Rupiah Sakti! Mata Uang Eropa Dibabat Habis

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
20 June 2021 12:45
Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)
Foto: Uang edisi khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah mengalami tekanan melawan dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang pekan ini, hingga membukukan pelemahan 1,28% ke Rp 14.370/US$. Tetapi, kinerja berbeda ditunjukkan melawan mata uang Eropa di mana rupiah justru sangat perkasa.

Melansir data Refinitiv, rupiah mampu menguat 0,78% melawan euro, ke Rp 17.042,82/EUR. Level tersebut merupakan yang terkuat sejak akhir Maret. Selain itu, rupiah juga mampu mencatat penguatan 4 pekan beruntun melawan mata uang 19 negara ini.

Sementara itu poundserling juga mengalami pelemahan 4 pekan beruntun hingga kembali ke bawah Rp 20.000/GBP. Sepanjang pekan lalu, poundsterling melemah 0,85% melawan rupiah ke Rp 19.843,53/GBP, yang merupakan level terendah sejak awal Mei.

Rupiah paling garang menghadapi krona Swedia yang dibuat ambrol hingga 2,5% ke 1.662,04/SEK, terkuat sejak awal April.

Mata Uang Garuda juga mampu menguat melawan franc Swiss yang dianggap sebagai mata uang safe haven. Franc dibuat melemah hingga 1,41% ke Rp 15.572,17/CHF. Sama dengan krona, franc berada di level terlemah sejak awal April.

Sementara itu, berhadapan dengan mata uang Asia, rupiah justru bervariasi dengan mayoritas melemah. Rupiah hanya mampu menguat melawan Won Korea Selatan, peso Filipina dan dolar Singapura.

Selain itu, rupiah juga mencatat penguatan tajam melawan dolar Australia dan dolar Kanada.

Rupiah memang sedang bertenaga dalam beberapa pekan terakhir, sebab data-data ekonomi menunjukkan bangkitnya perekonomian dan berpeluang lepas dari resesi di kuartal II-2021.

Sektor manufaktur kembali menunjukkan kenaikan di bulan Mei naik ke 55,3 yang merupakan rekor tertinggi sepanjang masa.

Terus meningkatnya ekspansi sektor manufaktur tentunya menjadi kabar bagus bagi Indonesia, dan memperkuat optimisme akan lepas dari resesi di kuartal II-2021. Sektor manufaktur sendiri berkontribusi sekitar 20% terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

Selain itu, inflasi juga menunjukkan kenaikan di bulan Mei juga naik 0,32% pada Mei 2021 dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Sementara dibandingkan Mei 2020 (year-on-year/yoy), laju inflasi tercatat 1,68%.

Inflasi inti dilaporkan tumbuh 1,37% YoY, sama persis dengan konsensus. Kenaikan inflasi tersebut bisa menjadi indikasi daya beli masyarakat yang membaik.

Data lain menunjukkan konsumen semakin percaya diri melihat perekonomian saat ini dan beberapa bulan ke depan. Ini terlihat dari kenaikan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK).

Bank Indonesia (BI) melaporkan IKK periode Mei 2021 sebesar 104,4. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 101,5.

Konsumen yang semakin pede, menjadi indikasi peningkatan konsumsi, yang semakin menguatkan ekspektasi Indonesia lepas dari resesi di kuartal ini. Apalagi BI juga melaporkan penjualan ritel akhirnya mengalami pertumbuhan untuk pertama kalinya setelah mengalami kontraksi selama 16 bulan beruntun.

BI melaporkan penjualan ritel yang dicerminkan oleh Indeks Penjualan Riil (IPR) pada April 2021 berada di 220,4. Naik 17,3% MtM dan 15,6% YoY.

April merupakan awal kuartal II-2021, sehingga ekspektasi Indonesia lepas dari resesi semakin kuat.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Rupiah Bersiap Hadapi Tapering

Pengumuman kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed) membuat rupiah tertekan. The Fed mengejutkan pasar dengan memproyeksikan suku bunga akan naik pada tahun 2023. Tidak hanya sekali tetapi dua kali kenaikan masing-masing 25 basis poin.

Hal tersebut terlihat dari Fed Dot Plot, dimana 13 dari 18 anggota melihat suku bunga akan dinaikkan pada tahun 2023. 11 diantaranya memproyeksikan dua kali kenaikan.
Proyeksi kenaikan suku bunga tersebut lebih cepat ketimbang perkiraan yang diberikan bulan Maret lalu, dimana mayoritas melihat suku bunga baru akan dinaikkan pada tahun 2024.

Selain itu, dalam Fed Dot Plot terbaru, ada 7 anggota yang memproyeksikan suku bunga bisa naik pada tahun 2022.

idrFoto: Refinitiv

Artinya, jika perekonomian AS semakin membaik, ada kemungkinan suku bunga akan naik tahun depan, jauh lebih cepat dari proyeksi sebelumnya.

The Fed dalam pengumuman kebijakan moneternya tidak menyebutkan mengenai masalah tapering, tetapi menyiratkan sudah mendiskusikan hal tersebut.

Tetapi, jika suku bunga akan dinaikkan lebih cepat dari sebelumnya, artinya tapering juga kemungkinan besar akan lebih cepat, terjadi di semester II tahun ini. Apalagi The Fed juga menaikkan proyeksi inflasi tahun ini menjadi 3,4% dari sebelumnya 2,4%.

"Jika The Fed menaikkan suku bunga sebanyak 2 kali di tahun 2023, mereka harus mulai melakukan tapering lebih cepat untuk mencapai target tersebut. Tapering dalam laju yang moderat kemungkinan akan memerlukan waktu selama 10 bulan, sehingga perlu dilakukan di tahun ini, dan jika perekonomian menjadi sedikit panas, maka suku bunga bisa dinaikkan lebih cepat lagi," kata Kathy Jones, kepala fixed income di Charlers Schwab, sebagaimana dilansir CNBC International, Rabu (17/6/2021).

Ketika tapering dilakukan dan suku bunga di AS naik, maka selisih imbal hasil dengan Indonesia akan semakin menyempit, dan berisiko memicu aliran modal ke luar dari Indonesia menuju Amerika Serikat (AS).

Meski demikian, Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo dalam konferensi pers kebijakan moneter Kamis pekan lalu menyatakan The Fed kemungkinan akan melakukan tapering di kuartal I-2021.

"Kami melihat tapering The Fed tidak terjadi tahun ini. Akan terus kami pantau kalau ada indikator-indikator baru jika ada perubahan, tetapi kemungkinan tapering akan dilakukan tahun depan," kata Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam konferensi pers usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Juni 2021, Kamis (17/6/2021).

Perry juga mengatakan BI akan terus bersiap agar Indonesia mampu menghadapi gejolak akibat tapering. Caranya adalah melakukan stabilisasi di pasar agar nilai tukar rupiah tetap terjaga.

"Kami akan optimalkan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar rupiah dan berkoordinasi dengan pemerintah agar pengaruh ke yield SBN (Surat Berharga Negara) dalam batas-batas yang normal. Ini sudah kita lakukan sejak awal pandemi Covid-19 dan saat ada kenaikan yield US Treasury Bonds pernah mencapai 1,9%. Ini langkah-langkah yang terus kami lakukan. Dengan langkah-langkah itu, kami masih akan mengarahkan kebijakan moneter dan likuiditas, makroprudensial mendukung pemulihan ekonomi nasional," jelas Perry.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular