
IPO Unicorn Indonesia: Jualan Valuasi atau Mimpi?

Gelembung dotcom di Wall Street diawali pada tahun 1995 setelah perusahaan internet banyak memasuki bursa AS. Menurut data Departemen Tenaga Kerja AS, penetrasi komputer pribadi kian dalam dengan porsi membesar dari 15% populasi AS (pada 1990), menjadi 35% pada 1997.
Indeks Nasdaq, yang berisikan saham teknologi, melesat 400% dari akhir 1996 menuju titik tertingginya pada 27 Maret 2000 di level 4.705, sebelum kemudian pecah.
Pada saat itu, berbagai perusahan internet dan telekomunikasi menyerbu bursa dan di Wall Street terjadi eforia di mana valuasi perusahaan internet tidak lagi mengacu pada rasio konvensional, karena industri ini diyakini memang padat modal untuk membangun infrastruktur dan aktif berpromosi untuk menarik masyarakat mengonsumsi produk lewat jejaring internet.
Beberapa di antaranya adalah perusahaan seperti perusahaan fashion Boo.com yang beriklan besar-besaran untuk menarik masyarakat berbelanja produk lewat laman internetnya. Demikian juga Pet.com yang beriklan masif untuk menarik pencinta hewan peliharaan mengunjungi situsnya dan bertransaksi.
Hal ini menyebabkan perhitungan rasio keuangan menjadi longgar dan bahkan menolerir aksi bakar uang perusahaan internet tersebut. Valuasi yang mahal dan rugi bersih dinilai sebagai konsekuensi wajar dari perusahaan yang ekspansif membangun basis pengguna di masa depan. Amazon, misalnya, ketika IPO pada 1997 masih memikul rugi bersih US$ 5,8 juta.
Ada semacam mentalitas "pertumbuhan sebagai panglima" yang berkembang saat itu, di mana prospek sebuah perusahaan internet dinilai dari jumlah visitor dan bukan pada revenue. Mereka saling bersaing merebut pasar pengguna internet agar menjadi pengguna tetap laman mereka.
Istilah sekarang, yang kebetulan juga terjadi dalam konteks startup, adalah "bakar uang". Laba bersih nomor dua, karena yang nomor satu adalah jumlah pengguna. Transaksi dibudidayakan melalui insentif berbagai skema, utamanya melalui subsidi ke pelanggan (promo).
Namun, kenyataan tak sejalan dengan ekspektasi. Alih-alih berhasil membangun basis pengguna, perusahaan internet hanya berhasil mewarnai papan reklame dan slot iklan di berbagai media. Adagium "get big fast" justru berakhir menjadi "get lost fast".
Salah satunya Pets.com yang gulung tikar 9 bulan setelah listing di bursa New York, diikuti aksi jual saham besar-besaran di semua perusahaan internet. Sejak saat itu, barulah muncul 'rasio bakar uang' (burn rate) karena investor mulai hati-hati mengecek arus kas perusahaan internet.
Semakin besar mereka membelanjakan kas untuk biaya marketing, sementara pendapatan tak mengimbangi, makin kurang prospektif perusahaan tersebut. Apakah skenario serupa bakal terjadi di kasus IPO perusahaan startup di Tanah Air, yang juga masih merugi?
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags)[Gambas:Video CNBC]