Analisis Bagian 1

IPO Unicorn Indonesia: Jualan Valuasi atau Mimpi?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
12 July 2021 10:30
infografis Mengenal Istilah dan 4 startup unicorn RI
Foto: infografis/infografis Mengenal Istilah dan 4 startup unicorn RI/Aristya RAhadian Krisabella

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia bakal segera menyaksikan sejarah baru masuknya Unicorn, perusahaan startup bervaluasi di atas US$ 1 miliar, ke bursa yakni Bukalapak. Banyak yang meyakini prospek perseroan ke depan bakal cerah, tapi tak sedikit yang menilainya hanya "jualan mimpi."

Pencatatan saham perdana (initial public offering/IPO) bagi perusahaan rintisan teknologi (startup) umumnya merupakan exit strategy, alias masa panen, bagi para investor yang sudah lama menanamkan dananya di sana. Saat ini, ada 50-an investor demikian di Bukalapak.

Bukalapak akan melepas maksimal 25,7 miliar saham biasa. Berdasarkan prospektus yang dirilis pada Jumat lalu (9/7), saham ditawarkan dengan harga Rp 750-Rp 850/saham, sehingga berpeluang meraup dana Rp 21,9 triliun.

Ia bukanlah satu-satunya. Saat ini, GoTo, entitas gabungan decacorn (perusahaan startup bervaluasi di atas US$ 10 miliar) Gojek dan Tokopedia berencana IPO tahun ini. Sayurbox, e-commerce produk segar rumah tangga pun menyatakan IPO sebagai rencana jangka panjang.

Begitu pula dengan perusahaan startup perjalanan Tiket.com, milik Grup Djarum, yang juga mempertimbangkan untuk go public melalui merger dengan perusahaan akuisisi bertujuan khusus alias SPAC (special purpose acquisition company).

Namun, pelaku pasar kini pro-kontra atas IPO perusahaan e-commerce yang didirikan oleh Achmad Zaky tersebut. Pasalnya, secara fundamental perseroan belum membukukan keuntungan, sementara nilai IPO sangat besar untuk perusahaan yang menurut mereka baru "menjanjikan mimpi" tersebut.

Salah satunya adalah begawan value investing Lo Kheng Hong yang dalam pernyataannya kepada publik menyatakan tidak meminati IPO perusahaan startup. Kepada CNBC Indonesia, dia menyarankan investor untuk berhati-hati dan tetap mengacu pada aspek fundamental.

"Perlu bagi calon investor untuk mempertimbangkan dan melihat lagi fundamental satu emiten," kata LKH, panggilan akrabnya, pada Jumat (9/7). Ia tidak secara spesifik menyebut saham startup tersebut.

Dalam beberapa forum investasi, beberapa kalangan mulai menyinggung mengenai bubble dot.com di Amerika Serikat (AS) yang terjadi pada era 1990-an, dan berakhir dengan crash atau anjloknya pasar di AS di tahun 2000-2002.

Saat itu, perusahaan pengembang website yang mentransaksikan barang dan jasa menggantikan toko/kantor konvensional bermunculan dan masuk bursa. Setelah mereka meraup dana publik dan sahamnya meroket karena hype era-internet, Nasdaq anjlok 78% (per Oktober 2002) dari level tertingginya setelah bisnis mereka terbukti hanya indah di atas angan-angan.

Gelembung dotcom di Wall Street diawali pada tahun 1995 setelah perusahaan internet banyak memasuki bursa AS. Menurut data Departemen Tenaga Kerja AS, penetrasi komputer pribadi kian dalam dengan porsi membesar dari 15% populasi AS (pada 1990), menjadi 35% pada 1997.

Indeks Nasdaq, yang berisikan saham teknologi, melesat 400% dari akhir 1996 menuju titik tertingginya pada 27 Maret 2000 di level 4.705, sebelum kemudian pecah.

Pada saat itu, berbagai perusahan internet dan telekomunikasi menyerbu bursa dan di Wall Street terjadi eforia di mana valuasi perusahaan internet tidak lagi mengacu pada rasio konvensional, karena industri ini diyakini memang padat modal untuk membangun infrastruktur dan aktif berpromosi untuk menarik masyarakat mengonsumsi produk lewat jejaring internet.

Beberapa di antaranya adalah perusahaan seperti perusahaan fashion Boo.com yang beriklan besar-besaran untuk menarik masyarakat berbelanja produk lewat laman internetnya. Demikian juga Pet.com yang beriklan masif untuk menarik pencinta hewan peliharaan mengunjungi situsnya dan bertransaksi.

Hal ini menyebabkan perhitungan rasio keuangan menjadi longgar dan bahkan menolerir aksi bakar uang perusahaan internet tersebut. Valuasi yang mahal dan rugi bersih dinilai sebagai konsekuensi wajar dari perusahaan yang ekspansif membangun basis pengguna di masa depan. Amazon, misalnya, ketika IPO pada 1997 masih memikul rugi bersih US$ 5,8 juta.

Ada semacam mentalitas "pertumbuhan sebagai panglima" yang berkembang saat itu, di mana prospek sebuah perusahaan internet dinilai dari jumlah visitor dan bukan pada revenue. Mereka saling bersaing merebut pasar pengguna internet agar menjadi pengguna tetap laman mereka.

Istilah sekarang, yang kebetulan juga terjadi dalam konteks startup, adalah "bakar uang". Laba bersih nomor dua, karena yang nomor satu adalah jumlah pengguna. Transaksi dibudidayakan melalui insentif berbagai skema, utamanya melalui subsidi ke pelanggan (promo).

Namun, kenyataan tak sejalan dengan ekspektasi. Alih-alih berhasil membangun basis pengguna, perusahaan internet hanya berhasil mewarnai papan reklame dan slot iklan di berbagai media. Adagium "get big fast" justru berakhir menjadi "get lost fast".

Salah satunya Pets.com yang gulung tikar 9 bulan setelah listing di bursa New York, diikuti aksi jual saham besar-besaran di semua perusahaan internet. Sejak saat itu, barulah muncul 'rasio bakar uang' (burn rate) karena investor mulai hati-hati mengecek arus kas perusahaan internet.

Semakin besar mereka membelanjakan kas untuk biaya marketing, sementara pendapatan tak mengimbangi, makin kurang prospektif perusahaan tersebut. Apakah skenario serupa bakal terjadi di kasus IPO perusahaan startup di Tanah Air, yang juga masih merugi?

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular