TELE Mau Delisting, Duh Nasib Duit TLKM, BCA & BRI Bagaimana?

Ferry Sandria, CNBC Indonesia
23 June 2021 12:40
Gerai warung kopi di Tangerang Selatan menyediakan fasilitas internet gratis untuk membantu para pelajar mengikuti belajar daring. Kamis, (30/7/20). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Peluncuran ponsel flagship terbaru yakni Vivo V19 di Indonesia pada hari ini, Selasa (10/3/2020). (CNBC Indonesia/ Arif Budiansyah)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Efek Indonesia (BEI) menyatakan bahwa emiten peritel ponsel, PT Tiphone Mobile Indonesia Tbk (TELE) berpotensi dihapuskan pencatatan sahamnya dari bursa atau delisting.

Kepala Divisi Penilaian Perusahaan 2 BEI, Vera Florida dan Pelaksana Harian Kepala Divisi Pengaturan dan Operasional Perdagangan BEI, Mulyana, mengatakan bahwa saham TELE sudah disuspensi atau dihentikan sementara perdagangan selama 12 bulan.

Berdasarkan ketentuan bursa, suatu emiten dapat dihapuskan pencatatan sahamnya jika mengalami kondisi, atau peristiwa, yang secara signifikan berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha emiten, baik secara finansial atau secara hukum, atau terhadap kelangsungan status perusahaan tercatat sebagai perusahaan terbuka, dan perusahaan tercatat tidak dapat menunjukkan indikasi pemulihan yang memadai.

Selanjutnya, delisting juga bisa dilakukan jika saham emiten terkait, yang akibat suspensi di pasar reguler dan pasar tunai, hanya diperdagangkan di pasar negosiasi sekurang - kurangnya selama 24 bulan terakhir.

"Dapat kami sampaikan bahwa saham dan obligasi Tiphone Mobile Indonesia telah disuspensi di seluruh pasar selama 12 bulan dan masa suspensi akan mencapai 24 bulan pada tanggal 10 Juni 2022," tulis pengumuman tersebut, dikutip Rabu (23/6/2021).

Oleh sebab itu, Bursa meminta kepada publik untuk memperhatikan dan mencermati segala bentuk informasi yang disampaikan oleh manajemen TELE.

Adapun, pemegang saham efektif perseroan sampai dengan November 2020 yang disampaikan kepada BEI, yakni PT PINS Indonesia tercatat menggenggam kepemilikan sebesar 24%.

Kemudian PT Upaya Cipta Sejahtera punya saham sebesar 37,32%, PT Esa Utama Inti Persada 6,59%, Haiyanto 7,94% dan sisanya pemegang saham publik sebesar 24,14%.

Menariknya, PINS Indonesia adalah anak usaha BUMN PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM).

Sebelumnya manajemen Telkom masih belum memberikan informasi detail mengenai rencana kepemilikan sahamnya ini di perusahaan tersebut.

"Ada aspek lain soalnya [harus] cek dulu," kata Ahmad Reza, SVP Corporate Communication Telkom kepada CNBC Indonesia beberapa waktu lalu.

NEXT: PKPU dan Nasib Kreditor

TELE juga baru merilis laporan keuangan. Tapi bukan kuartal I-2021 dan Desember 2020, melainkan laporan keuangan kuartal I-2020.

Perseroan membukukan pendapatan sebesar Rp 2,90 triliun pada kuartal pertama tahun 2020, turun 59,06% dari periode yang sama tahun sebelumnya sejumlah Rp 6,61 triliun.

Penurunan laba tersebut menyebabkan perusahaan mengalami kerugian sebesar Rp 186,67 miliar dari tahun sebelumnya di mana perusahaan masih memperoleh laba bersih senilai Rp 52,52 miliar.

Selain itu kondisi aset dan kewajiban utang perusahaan juga semakin memburuk.

Aset perusahaan tercatat turun 5,52% menjadi Rp 2,79 triliun dari semula Rp 2,95 triliun, dengan aset lancar tercatat sebesar 1,74 triliun dan kas perusahaan sebesar Rp 337,76 miliar.

Di sisi lain liabilitas perusahaan mengalami peningkatan dari semula Rp 4,60 triliun naik menjadi Rp 4,82 triliun dengan lebih dari 85% nya merupakan kewajiban jangka pendek.

Liabilitas perusahaan yang jauh lebih besar dari pada nilai aset yang dimiliki menjadikan perusahaan mengalami defisiensi modal, dengan ekuitas tercatat berada di angka negatif Rp 2,02 triliun meningkat 23% dari posisi sebelumnya sebesar negatif Rp 1,64 triliun.

NEXT: Deretan Kreditor PKPU

Tekakan berikutnya datang dari sisi hukum. Berdasarkan dokumen Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 147/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst, para kreditor TELE menyetujui rencana perdamaian dalam PKPU (penundaan kewajiban pembayaran utang).

Jumlah tagihan utang TELE kepada kreditor separatis mencapai Rp 2,78 triliun, dengan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) merupakan kreditor terbesar sejumlah Rp 636,19 miliar selanjutnya ada PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) di posisi dua yang memiliki piutang sebesar Rp 564,94 miliar.

Lalu ada Taiwan Cooperative Bank Manila Offshore Banking Branch dengan tagihan Rp 293,31 miliar dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) tbk (BBRI) dengan tagihan Rp 146,66 miliar, sama dengan PT Bank CTBC Indonesia dan Mega Internasional Commercial Bank Co Ltd Manila.

Berikut lengkapnya:

Tabel 1, Kreditor Separatis PKPU TELEFoto: Tabel 1, Kreditor Separatis PKPU TELE
Tabel 1, Kreditor Separatis PKPU TELE
Tabel 2, Kreditor Separatis PKPU TELEFoto: Tabel 2, Kreditor Separatis PKPU TELE
Tabel 2, Kreditor Separatis PKPU TELE
Tabel 3, Kreditor Konkuren PKPU TELEFoto: Tabel 3, Kreditor Konkuren PKPU TELE
Tabel 3, Kreditor Konkuren PKPU TELE
Tabel 4, Kreditor Konkuren PKPU TELEFoto: Tabel 4, Kreditor Konkuren PKPU TELE
Tabel 4, Kreditor Konkuren PKPU TELE
Tabel 5, Kreditor Konkuren PKPU TELEFoto: Tabel 5, Kreditor Konkuren PKPU TELE
Tabel 5, Kreditor Konkuren PKPU TELE

Secara umum, dalam literatur hukum dijelaskan bahwa kreditur konkuren adalah kreditur yang tidak memegang hak jaminan kebendaan, kreditur preferen adalah kreditur yang didahulukan karena sifat piutangnya (hak istimewa), dan kreditur separatis adalah kreditur yang memegang hak jaminan kebendaan. 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular