
Taper Tantrum di Depan Mata, Begini Nasib Harga Komoditas!

Jakarta, CNBC Indonesia - Pengumuman kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed pada Kamis lalu, menjadi salah satu event yang ditunggu para pelaku pasar global. Isu tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) menjadi perhatian utama.
Di tahun 2013 lalu, tapering The Fed memicu gejolak di pasar finansial global yang disebut taper tantrum, dan berdampak pada semua aset, termasuk harga komoditas.
Bukannya memberikan kejelasan tapering, The Fed malah mengejutkan pasar dengan proyeksi suku bunga terbarunya. The Fed mengindikasikan akan suku bunga bisa naik 2 kali di tahun 2023 masing-masing 24 basis poin hingga menjadi 0,75%.
Hal tersebut terlihat dari Fed Dot Plot, dimana 13 dari 18 anggota melihat suku bunga akan dinaikkan pada tahun 2023. 11 diantaranya memproyeksikan dua kali kenaikan.
Proyeksi kenaikan suku bunga tersebut lebih cepat ketimbang perkiraan yang diberikan bulan Maret lalu, dimana mayoritas melihat suku bunga baru akan dinaikkan pada tahun 2024.
![]() |
Selain itu, dalam Fed Dot Plot terbaru, ada 7 anggota yang memproyeksikan suku bunga bisa naik pada tahun 2022.
Artinya, jika perekonomian AS semakin membaik, ada kemungkinan suku bunga akan naik tahun depan, jauh lebih cepat dari proyeksi sebelumnya.
Sementara itu kapan tapering akan dilakukan masih belum terjawab. Bank sentral pimpinan Jerome Powell ini tidak menyebutkan mengenai masalah tapering, tetapi menyiratkan sudah mendiskusikan hal tersebut.
Namun, jika suku bunga akan dinaikkan lebih cepat dari sebelumnya, artinya tapering juga kemungkinan besar akan lebih cepat, terjadi di semester II tahun ini. Apalagi The Fed juga menaikkan proyeksi inflasi tahun ini menjadi 3,4% dari sebelumnya 2,4%.
"Jika The Fed menaikkan suku bunga sebanyak 2 kali di tahun 2023, mereka harus mulai melakukan tapering lebih cepat untuk mencapai target tersebut. Tapering dalam laju yang moderat kemungkinan akan memerlukan waktu selama 10 bulan, sehingga perlu dilakukan di tahun ini, dan jika perekonomian menjadi sedikit panas, maka suku bunga bisa dinaikkan lebih cepat lagi," kata Kathy Jones, kepala fixed income di Charlers Schwab, sebagaimana dilansir CNBC International, Rabu (17/6/2021).
Pasca pengumuman tersebut, indeks dolar AS terus melesat naik. Sepanjang pekan ini, indeks dolar AS melesat 1,8% ke 92,346, level terkuat sejak awal April.
Penguatan dolar AS tentunya memukul harga-harga komoditas yang mayoritas dibanderol dengan mata uang Paman Sam ini. Harga emas dunia menjadi salah satu yang paling terpukul, anjlok lebih dari 6% dalam sepekan. Sementara harga minyak mentah masih mampu menguat lebih dari 1%.
Namun, secara keseluruhan harga komoditas mengalami tekanan yang terlihat dari indeks Commodity Research Beureu (CRB).
Indeks ini merepresentasikan pasar komoditas global. Ada 19 komoditas di dalamnya yang dibagi menjadi beberapa kelompok. Kelompok agrikultur berkontribusi sebesar 49%, disusul energi 39%, industri logam 13% dan logam mulia 7%.
Sepanjang pekan ini indeks CRB mengalami penurunan 3% ke 205,86.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Harga Komoditas Jeblok Puluhan Persen Akibat Taper Tantrum