
Obligasi Lagi Cuan, Saham-Reksa Dana Disalip, Ini Buktinya!

Jakarta, CNBC Indonesia - Sepanjang tahun ini hingga perdagangan Selasa (8/6), pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hanya menguat sebesar 1,5%. Sementara untuk pergerakan reksa dana juga dilaporkan minus dari Januari hingga Mei lalu.
Namun jika dilihat dari pasar obligasi pemerintah, imbal hasil (yield) obligasi negara cenderung mengalami kenaikan sepanjang tahun ini, sehingga harganya cenderung melemah. Harga obligasi dan yield-nya berbanding terbalik, jika harga turun, yield naik, demikian pula sebaliknya.
Hanya obligasi pemerintah bertenor 1 tahun yang sepanjang tahun ini mengalami penurunan yield, yakni sebesar 37 basis poin dari Januari lalu hingga perdagangan Selasa kemarin.
Sementara itu, yield SBN bertenor 10 tahun yang merupakan obligasi acuan negara mengalami kenaikan sebesar 49 basis poin sepanjang tahun (year-to-date/YTD).
Pada awal tahun hingga April, investor yang meminati pasar obligasi pemerintah mengalami penurunan, di tandai dengan proses lelang yang tidak mencapai targetnya pada periode tersebut dan penurunan bids investor, baik di surat utang negara (SUN) maupun di surat berharga syariah negara (SBSN).
Namun pada Mei, peminat di obligasi pemerintah kian membaik, ditandai dengan terus bertambahnya incoming bids dan semakin mencapai target indikatifnya di SUN maupun di SBSN.
Pada pekan lalu, lelang SBSN berhasil melebihi target indikatifnya dan demand investor pun kembali bertambah.
Berdasarkan data dari Direktorat Jendral Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, lelang yang diselenggarakan pada Rabu (2/6/2021) lalu, nilai yang dimenangkan pemerintah sebesar Rp 11 triliun, lebih besar dari target indikatif yang ditetapkan sebesar Rp 10 triliun. Sedangkan demand investor bertambah menjadi Rp 44,6 triliun, dari sebelumnya sebesar Rp 19,9 triliun.
Sementara pada lelang SUN terbaru, pemerintah memenangkan sebesar Rp 34 triliun, juga lebih besar dari target indikatif yang ditetapkan sebesar Rp 30 triliun. Adapun demand investor di SUN juga bertambah menjadi Rp 78,5 triliun, dari sebelumnya sebesar Rp 78 triliun.
Selain pulihnya demand investor di SUN dan SBSN, peminat dari SBSN berdenominasi dolar Amerika Serikat (AS) terbaru juga tercatat membludak.
Sebelumnya pada Kamis (3/6/2021) lalu, pemerintah melalui Kementerian Keuangan menerbitkan Sukuk Global senilai US$ 3 miliar atau setara Rp 43,5 triliun (kurs 14.500) dengan tingkat yield terendah. Penerbitan sukuk ini digunakan untuk mendorong pemulihan ekonomi di masa pandemi Covid-19.
Adapun Sukuk senilai US$ 1,25 miliar untuk tenor 5 tahun dengan yield sebesar 1,5%. Untuk tenor 10 tahun senilai US$ 1 miliar dengan yield sebesar 2,55%, dan US$ 750 juta untuk tenor 30 tahun dengan yield sebesar 3,55%.
Hal ini merupakan pencapaian yield, dengan sebaran di atas yield obligasi pemerintah AS (US Treasury) dan kupon terendah untuk tenor 5, 10 dan 30 tahun untuk Sukuk Global yang pernah diterbitkan oleh Pemerintah.
Adapun secara peringkatnya, Moody's memberikan peringkat Baa2, sedangkan S&P Global Ratings memberikan peringkat BBB, dan Fitch Rating memberikan peringkat BBB.
Dilansir dari Reuters, jumlah pesanan untuk penerbitan ini oversubscribe hingga US$ 10,3 miliar atau 3 kali lipatnya, terutama dengan kuatnya permintaan dari bank sentral, Sovereign Wealth Funds dan perusahaan asuransi.
"Komunitas keuangan Islam benar-benar muncul untuk kesepakatan ini, terutama di Asia Tenggara dan Timur Tengah," kata seorang bookrunner dikutip dari Reuters, Kamis (3/6/2021).
Sukuk Global Indonesia terakhir diterbitkan pada Juni tahun lalu, ketika selisih (spread) melebar karena investor mempertimbangkan kemungkinan dampak ekonomi dari pandemi virus corona (Covid-19).
Penerbitan sukuk global tenor 5 tahun sedikit meningkat karena kuatnya permintaan pasar. Namun untuk tenor 30 tahun lebih dibatasi karena penggunaan khusus untuk mendukung proyek hijau.
Dari SUN, SBSN, atau Sukuk Global berdenominasi dolar AS di atas, dapat disimpulkan bahwa saat ini investor masih cenderung tertarik dengan obligasi pemerintah Indonesia.
Apalagi, kekhawatiran investor, terutama di dalam negeri terkait merebaknya kembali isu tapering (pengurangan stimulus bank sentral AS) menjadi pendorong utama investor kembali mempercayakan obligasi pemerintah RI.
NEXT: Outlook Obligasi Korporasi
