
'Hantu' Tapering Mulai Lenyap, Begini Kinerja IHSG Sepekan

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham nasional sepekan ini menguat tipis, hanya 0,25%, di tengah membaiknya selera mengambil risiko (risk appetite) investor setelah bank sentral Amerika Serikat (AS) menyatakan tidak akan menaikkan suku bunga acuan hanya karena inflasi yang meninggi.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sepanjang pekan ini bertambah hanya 15,28 poin atau setara dengan 0,25% menjadi 6.022,399 setelah pada akhir pekan lalu bertengger di level 6.007,12.
Data PT Bursa Efek Indonesia (BEI) menyebutkan investor asing mencatatkan penjualan bersih (net sell) di pasar reguler sebesar Rp 703,34 miliar selama sepekan ini. Namun demikian, di pasar tunai dan negosiasi terdapat aksi beli besar-besaran dengan nilai total Rp 2,03 triliun.
Salah satunya menimpa saham milik Sinar Mas Group yakni PT Sinar Mas Multiartha Tbk (SMMA). Data BEI mencatat investor asing melakukan pembelian bersih atas saham SMMA senilai Rp 768 miliar di pasar negosiasi pada Senin pada harga Rp 14.500/unit.
Total nilai transaksi sepekan mencapai Rp 57,3 triliun, yang didapat dari perdagangan 100 miliar saham sebanyak lebih dari 5,8 juta kali. Sebanyak 225 saham menguat, 266 lain melemah, dan 156 sisanya stagnan.
Penguatan IHSG terjadi dalam dua dari 5 hari perdagangan, dengan reli terbesar pada Selasa mencapai 1,5% sehari. Sehari setelah itu terjadi koreksi besar, mencapai 0,88% yang berlanjut pada Kamis (sebesar -0,37%). Di penghujung perdagangan pekan ini, IHSG menguat 0,7%.
Mengawali pekan, IHSG terkoreksi tipis 0,18% menyusul masih berlanjutnya sentimen negatif di pasar setelah pekan sebelumnya bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) memperkirakan penaikan suku bunga bisa dilakukan pada 2023, dan memperkirakan inflasi bisa melewati angka 3% pada akhir tahun ini. Pada situasi normal, The Fed menolerir tingkat inflasi sebesar 2%.
Tak cukup dengan itu, kepada CNBC International Presiden The Fed St. Louis Jim Bullard menambahi kecemasan pasar pada Senin, setelah mengatakan bahwa wajar jika The Fed cenderung "hawkish" dan kenaikan suku bunga pertama bisa terjadi secepatnya pada 2022.
Namun pada Selasa, situasi berbalik setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menargetkan herd immunity atau kekebalan komunal bisa tercapai pada Agustus 2021 sehingga penyebaran Covid-19 menjadi lebih terbatas.
Sentimen positif juga muncul pada Jumat di mana bos The Fed Jerome Powell di depan Kongres AS yang menyatakan bahwa tekanan inflasi di Negara Adidaya tersebut bersifat temporer, dan pihaknya tidak bakal mengacu pada inflasi tersebut dalam penentuan penaikan Fed Funds Rate.
Dus, kekhawatiran seputar fenomena taper tantrum, yakni pembalikan dana asing ke negara maju karena terhentinya kebijakan moneter longgar AS, agak mereda.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bursa RI Merah Padam! Tenang...Asing Tetap Borong Saham