifitas PPKM Darurat apalagi secara ekonomi PPKM Darurat jelas akan menganggu pertumbuhan ekonomi sehingga ditakutkan meski ekonomi sudah 'dikorbankan' Covid-19 masih tak dapat ditekan.

Bahkan akibat pemberlakuan PPKM Darurat pemerintah merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi 2021 dari 4,3-5,3% menjadi 3,7-4,5%. BI juga menurunkan 'ramalan' dari 4,1-5,1% menjadi 3,8%. Sebagai catatan, angka ini tentunya dalam kasus pasca PPKM Darurat kasus Covid-19 dapat ditekan sesuai target ke bawah 10 ribu kasus per hari.

"Asesmen awal kami menunjukkan kalau PPKM Darurat ini kita lakukan selama satu bulan dan bisa menurunkan Covid-19 secara baik, pertumbuhan ekonomi kita akan turun sekitar 3,8 persen," kata Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam Rapat Kerja dengan Badan Anggaran DPR, belum lama ini.

Dari sisi rilis data di dalam negeri, hari ini akan dirilis data Neraca Dagang RI bulan Juni 2021. Dimana konsensus memprediksikan neraca dagang masih akan surplus US$ 2,7 miliar naik dari posisi bulan lalu di angka US$ 2,3 mliar.

Sementara itu dari China, Negeri Panda akan merilis angka pertumbuhan ekonomi kuartal kedua. Konsensus memprediksi pertumbuhan ekonomi di kuartal kedua akan berada di angka 8,1%, turun jauh dari posisi kuartal pertama di angka 18,3%.

Melambatnya perekonomian China terjadi karena harga bahan baku yang naik memberatkan pabrik-pabrik di China dan kembali melesatnya kasus Covid-19 menyebabkan pengeluaran konsumsi kembali turun.

Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:

  • Keputusan Suku Bunga Bank Sentral Korea Selatan (8:00 WIB)
  • Tingkat Pengangguran Australia Periode Juni 2021 (8:30 WIB)
  • Pertumbuhan Ekonomi China Kuartal Kedua 2021 (9:00 WIB)
  • Neraca Dagang Indonesia Bulan Juni 2021 (13:00 WIB)
  • Inflasi Italia Periode Juni 2021 (15:00 WIB)
  • Produksi Industri Amerika Serikat Periode Juni 2021 (20:15 WIB)

 

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular