"Setan" Tapering Nyengir Lagi, Pasar Global Mulai Goyang

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
14 July 2021 16:40
federal reserve
Foto: Reuters

Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi di Amerika Serikat (AS) belum menunjukkan tanda-tanda menurun, membuat musuh utama pasar finansial global kembali muncul. Alhasil, sejak Selasa kemarin bursa saham mulai goyang, aset-aset yang dianggap berisiko juga masuk ke zona merah.

Musuh utama pasar finansial global saat ini selain virus corona adalah tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) oleh bank sentral AS (The Fed). Tapering pasti akan terjadi tetapi kapan waktunya yang masih menjadi misteri.

Banyak analis memperkirakan tapering akan dilakukan di tahun, sebab The Fed memajukan proyeksi kenaikan suku bunganya menjadi tahun 2023, dari sebelumnya tahun 2024, bahkan tidak menutup kemungkinan kenaikan suku bunga di tahun depan.

Meski demikian, ketua The Fed Jerome Powell berulang kali menegaskan tidak akan terburu-buru melakukan tapering. Alhasil, ekspektasi pasar pun meredup.

Tetapi pasca rilis data inflasi AS kemarin, "setan" tapering kembali nyengir, dan menghantui pasar finansial global.

Inflasi yang dilihat berdasarkan Consumer Price Index (CPI) melesat 5,4% di bulan Juni dari periode yang sama tahun lalu (year-on-year/YoY). Kenaikan tersebut merupakan yang tertinggi sejak Agustus 2008, dan lebih tinggi dari perkiraan para ekonom yang disurvei Dow Jones yang memperkirakan pertumbuhan 5%.

Sementara itu inflasi inti, yang tidak memasukkan sektor makanan dan energi dalam perhitungan tumbuh 4,5%, jauh di atas prediksi 3,8% dan tertinggi sejak September 1991.

Bank sentral AS (The Fed) sebenarnya menggunakan inflasi berdasarkan Personal Consumption Expenditure (PCE) sebagai dasar untuk menetapkan kebijakan moneter termasuk tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE). Tetapi data inflasi CPI bisa memberikan gambaran seberapa tinggi inflasi PCE nantinya.

Data terakhir menunjukkan inflasi inti PCE di bulan Mei tumbuh 3,4% YoY. Pertumbuhan tersebut merupakan yang tertinggi sejak tahun 1992.

Pasca rilis data tersebut indeks dolar AS kemarin melesat 0,53%.

"Rilis data inflasi menguatkan kembali cerita tapering The Fed dan dolar AS sudah berkonsolidasi dalam beberapa waktu. Saya pikir rilis data inflasi ini yang dibutuhkan dolar AS untuk kembali menguat," kata Kathy Lien, managing director BK Asset Management, sebagaimana dilansir CNBC International, Selasa (13/7/2021).

Bisa ditebak, penguatan dolar AS tersebut membuat rupiah yang sudah menguat 2 hari beruntun berbalik melemah tipis 0,09% ke Rp 14.475/US$ hari ini. Mata uang negara emerging market lainnya juga mengalami tekanan, begitu juga dengan major currencies.

Dari pasar saham, bursa saham AS (Wall Street) kemarin terkoreksi dari rekor tertinggi sepanjang masa, bursa Asia hari ini mayoritas di zona merah, termasuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang melemah 0,54%.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Ini Yang Buat "Setan" Tapering Ditakuti Pelaku Pasar

Seperti disebutkan sebelumnya, tapering pasti terjadi hanya masalah waktu saja. Tapering merupakan salah satu bagian dari normalisasi kebijakan moneter The Fed. Sejak pandemi penyakit virus corona melanda Maret 2020, The Fed mengambil langkah cepat untuk menyelamatkan perekonomian AS.

Bank sentral paling powerful di dunia ini melonggarkan kebijakan moneternya dengan membabat habis suku bunganya menjadi 0,25%, dan menggelontorkan program pembelian aset atau yang dikenal dengan quantitative easing (QE), dengan nilai saat ini mencapai US$ 120 miliar per bulan.

Ketika perekonomian AS sudah membaik, maka The Fed akan melakukan normalisasi kebijakan moneter yang pertama dilakukan adalah tapering, kemudian baru menaikkan suku bunga.

Pada pengumuman kebijakan moneter Juni lalu, The Fed memajukan proyeksi kenaikan suku bunganya menjadi tahun 2023, dari sebelumnya tahun 2024, bahkan tidak menutup kemungkinan kenaikan suku bunga di tahun depan. Namun, untuk tapering masih belum jelas kapan akan dilakukan.

The Fed menggunakan dua indikator utama kesehatan ekonomi AS, yang pertama pasar tenaga kerja dan yang kedua inflasi.

Masalahnya, inflasi di AS sedang tinggi-tingginya, dan jika dibiarkan dapat mengganggu pemulihan ekonomi AS, sebab daya beli masyarakat akan turun.

Oleh karena itu, banyak analis yang memprediksi The Fed akan melakukan tapering di tahun ini, agar inflasi tidak terus tinggi. Saat tapering dilakukan, penambahan likuiditas akan berkurang, sehingga tekanan inflasi bisa mereda.

Selain itu, saat tapering dilakukan, berkaca dari pengalaman di tahun 2013, akan terjadi kenaikan yield obligasi (Treasury), sebagai respon potensi kenaikan suku bunga.Kenaikan yield Treasury tersebut menjadi salah satu pemicu gejolak di pasar finansial, belum lagi aliran modal yang keluar dari negara emerging market menuju Amerika Serikat. Gejolak pun semakin besar, yang disebut taper tantrum.

Pasar finansial dalam negeri juga menjadi korban taper tantrum sejak pertengahan 2013 hingga 2015.

Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ sementara pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%. IHSG saat awal taper tantrum juga mengalami aksi jual. Pada periode Mei-September 2013 IHSG jeblok hingga 23%.

TIM RISET CNBC INDONESIA 

Next Page
Ini Yang Buat
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular