
"Setan" Tapering Nyengir Lagi, Pasar Global Mulai Goyang

Seperti disebutkan sebelumnya, tapering pasti terjadi hanya masalah waktu saja. Tapering merupakan salah satu bagian dari normalisasi kebijakan moneter The Fed. Sejak pandemi penyakit virus corona melanda Maret 2020, The Fed mengambil langkah cepat untuk menyelamatkan perekonomian AS.
Bank sentral paling powerful di dunia ini melonggarkan kebijakan moneternya dengan membabat habis suku bunganya menjadi 0,25%, dan menggelontorkan program pembelian aset atau yang dikenal dengan quantitative easing (QE), dengan nilai saat ini mencapai US$ 120 miliar per bulan.
Ketika perekonomian AS sudah membaik, maka The Fed akan melakukan normalisasi kebijakan moneter yang pertama dilakukan adalah tapering, kemudian baru menaikkan suku bunga.
Pada pengumuman kebijakan moneter Juni lalu, The Fed memajukan proyeksi kenaikan suku bunganya menjadi tahun 2023, dari sebelumnya tahun 2024, bahkan tidak menutup kemungkinan kenaikan suku bunga di tahun depan. Namun, untuk tapering masih belum jelas kapan akan dilakukan.
The Fed menggunakan dua indikator utama kesehatan ekonomi AS, yang pertama pasar tenaga kerja dan yang kedua inflasi.
Masalahnya, inflasi di AS sedang tinggi-tingginya, dan jika dibiarkan dapat mengganggu pemulihan ekonomi AS, sebab daya beli masyarakat akan turun.
Oleh karena itu, banyak analis yang memprediksi The Fed akan melakukan tapering di tahun ini, agar inflasi tidak terus tinggi. Saat tapering dilakukan, penambahan likuiditas akan berkurang, sehingga tekanan inflasi bisa mereda.
Selain itu, saat tapering dilakukan, berkaca dari pengalaman di tahun 2013, akan terjadi kenaikan yield obligasi (Treasury), sebagai respon potensi kenaikan suku bunga.Kenaikan yield Treasury tersebut menjadi salah satu pemicu gejolak di pasar finansial, belum lagi aliran modal yang keluar dari negara emerging market menuju Amerika Serikat. Gejolak pun semakin besar, yang disebut taper tantrum.
Pasar finansial dalam negeri juga menjadi korban taper tantrum sejak pertengahan 2013 hingga 2015.
Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ sementara pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%. IHSG saat awal taper tantrum juga mengalami aksi jual. Pada periode Mei-September 2013 IHSG jeblok hingga 23%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)[Gambas:Video CNBC]