Taper Tantrum di Depan Mata, Begini Nasib Harga Komoditas!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
20 June 2021 18:15
Jerome Powell (REUTERS/Erin Scott)
Foto: Jerome Powell (REUTERS/Erin Scott)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pengumuman kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed pada Kamis lalu, menjadi salah satu event yang ditunggu para pelaku pasar global. Isu tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) menjadi perhatian utama.

Di tahun 2013 lalu, tapering The Fed memicu gejolak di pasar finansial global yang disebut taper tantrum, dan berdampak pada semua aset, termasuk harga komoditas.

Bukannya memberikan kejelasan tapering, The Fed malah mengejutkan pasar dengan proyeksi suku bunga terbarunya. The Fed mengindikasikan akan suku bunga bisa naik 2 kali di tahun 2023 masing-masing 24 basis poin hingga menjadi 0,75%.

Hal tersebut terlihat dari Fed Dot Plot, dimana 13 dari 18 anggota melihat suku bunga akan dinaikkan pada tahun 2023. 11 diantaranya memproyeksikan dua kali kenaikan.

Proyeksi kenaikan suku bunga tersebut lebih cepat ketimbang perkiraan yang diberikan bulan Maret lalu, dimana mayoritas melihat suku bunga baru akan dinaikkan pada tahun 2024.

idrFoto: Refinitiv

Selain itu, dalam Fed Dot Plot terbaru, ada 7 anggota yang memproyeksikan suku bunga bisa naik pada tahun 2022.

Artinya, jika perekonomian AS semakin membaik, ada kemungkinan suku bunga akan naik tahun depan, jauh lebih cepat dari proyeksi sebelumnya.

Sementara itu kapan tapering akan dilakukan masih belum terjawab. Bank sentral pimpinan Jerome Powell ini tidak menyebutkan mengenai masalah tapering, tetapi menyiratkan sudah mendiskusikan hal tersebut.

Namun, jika suku bunga akan dinaikkan lebih cepat dari sebelumnya, artinya tapering juga kemungkinan besar akan lebih cepat, terjadi di semester II tahun ini. Apalagi The Fed juga menaikkan proyeksi inflasi tahun ini menjadi 3,4% dari sebelumnya 2,4%.

"Jika The Fed menaikkan suku bunga sebanyak 2 kali di tahun 2023, mereka harus mulai melakukan tapering lebih cepat untuk mencapai target tersebut. Tapering dalam laju yang moderat kemungkinan akan memerlukan waktu selama 10 bulan, sehingga perlu dilakukan di tahun ini, dan jika perekonomian menjadi sedikit panas, maka suku bunga bisa dinaikkan lebih cepat lagi," kata Kathy Jones, kepala fixed income di Charlers Schwab, sebagaimana dilansir CNBC International, Rabu (17/6/2021).

Pasca pengumuman tersebut, indeks dolar AS terus melesat naik. Sepanjang pekan ini, indeks dolar AS melesat 1,8% ke 92,346, level terkuat sejak awal April.

Penguatan dolar AS tentunya memukul harga-harga komoditas yang mayoritas dibanderol dengan mata uang Paman Sam ini. Harga emas dunia menjadi salah satu yang paling terpukul, anjlok lebih dari 6% dalam sepekan. Sementara harga minyak mentah masih mampu menguat lebih dari 1%.

Namun, secara keseluruhan harga komoditas mengalami tekanan yang terlihat dari indeks Commodity Research Beureu (CRB).

Indeks ini merepresentasikan pasar komoditas global. Ada 19 komoditas di dalamnya yang dibagi menjadi beberapa kelompok. Kelompok agrikultur berkontribusi sebesar 49%, disusul energi 39%, industri logam 13% dan logam mulia 7%.

Sepanjang pekan ini indeks CRB mengalami penurunan 3% ke 205,86.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Harga Komoditas Jeblok Puluhan Persen Akibat Taper Tantrum

Taper tantrum pernah terjadi pada tahun pada pertengahan tahun 2013 lalu, The Fed yang saat itu dipimpin Ben Bernanke, mengeluarkan wacana tapering QE yang dilakukan sejak krisis finansial global 2008.

The Fed saat itu menerapkan QE dalam 3 tahap. QE 1 dilakukan mulai November 2008, kemudian QE 2 mulai November 2010, dan QE 3 pada September 2012. Nilainya pun berbeda-beda, saat QE 1 The Fed membeli efek beragun senilai US$ 600 miliar, kemudian QE 2 juga sama senilai US$ 600 miliar tetapi kali ini yang dibeli adalah obligasi pemerintah (Treasury) AS.

QE 3 berbeda, The fed mengumumkan pembelian kedua aset tersebut senilai US$ 40 miliar per bulan, kemudian dinaikkan menjadi US$ 85 miliar per bulan.

Kebijakan suku bunga rendah dan QE membuat perekonomian Negeri Paman Sam banjir likuiditas, akibatnya indeks dolar AS tertahan di bawah level 90. Artinya dolar AS sedang melempem.

Saat wacana tapering muncul dolar AS menjadi begitu perkasa. The Fed akhirnya mulai mengurangi QE sebesar US$ 10 miliar per bulan dimulai pada Desember, hingga akhirnya dihentikan pada Oktober 2014. Akibatnya, sepanjang 2014, indeks dolar melesat lebih dari 12%.

Tidak sampai di situ, setelah QE berakhir muncul wacana normalisasi alias kenaikan suku bunga The Fed, yang membuat dolar AS terus berjaya hingga akhir 2015.


Saat dolar AS menguat lebih dari 12% di tahun 2014, harga komoditas mengalami pukulan hebat, indeks CRB ambrol nyaris 18%, dan berlanjut di tahun 2015 yang anjlok lebih dari 23%.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Begini Nasib Komoditas Andalan Indonesia



Komoditas ekspor andalan Indonesia, minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) dan batu bara juga tidak lepas dari "kejamnya" taper tantrum.

Harga CPO pada bulan lalu mencatat rekor tertinggi sepanjang masa di Bursa Derivatif Malaysia, tetapi setelahnya ambrol hingga lebih dari 24% dalam 5 pekan terakhir, termasuk merosot 6,5% di pekan ini. Kemerosotan tersebut utamanya disebabkan stok di Malaysia dan Indonesia yang masih tinggi, sementara permintaan yang masih lemah.

Pengumuman kebijakan moneter The Fed juga turut mempengaruhi. Saat taper tantrum 2013-2015, harga CPO juga mengalami naik turun ibarat roller coaster. Harga minyak nabati ini sempat menanjak ke kisaran 2.900 ringgit (RM) per ton pada Maret 2014, sebelum akhirnya mulai masuk tren menurun dan mencapai titik terendah di kisaran RM 1.800an per ton pada Agustus 2015. Setelah mencapai titik terendah tersebut, harga CPO perlahan mulai bangkit.

Sementara itu baru bara yang belakangan ini sedang menanjak hingga ke level tertinggi dalam nyaris satu dekade terakhir, nasibnya lebih tragis. Batu Bara mengalami penurunan sepanjang 2013 hingga 2015.

Di awal 2013, batu bara acuan Ice Newcastle berada di kisaran US$ 95/ton, dan di akhir 2015 berada di kisaran US$ 50/ton. Artinya selama periode tersebut harga batu bara ambrol lebih dari 47%.

TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular