
Kecemasan Sri Mulyani Makin Nyata, Rupiah Tak Berdaya

Meski menjadi kabar gembira bagi sektor riil, tetapi perbaikan di pasar tenaga kerja adalah kabar buruk di pasar keuangan, terutama buat aset-aset berisiko. Sebab, ekonomi yang semakin membaik plus peningkatan penciptaan lapangan kerja akan menjadi justifikasi bagi bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) untuk mulai melakukan pengetatan alias tapering off.
Sejak awal masa pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19), Ketua Jerome 'Jay' Powell dan kolega telah memangkas suku bunga acuan hingga ke level terendah dalam sejarah, nyaris 0%. Tidak hanya itu, The Fed juga menggelontorkan likuiditas ke perekonomian dengan memborong surat berharga senilai US$ 120 miliar setiap bulannya.
Ini semua dilakukan untuk 'merangsang' ekonomi yang 'mati suri' gara-gara pandemi. Sekarang ketika ekonomi terus menunjukkan tanda-tanda kebangkitan, sepertinya tapering off sudah di depan mata.
Mungkin suku bunga masih akan bertahan rendah dalam waktu lama. Namun dosis gelontoran likuiditas atau quantitative easing yang sepertinya bakal mulai dikurangi.
"Kami berencana untuk mempertahankan Federal Funds Rate tetap rendah untuk jangka waktu lama. Namun mungkin sudah saatnya untuk setidaknya berpikir mengenai pengurangan pembelian surat berharga yang sekarang bernilai US$ 120 miliar per bulan," ungkap Patrick Harker, Presiden The Fed cabang Philadelphia, juga dikutip dari Reuters.
Bayangan akan taper tantrum 2013-2015 pun muncul lagi. Kala itu, The Fed yang baru membuka wacana akan mengetatkan kebijakan moneter sudah membuat investor bereaksi. Arus modal berkerumun di pasar obligasi pemerintah AS, karena imbal hasil (yield) sangat sensitif terhadap suku bunga. Aset-aset lain kehilangan daya tarik sehingga harganya anjlok.
"Pelaku pasar mencerna bahwa data ekonomi AS yang kuat akan menciptakan tekanan inflasi. Investor menilai bukan tidak mungkin tapering bakal terjadi dalam waktu dekat, dan itu akan sangat mempengaruhi harga saham," kata Brad Nueman, Director of Market Strategy di Alger yang berbasis di New York, seperti diberitakan Reuters.
"Suku bunga tinggi dan inflasi adalah paket yang sedang sangat dipantau oleh investor. Jika inflasi tinggi, suku bunga tinggi, maka akan berdampak negatif terhadap pasar saham," tambah Chuck Carlson, CEO Horizon Invesment Services yang berbasis di Indiana, seperti dikutip dari Reuters.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)