Sri Mulyani Cs Siapkan Amunisi Hadapi 'Ledakan' Kredit Macet!

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
16 June 2021 09:50
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Acara Temu Stakeholder Untuk Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional. (Tangkapan Layar Youtube Kemenkeu RI)
Foto: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Acara Temu Stakeholder Untuk Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional. (Tangkapan Layar Youtube Kemenkeu RI)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah tengah menyiapkan antisipasi atas risiko ledakan kredit macet. Perbankan pun diminta untuk mulai menambah pencadangan secara gradual.

Adanya potensi ledakan kredit macet awalnya diungkapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Dia menjelaskan bahwa sejumlah sektor sulit bangkit karena dampak pandemi Covid-19.

Sektor tersebut termasuk kelompok slow starter yang mengalami kontraksi penjualan paling dalam, jauh di bawah sektor industri. Kelompok ini mengalami dampak terdalam akibat Covid-19, karena bisnisnya sangat bergantung pada pulihnya aktivitas masyarakat.

Sektor-sektor yang dimaksud oleh Sri Mulyani adalah perdagangan, konstruksi, transportasi dan jasa.

"Kelompok slow starter yakni perdagangan, konstruksi, transportasi, dan jasa-jasa. Ini kelompok mengalami knock down effect yang sangat dalam karena Covid, korelasinya negatif. Ketika Covid naik mereka turun, ketika Covid turun mereka pulih tapi slow. Nah ini jadinya tidak simetris," jelas Sri Mulyani, saat rapat kerja dengan Komisi XI, Senin (14/6/2021).

Sementara sektor ekonomi yang menjadi growth driver, kata Sri Mulyani, berasal dari sektor manufaktur.

Meskipun terpukul, tapi sektor tersebut saat ini sudah mulai tumbuh. Return of asset-nya pun sudah mulai pulih, tercermin pada kuartal IV-2021 sudah mulai menyentuh 3,67%.

Kendati demikian, profitabilitas baik kelompok slow starter dan growth driver masih sangat rendah.

"Kemampuan membayar kelompok resilience berada di atas threshold [ambang batas] 1,5 sementara kelompok slow starter dan growth driver di bawah threshold atau rendah," jelas Sri Mulyani.

Hal itu, lanjut Sri Mulyani, akan membuat interest coverage ratio (ICR) atau kemampuan membayar, baik itu bagi kelompok slow starter dan growth driver perlu diintervensi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

"ICR atau kemampuan untuk membayar pinjaman. Ini persoalan di OJK, untuk memberikan pinjaman. Untuk sektor yang semakin terpukul makin tidak mau (bayar), ini kita perlu intervensi," tuturnya.

Karena itu, Sri Mulyani bersama Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) berencana mengintervensi sektor-sektor tersebut agar tidak memicu kenaikan angka kredit bermasalah alias non-performing loan (NPL) yang signifikan.

"Kalau yang terpukul pulih dan langsung dapat kredit baru. Tapi yang terpukul dan tidak pulih, bank akan menghindari untuk meminjamkan di sektor ini. Ini tantangan pemulihan ekonomi dan akan terus membahasnya di KSSK," jelas Sri Mulyani.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menyiapkan antisipasi atas risiko ledakan kredit macet. OJK meminta agar perbankan untuk mulai menambah pencadangan secara gradual.

"Perbankan tolong mulai mencadangkan, secara gradual," ungkap Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dalam acara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Selasa (15/6/2021)

"Kita tidak tahu apa yang terjadi sehingga apabila ada nasabah yang tidak bisa recover, kita sudah punya cadangan yang cukup. Sehingga perbankan dan lembaga keuangan agar secara gradual membuat cadangan lebih preemptive," jelasnya.

OJK mencatat nasabah yang melakukan restrukturisasi kredit hingga saat ini mencapai Rp 775 triliun. Dalam analisa sementara, tidak semua nasabah bisa kembali pulih seperti sebelum pandemi Covid. Sebab ada beberapa sektor masih tertekan sangat dalam.

Perbankan, kata Wimboh harus lebih berhati-hati. Di sisi lain regulator akan mempersiapkan program untuk menormalkan kembali.

"Kami juga memberikan catatan apabila ada betul-betul gak tau ini kapan. Kita harus ada program menormalkan kembali. Sehingga memang suatu saat gak tau kapan mesti sudah mulai dipilah mana nasabah yang betul bisa recover dan diberikan kredit dan nasabah yang tidak ada harapan," terang Wimboh.

Wimboh tidak bisa memprediksi kapan hal tersebut akan terjadi sebab sangat tergantung kondisi pandemi covid. Sehingga yang mungkin dilakukan oleh perbankan yaitu meningkatkan kewaspadaan. Kini posisi NPL (non performing loan, kredit bermasalah) adalah 3,2%.

"Kondisi perbankan stabil meskipun tetap waspada akan risiko-risiko, di antaranya restructuring tadi," pungkasnya.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular