
Tunggu Arahan Pak Ketua, Rupiah Lesu & Dolar Perkasa

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Fokus investor sedang tertuju kepada rapat bulanan bank sentral AS sehingga tidak ada waktu untuk 'bermain' di aset-aset berisiko.
Pada Rabu (16/6/2021), US$ 1 setara dengan Rp 14.230 kala pembukaan perdagangan pasar spot. Rupiah melemah 0,07% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Kemarin, rupiah menutup pasar spot dengan depresiasi 0,14% di hadapan dolar AS. Ini membuat rupiah melemah dua haru beruntun sehingga dolar AS kembali merangsek ke atas Rp 14.200.
Hari ini, sepertinya tren pelemahan rupiah belum terputus. Soalnya, ada tendensi investor sedang malas mengambil risiko (risk-on) dan memilih bermain aman.
Ini terlihat di bursa saham AS. Dini hari tadi waktu Indonesia, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) melemah 0,27%, S&P 500 terkoreksi 0,2%, dan Nasdaq Composite berkurang 0,71%.
"Pasar saham memang melemah, tetap terbatas. Sepertinya investor tengah menanti keputusan rapat The Fed. Saat ini, The Fed mungkin dalam posisi bahwa mereka mulai memikirkan soal pengetatan kebijakan (tapering off), tetapi implementasinya masih lama," kata Ed Moya, Senior Market Analyst di OANDA, seperti dikutip dari Reuters.
Halaman Selanjutnya --> Fokus Tertuju ke Rapat The Fed
Pada Kamis dini hari waktu Indonesia, Ketua Jerome 'Jay' Powell dan kolega akan menyelesaikan rapat yang berlangsung selama dua hari dan mengumumkan hasilnya. Untuk suku bunga acuan, pasar memperkirakan masih bertahan di 0-0,25%. Mengutip CME FedWatch, probabilitasnya adalah 93%.
![]() |
Namun bukan suku bunga yang saat ini dipantau oleh pelaku pasar. Melainkan kapan The Fed akan mulai mengurangi 'suntikan' likuiiditas ke perekonomian dengan pembelian surat berharga alias quantitative easing. Saat ini, quantitative easing bernilai US$ 120 miliar per bulan.
Pelaku pasar menilai memang sudah saatnya The Fed memangkas quantitative easing. Pasalnya, likuiditas yang melimpah kemudian malah menciptakan tekanan inflasi. Kalau tidak diatasi, maka ekonomi Negeri Paman Sam bisa mengalami overheat.
Pada Mei 2021, laju inflasi Negeri Paman Sam tercatat 0,8% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Ini adalah laju tercepat sejak Juni 2009.
Sementara secara tahunan (year-on-year/yoy), inflasi AS berada di 5%. Ini menjadi laju tercepat sejak Agustus 2008.
Oleh karena itu, pelaku pasar akan menyimak dengan saksama pernyataan tertulis The Fed dan pidato Ketua Powell usai rapat nanti. Pelaku pasar akan mencari petunjuk soal tapering off, apakah masih samar-samar atau semakin terang-benderang.
Sembari menunggu, investor enggan terlalu mengambil risiko. Sikap mencari aman ini membuat arus modal mengalir ke dolar AS, yang berstatus safe haven.
"Dengan asumsi tekanan inflasi bisa bertahan cukup lama, maka kami memperkirakan sikap dan kebijakan The Fed akan memihak kepada dolar AS ," sebut riset BofA Global Research.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Dolar AS Ngamuk, Rekor Tertinggi 20 Tahun!
