Sri Mulyani Bongkar Sektor Ini Picu Kredit Macet, Cek Datanya

Aldo Fernando, CNBC Indonesia
16 June 2021 06:22
Sri mulyani Rilis Narkoba
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati baru-baru ini mengungkapkan sejumlah sektor yang sulit bangkit setelah terimbas dampak pandemi Covid-19. Sektor-sektor ini berpotensi memicu 'ledakan' kredit bermasalah di perbankan.

Sektor tersebut termasuk kelompok slow starter yang mengalami kontraksi penjualan paling dalam, jauh di bawah sektor industri. Kelompok ini mengalami dampak terdalam akibat Covid-19 dan sangat bergantung pada pulihnya aktivitas masyarakat.

Sektor-sektor yang dimaksud oleh Sri Mulyani ialah perdagangan, konstruksi, transportasi dan jasa.

"Kelompok slow starter yakni perdagangan, konstruksi, transportasi, dan jasa-jasa. Ini kelompok mengalami knock down effect yang sangat dalam karena Covid, korelasinya negatif. Ketika Covid naik mereka turun, ketika Covid turun mereka pulih tapi slow. Nah ini jadinya tidak simetris," jelas Sri Mulyani, saat rapat kerja dengan Komisi XI, Senin (14/6/2021).

Sementara sektor ekonomi yang menjadi growth driver, kata Sri Mulyani, berasal dari sektor manufaktur.

Meskipun terpukul, tapi sektor tersebut saat ini sudah mulai tumbuh. Return of asset-nya pun sudah mulai pulih, tercermin pada kuartal IV-2021 sudah mulai menyentuh 3,67%.

Kendati demikian, profitabilitas baik kelompok slow starter dan growth driver masih sangat rendah.

"Kemampuan membayar kelompok resilience berada di atas threshold [ambang batas] 1,5 sementara kelompok slow starter dan growth driver di bawah threshold atau rendah," jelas Sri Mulyani.

Hal itu, lanjut Sri Mulyani, akan membuat interest coverage ratio (ICR) atau kemampuan membayar, baik itu bagi kelompok slow starter dan growth driver perlu diintervensi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

"ICR atau kemampuan untuk membayar pinjaman. Ini persoalan di OJK, untuk memberikan pinjaman. Untuk sektor yang semakin terpukul makin tidak mau (bayar), ini kita perlu intervensi," tuturnya.

Karena itu, Sri Mulyani bersama Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) berencana mengintervensi sektor-sektor tersebut agar tidak memicu kenaikan angka kredit bermasalah alias non-performing loan (NPL) yang signifikan.

"Kalau yang terpukul pulih dan langsung dapat kredit baru. Tapi yang terpukul dan tidak pulih, bank akan menghindari untuk meminjamkan di sektor ini. Ini tantangan pemulihan ekonomi dan akan terus membahasnya di KSSK," jelas Sri Mulyani.

Lantas, sebenarnya seberapa besar porsi kredit dan angka NPL sektor-sektor di atas?

Apakah angkanya mengalami tren kenaikan atau malah menurun?

Tim Riset CNBC Indonesia akan membahas secara ringkas posisi porsi kredit sektor perdagangan, konstruksi, dan transportasi untuk melihat tren pertumbuhan kredit dan NPL ketiga sektor tersebut.

NEXT: Analisis sektor-sektor

Menurut data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam Statistik Perbankan Indonesia periode Maret 2021, total penyaluran kredit bank umum kepada pihak ketiga mencapai Rp 5.496,42 triliun.

Dengan ini, pertumbuhan kredit masih terkontraksi 3,81% secara tahunan (yoy). Namun, secara bulanan (mom), penyaluran kredit tumbuh 1,43%.

Dari jumlah kredit tersebut, per Maret 2021, sektor konstruksi menyumbang 6,79% atau Rp 373,47 triliun.

Sementara, kucuran kredit bank umum ke sektor transportasi, pergudangan dan komunikasi tercatat sebesar Rp 277,33 triliun atau 5,05%.

Adapun, porsi kredit untuk sektor perdagangan besar dan eceran menjadi yang paling besar di antara dua sektor lainnya, yakni Rp 940,70 triliun atau 17,11%.

Apabila digabungkan, ketiga sektor tersebut berkontribusi sebesar 28,96% dari dari total kredit bank umum per akhir Maret tahun ini.

Bila dirinci, pertumbuhan angka penyaluran kredit ke sektor konstruksi tumbuh 5,71% secara yoy. Secara bulanan, kredit ke sektor konstruksi tumbuh tipis 0,78%.

Kemudian, angka kucuran kredit ke sektor transportasi terapresiasi 9,55% secara yoy dan 4,16% secara bulanan. Sedikit berbeda, sektor perdagangan terkontraksi dalam 5,88% secara tahunan, tetapi tumbuh 1,77% secara mom.

Mari beralih ke NPL bank umum. Rasio NPL gross kredit bank umum per Maret 2021 mencapai Rp 174,16 triliun atau 3,17%.

Dari ketiga sektor di atas, dua sektor tercatat melampaui rerata NPL bank umum, yakni konstruksi (3,48%) dan perdagangan (4,52%). Sementara rasio NPL sektor transportasi per Maret sebesar 2,49%.

Bila dibedah lagi, sebenarnya secara tahunan NPL sektor konstruksi mengalami penurunan, yakni merosot sampai 8,98%, setelah sempat di angka 3,83% pada Maret tahun lalu. Selain itu, selama sebulan, NPL sektor ini juga turun 0,20 poin.

Tentu, di tengah kinerja perusahaan konstruksi masih terus loyo akibat dampak pagebluk Covid-19 yang memaksa banyak proyek terhenti dan disertai permintaan yang melorot, turunnya NPL sektor konstruksi sedikit melegakan industri perbankan Tanah Air.

Asal tahu saja, NPL sektor konstruksi sempat mencapai angka tertinggi pada 2014, yakni 4,61%.

Sementara, pertumbuhan NPL dua sektor lainnya mengalami peningkatan tajam secara tahunan. NPL sektor transportasi melonjak 13,77% dan NPL sektor perdagangan naik 12,69% secara tahunan.

Adapun secara bulanan, NPL sektor transportasi melesat 23,38% dan NPL sektor perdagangan berhasil turun sebesar 0,19 poin.

Selain sektor konstruksi di atas, sektor transportasi dan perdagangan memang sangat terpukul akibat dampak pembatasan pergerakan masyarakat akibat pagebluk sejak tahun lalu.

Dari sektor transportasi, contoh paling kentara ialah ketika pemerintah memberlakukan larangan mudik dalam dua edisi lebaran terakhir sehingga membuat kantong perusahaan transportasi 'ngap-ngapan'.

Contoh lain, emiten bus AKAP (antarkota antarprovinsi), PT Eka Sari Lorena Transport Tbk (LRNA), mencatatkan kerugian bersih sebesar Rp 43,01 miliar sepanjang tahun 2020. Kerugian ini melonjak hingga 527% atau naik 6 kali lipat dari rugi bersih tahun 2019 sejumlah Rp 6,85 miliar.

Selain Lorena, tahun lalu, pendapatan BUMN perkeretaapian, PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI anjlok 31,16% menjadi Rp 18,07 triliun dari tahun 2019 sebesar Rp 26,25 triliun, sementara rugi bersih tahun lalu mencapai Rp 1,69 triliun dari laba bersih 2019 sebesar Rp 2,02 triliun.

Dampak pandemi terhadap sektor perdagangan juga bisa dilihat dari kondisi fundamental emiten dan perusahaan ritel.

Pada 25 Mei lalu, manajemen PT Hero Supermarket Tbk. (HERO) mengungkapkan semua gerai Giant akan ditutup pada Juli 2021. Selain itu, Hero akan mengubah hingga lima gerai Giant menjadi IKEA sebagai langkah strategis perusahaan.

Kabar kurang menggembirakan tersebut sontak semakin menambah awan gelap sektor ritel Tanah Air, setelah sebelumnya pengelola Centro Departement Store, PT Tozy Sentosa, dinyatakan pailit, serta 'babak belurnya' kinerja keuangan PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk (RALS) dan PT Matahari Department Store Tbk (LPPF).

Dengan melihat angka-angka di atas, tentu tidak berlebihan apabila Sri Mulyani sangat menyoroti dan berusaha mengintervensi sektor-sektor tersebut agar angka rasio kredit macetnya tidak melonjak tajam dan tidak mengganggu pemulihan ekonomi RI.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular