
"Setan" Tapering Nyengir Lagi, Pasar Global Mulai Goyang

Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi di Amerika Serikat (AS) belum menunjukkan tanda-tanda menurun, membuat musuh utama pasar finansial global kembali muncul. Alhasil, sejak Selasa kemarin bursa saham mulai goyang, aset-aset yang dianggap berisiko juga masuk ke zona merah.
Musuh utama pasar finansial global saat ini selain virus corona adalah tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) oleh bank sentral AS (The Fed). Tapering pasti akan terjadi tetapi kapan waktunya yang masih menjadi misteri.
Banyak analis memperkirakan tapering akan dilakukan di tahun, sebab The Fed memajukan proyeksi kenaikan suku bunganya menjadi tahun 2023, dari sebelumnya tahun 2024, bahkan tidak menutup kemungkinan kenaikan suku bunga di tahun depan.
Meski demikian, ketua The Fed Jerome Powell berulang kali menegaskan tidak akan terburu-buru melakukan tapering. Alhasil, ekspektasi pasar pun meredup.
Tetapi pasca rilis data inflasi AS kemarin, "setan" tapering kembali nyengir, dan menghantui pasar finansial global.
Inflasi yang dilihat berdasarkan Consumer Price Index (CPI) melesat 5,4% di bulan Juni dari periode yang sama tahun lalu (year-on-year/YoY). Kenaikan tersebut merupakan yang tertinggi sejak Agustus 2008, dan lebih tinggi dari perkiraan para ekonom yang disurvei Dow Jones yang memperkirakan pertumbuhan 5%.
Sementara itu inflasi inti, yang tidak memasukkan sektor makanan dan energi dalam perhitungan tumbuh 4,5%, jauh di atas prediksi 3,8% dan tertinggi sejak September 1991.
Bank sentral AS (The Fed) sebenarnya menggunakan inflasi berdasarkan Personal Consumption Expenditure (PCE) sebagai dasar untuk menetapkan kebijakan moneter termasuk tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE). Tetapi data inflasi CPI bisa memberikan gambaran seberapa tinggi inflasi PCE nantinya.
Data terakhir menunjukkan inflasi inti PCE di bulan Mei tumbuh 3,4% YoY. Pertumbuhan tersebut merupakan yang tertinggi sejak tahun 1992.
Pasca rilis data tersebut indeks dolar AS kemarin melesat 0,53%.
"Rilis data inflasi menguatkan kembali cerita tapering The Fed dan dolar AS sudah berkonsolidasi dalam beberapa waktu. Saya pikir rilis data inflasi ini yang dibutuhkan dolar AS untuk kembali menguat," kata Kathy Lien, managing director BK Asset Management, sebagaimana dilansir CNBC International, Selasa (13/7/2021).
Bisa ditebak, penguatan dolar AS tersebut membuat rupiah yang sudah menguat 2 hari beruntun berbalik melemah tipis 0,09% ke Rp 14.475/US$ hari ini. Mata uang negara emerging market lainnya juga mengalami tekanan, begitu juga dengan major currencies.
Dari pasar saham, bursa saham AS (Wall Street) kemarin terkoreksi dari rekor tertinggi sepanjang masa, bursa Asia hari ini mayoritas di zona merah, termasuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang melemah 0,54%.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Ini Yang Buat "Setan" Tapering Ditakuti Pelaku Pasar