Ulasan Sepekan

Dihantam 'Ledakan' Covid-19 & Inflasi AS, Rapor Rupiah Merah!

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
26 June 2021 15:25
Karyawan menunjukkan pecahan uang dollar di salah satu tempat penukaran uang di kawasan Blok M, Kebayoran Baru, Jumat (16/3/2018). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terus tertekan sepanjang pekan ini (21-25 Juni), melanjutkan depresiasi yang terjadi pada pekan lalu, menyusul pemburukan sentimen investor terkait naiknya kasus Covid-19 nasional, di tengah outlook penaikan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS).

Mata Uang Garuda bertengger di level Rp 14.420 per dolar AS, atau melemah 1,02% sepekan ini, setelah pada akhir pekan lalu nilainya drop 1,28% di angka Rp 14.370/dolar AS. Rupiah hanya mampu menguat tipis pada Selasa dan Jumat.

Sepanjang pekan ini, indeks dolar AS sebenarnya melemah, yakni menjadi 91,851 pada akhir pekan ini. Indeks yang mengukur kekuatan dolar AS terhadap mitra dagang utamanya itu pada akhir pekan lalu berada di level 92,225.

Ketika dolar AS melemah, secara teoritis semestinya kurs mata uang rupiah menguat. Namun hal itu tidak terjadi sepekan ini, yang mengindikasikan bahwa Greenback bukan menjadi satu-satunya faktor penekan kurs Mata Uang Garuda selama sepekan ini.

Koreksi rupiah terutama terjadi di tengah sentimen negatif dari dalam negeri berupa kenaikan angka Covid-19, sehingga sempat menyentuh rekor tertinggi sebanyak 20.574 pada Kamis kemarin. Ketika kasus Covid-19 terus memburuk, maka pemulihan ekonomi pun terganggu, karena bakal diperlukan pembatasan sosial untuk menekan penyebaran virus.

Namun pada Jumat rupiah menguat setelah kasus baru Covid-19 cenderung melandai, dengan sebanyak 18.872 kasus baru. Ada harapan bahwa rekor tertinggi Kamis tidak akan terulang ke depannya, dan bakal cenderung terus melandai.

Sentimen positif juga muncul dari AS pada Jumat, di mana bos The Fed Jerome Powell dalam pidatonya di hadapan Kongres AS menyatakan bahwa tekanan inflasi di Negara Adidaya tersebut bersifat temporer, dan pihaknya tidak bakal mengacu pada inflasi itu saja dalam penentuan penaikan Fed Funds Rate.

Pernyataan tersebut memperkuat keyakinan pasar yang terbentuk pada Selasa, dan membantu rupiah menguat sebesar 0,17% pada hari itu, bahwa penaikan suku bunga tidak akan dilakukan terburu-buru setelah sebelumnya The Fed memproyeksikan suku bunga akan naik di tahun 2023, lebih cepat dari proyeksi sebelumnya di tahun 2024.

Tidak heran, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun pada Selasa turun ke 1,467%, dari posisi Senin sebesar 1,497%. Pelemahan imbal hasil biasanya terjadi ketika inflasi diprediksi masih terjaga sehingga tidak ada kebutuhan untuk mengejar imbal hasil tinggi.

Namun selepas rilis indeks belanja konsumsi pribadi (Personal Consumption Expenditures/PCE) AS pada Jumat malam di angka 3,4% (secara tahunan) pada Mei, yang merupakan laju tercepat sejak tahun 1990, imbal hasil obligasi acuan pasar di AS itu ikut naik menjadi 1,524%.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ags/ags)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Maaf Rupiah Belum Bisa Juara, Loyo Seminggu

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular