Corona Makin Gila, Rupiah Kian Lemah Dekati Rp 14.500/US$

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
28 June 2021 11:45
Warga menunjukkan uang baru 75.000 Ribu di Gedung BI. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Warga menunjukkan uang baru 75.000 Ribu di Gedung BI. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Sepertinya investor (dan seluruh rakyat Indonesia) mencemaskan situasi pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).

Pada Senin (28/6/2021) pukul WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.450. Rupiah melemah 0,21% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.

Sepanjang minggu kemarin, rupiah melemah 0,35% di hadapan dolar AS secara point-to-point. Rupiah mengawali pekan di Rp 14.370/US$ dan finis di Rp 14.420/US$.

Memasuki pekan yang baru, sepertinya tren depresiasi rupiah belum mereda. Dolar AS jadi semakin nyaman di atas Rp 14.400.

Setidaknya ada dua sentimen yang mempengaruhi gerak rupiah. Pertama dari sisi eksternal, dolar AS memang sedang perkasa.

Di Asia, dolar AS menguat terhadap hampir seluruh mata uang utama. Hanya rupee India, yen Jepang, ringgit Malaysia, dan dolar Taiwan yang menolak tunduk.

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 11:05 WIB:

Halaman Selanjutnya --> Apa Boleh Buat, Dolar AS Memang Kelewat Kuat

Tidak cuma di Asia, dolar AS juga berjaya di level dunia. Pada pukul 10:41 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,03%.

Dalam sebulan terakhir, Dollar Index melonjak 2,05%. Sedangkan sejak akhir 2020 (year-to-date) penguatannya adalah 2,16%.

Percepatan laju inflasi AS jadi 'bensin' buat laju mata uang Negeri Paman Sam. Akhir pekan lalu, US Bureau of Economics Analysis merilis data inflasi AS. Bukan Indeks Harga Konsumen (IHK) atau Consumer Price Index (CPI), melainkan Personal Consumption Expenditure (PCE). Ini adalah indikator inflasi yang menjadi rujukan bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed), terutama PCE inti.

Pada Mei 2021, laju PCE inti tercatat 3,4% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Ini adalah laju tercepat sejak April 1992.

Percepatan laju inflasi yang sudah melampaui target 2% membuat pasar semakin yakin bahwa kenaikan suku bunga acuan bisa terjadi lebih cepat. Bukan tidak mungkin Federal Funds Rate bakal naik tahun depan.

"Tergantung data penciptaan lapangan kerja nanti, sepertinya pasar mulai membuat perkiraan suku bunga naik tahun depan," ujar Yukio Ishizuki, Senior Currency Strategist di Daiwa Securities, seperti dikutip dari Reuters.

Aura kenaikan suku bunga akan menjadi angin segar bagi dolar AS. Kenaikan suku bunga akan membuat imbalan berinvestasi di dolar AS akan ikut terangkat. Dolar AS jadi menarik sehingga diburu pelaku pasar.

Halaman Selanjutnya --> Corona Kian Berbahaya

Faktor kedua adalah sentimen domestik. Semakin hari, pandemi virus corona di Tanah Air semakin menakutkan.

Kementerian Kesehatan melaporkan, pasien positif corona per 27 Juni 2021 berjumlah 2.115.304 orang. Bertambah 21.342 orang dari hari sebelumnya, rekor tertinggi penambahan kasus harian sejak pasien pertama diumumkan pada 1 Maret 2020.

Dalam 14 hari terakhir, rata-rata pasien positif bertambah 14.568 orang per hari. Melonjak lebih dari dua kali lipat ketimbang rerata 14 hari sebelumnya yaitu 6.808 orang setiap harinya.

Beban berat yang ditanggung oleh pekerja medis dan sistem pelayanan kesehatan, plus penularan virus yang semakin cepat akibat kehadiran varian baru, membuat desakan untuk memperketat pembatasan aktivitas dan mobilitas masyarakat semakin mengemuka. Wacana karantina wilayah (lockdown) atau kebijakan yang lebih ketat dari sekarang kembali muncul, bahkan semakin kencang.

"Sebenarnya di luar negeri juga tidak ada, (lockdown) hanya istilah. Kita lakukan pengetatan saja, do something. Tidak usah ribut dengan istilah," tegas Pandu Riono, Epidemiolog Universitas Indonesia.

Apabila pandemi virus corona semakin tidak terkendali, maka masa depan ekonomi Indonesia bakal sangat tidak pasti. Soalnya, pengetatan aktivitas dan mobilitas publik akan membuat 'roda' ekonomi tidak bisa berputar cepat.

"(Kasus Covid-19) Jakarta cukup tinggi dan beberapa daerah. Ini akan mempengaruhi kuartal II karena sampai Juni. Jadi Covid-19 harus dikendalikan. Kalau tidak, maka kita tidak akan bisa menormalisasi apapun, pendidikan, kegiatan keagamaan, dan lain-lain," papar Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, baru-baru ini.

Ketidakpastian ini membuat investor (terutama asing) ragu untuk masuk ke pasar keuangan Indonesia. Di pasar saham, investor asing mencatatkan penjualan bersih (net sell) di pasar reguler sebesar Rp 259,25 miliar di pasar reguler pada pukul 11:29 WIB. Tanpa dukungan arus modal masuk, rupiah sulit untuk berbuat banyak.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular