Jakarta, CNBC Indonesia - Laju penguatan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih belum terhenti, kabar baiknya lagi investor asing terus melakukan aksi borong pada perdagangan Kamis kemarin. Namun, berbeda dengan IHSG, rupiah justru melempem dan harga Surat Berharga Negara (SBN) kembali bervariasi.
Pada perdagangan hari ini, Jumat (4/6/2021) isu tapering semakin menguat yang bisa memberikan negatif bagi pasar finansial Indonesia. Tapering pernah terjadi pada tahun 2013 lalu berdampak sangat buruk, bahkan membuat Mengeri Keuangan Sri Mulyani Indrawati cemas.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan pasar finansial Indonesia, serta dampak buruk tapering dibahas pada halaman 3 dan 4.
Kemarin, IHSG membukukan penguatan nyaris 1% ke 6.091,513. Data perdagangan mencatat investor asing melakukan aksi beli bersih (net buy) Rp 888 miliar di pasar reguler, jika ditambah dengan pasar nego dan tunai total net buy menjadi Rp 1,15 triliun.
Hingga perdagangan Kamis, IHSG sudah membukukan penguatan 6 hari beruntun dengan total 5,7%. Sementara itu sepekan terakhir, investor asing net buy Rp 2,3 triliun di pasar reguler, dan Rp 3,62 triliun termasuk pasar nego dan tunai.
Besarnya modal asing yang masuk tersebut menjadi penopang penguatan bursa kebanggaan Tanah Air.
Sementara itu nilai tukar rupiah melemah tipis 0,04% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.280/US$, padahal di awal perdagangan mampu menguat cukup tajam. Isu tapering yang kembali mencuat membuat rupiah berbalik melemah.
Tapering merupakan kebijakan mengurangi nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) bank sentral AS (The Fed). Ketika hal tersebut dilakukan, maka aliran modal akan keluar dari negara emerging market dan kembali ke Negeri Paman Sam. Hal tersebut dapat memicu gejolak di pasar finansial yang disebut taper tantrum.
Wacana tapering sebenarnya sudah diredam oleh The Fed dalam beberapa bulan terakhir. Tetapi kini Presiden The Fed wilayah Philadelphia, Patrick Harker, kembali membuka wacana tersebut.
Harker mengatakan perekonomian AS terus menunjukkan pemulihan dari krisis virus corona dan pasar tenaga kerja terus menunjukkan penguatan, dan menjadi saat yang tepat bagi The Fed untuk mulai memikirkan tapering.
"Kami berencana mempertahankan suku bunga acuan di level rendah dalam waktu yang lama. Tetapi ini mungkin saatnya untuk mulai memikirkan pengurangan program pembelian aset yang saat ini senilai US$ 120 miliar," kata Harker sebagaimana dilansir Reuters.
Pernyataan tersebut membuat dolar AS kembali perkasa.
Sementara itu dari pasar obligasi, SBN kembali bervariasi. Yield SBN 10 dan 15 tahun naik, tenor 20 tahun stagnan, sementara sisanya mengalami penurunan.
Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi. Ketika yield turun berarti harga obligasi sedang naik, begitu juga sebaliknya.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Data Tenaga Kerja AS Apik, Wall Street Malah Merah
Bursa saham AS (Wall Street) melemah pada perdagangan Kamis waktu setempat, saat data menunjukkan berlanjutnya momentum pemulihan ekonomi AS.
Indeks S&P 500 melemah 0,36% ke 4.192,85, dan berjarak sekitar 1% dari rekor tertinggi sepanjang masa yang dicapai bulan lalu. Namun, dalam 2 pekan terakhir, S&P bergerak di rentang yang sama.
Sementara itu, indeks Nasdaq jeblok 1,03% ke 13.614,51, saham-saham sektor teknologi yang paling terpukul kemarin.
Indeks Dow Jones turun tipis 0,07% ke 34.577,04. Dow Jones berhasil memangkas pelemahan dan nyaris stagnan terbantu saham-saham siklikal. Saham Merck dan Dow Inc menjadi yang terbaik, dengan kenaikan lebih dari 2%.
Data dari ADP menunjukkan bahwa ada penyerapan tenaga kerja baru sebanyak 978.000 pada Mei, atau jauh lebih baik dari ekspektasi ekonom dalam polling Dow Jones yang memperkirakan angka 680.000. Ini jauh lebih baik dari penyerapan April yang hanya sebanyak 654.000.
Di sisi lain, klaim asuransi pengangguran sepekan lalu tercatat bertambah hanya 385.000, atau lebih baik dari proyeksi ekonom dalam polling Dow Jones yang memprediksi angka 393.000.
Setelah rilis tersebut, pelaku pasar kini menanti data tenaga kerja AS versi pemerintah yang akan dirilis malam ini.
"Dengan data ADP lebih tinggi dari prediksi dan klaim pengangguran turun ke bawah 400.000, terendah sepanjang pandemi, semua mata kini tertuju pada data tenaga kerja versi pemerintah yang akan dirilis Jumat," kata Mike Loewengart, direktur pelaksana di E-Trade, sebagaimana dilansir CNBC International, Kamis (3/5/2021).
"Tampaknya semua upaya menguatkan pasar tenaga kerja berjalan dengan baik, perekonomian menunjukkan tanda nyata tidak sekedar pemulihan, tetapi ekspansi sudah mulai terlihat" tambahnya.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Wall Street yang berakhir melemah tentunya mengirim sentimen negatif ke pasar Asia pada perdagangan hari ini. Selain itu, pasar kini kembali melihat potensi pengetatan moneter di Negeri Paman Sam dalam waktu dekat setelah rilis data tenaga kerja AS kemarin.
"Data tenaga kerja yang lebih baik dari prediksi membuat para trader berhati-hati. Mereka mempersiapkan kemungkinan pernyataan tapering atau kenaikan suku bunga dari The Fed, meski tidak dalam waktu dekat" kata Bob Haberkorn, ahli strategi pasar senior di RJO Futures, sebagaimana dilansir CNBC International, Kamis (4/6/2021)
Kebijakan moneter ultra-longgar yang diterapkan The Fed sejak Maret tahun lalu menjadi salah satu faktor yang membuat bursa saham global bangkit, termasuk IHSG. Sehingga ketika muncul isu tapering, IHSG berisiko tertekan. Apalagi IHSG sudah menguat 6 hari beruntun dengan total persentase 5,7%, sehingga berisiko memicu aksi profit taking.
Seperti disebutkan sebelumnya, isu tapering kembali muncul setelah Presiden The Fed wilayah Philadelphia, Patrick Harker mengatakan saat ini waktu yang tepat untuk memikirkan mengenai pengurangan QE.
Isu tersebut semakin menguat setelah rilis data tenaga kerja Amerika Serikat kemarin. Automatic Data Processing Inc. (ADP) kemarin melaporkan sepanjang bulan Mei sektor swasta AS menyerap 978.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian. Penambahan tersebut jauh lebih banyak ketimbang bulan sebelumnya 654.000 tenaga kerja.
Data ini biasanya dijadikan acuan rilis data tenaga kerja versi pemerintah AS yang dikenal dengan istilah non-farm payrolls (NFP). Hasil survei dari Dow Jones memperkirakan NFP sepanjang bulan Mei sebanyak 671.000 pekerja, naik dari bulan sebelumnya 266.000 tenaga kerja.
Data tenaga kerja AS merupakan salah satu acuan The Fed dalam menetapkan kebijakan moneter, selain data inflasi.
Pada Jumat pekan lalu, Departemen Tenaga Kerja AS pada Jumat (28/5/2021) lalu melaporkan data inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE). Data tersebut merupakan inflasi acuan bagi The Fed.
Inflasi PCE inti dilaporkan tumbuh 3,1% year-on-year (yoy) di bulan April, jauh lebih tinggi ketimbang bulan sebelumnya 1,8% yoy. Rilis tersebut juga lebih tinggi ketimbang hasil survei Reuters terhadap para ekonomi yang memprediksi kenaikan 2,9%. Selain itu, rilis tersebut juga merupakan yang tertinggi sejak Juli 1992, nyaris 30 tahun terakhir.
Inflasi yang tinggi, serta pasar tenaga kerja yang menguat maka ekspektasi tapering pun semakin kencang. Kecemasan akan taper tantrum kembali muncul.
Taper tantrum pernah terjadi di tahun 2013, saat itu nilai tukar rupiah merosot tajam. Hal ini menjadi perhatian Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan memprediksi kemungkinan terjadinya di tahun depan.
"Kita pernah belajar dari fenomena terdahulu seperti taper tantrum di tahun 2013, dimana ekspektasi normalisasi kebijakan moneter AS dapat mendorong pembalikan arus modal dari negara berkembang," jelas Sri Mulyani dalam rapat paripurna, Senin (31/5/2021).
Dolar AS sudah merespon isu tapering tersebut. Kemarin indeks yang mengukur kekuatan dolar AS melesat 0,65% ke 90,491. Kenaikan tajam indeks dolar AS tersebut tentunya akan menekan rupiah begitu juga dengan SBN pada hari ini.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Sekedar Mengingatkan, Ini Ngerinya Taper Tantrum Bagi Pasar Keuangan RI
Taper tantrum pernah terjadi pada tahun pada pertengahan tahun 2013 lalu, The Fed yang saat itu dipimpin Ben Bernanke, mengeluarkan wacana tapering QE yang dilakukan sejak krisis finansial global 2008.
The Fed saat itu menerapkan QE dalam 3 tahap.
QE 1 dilakukan mulai November 2008, kemudian QE 2 mulai November 2010, dan QE 3 pada September 2012. Nilainya pun berbeda-beda, saat QE 1 The Fed membeli efek beragun senilai US$ 600 miliar, kemudian QE 2 juga sama senilai US$ 600 miliar tetapi kali ini yang dibeli adalah obligasi pemerintah (Treasury) AS.
QE 3 berbeda, The fed mengumumkan pembelian kedua aset tersebut senilai US$ 40 miliar per bulan, kemudian dinaikkan menjadi US$ 85 miliar per bulan.
Kebijakan suku bunga rendah dan QE membuat perekonomian Negeri Paman Sam banjir likuiditas, akibatnya indeks dolar AS tertahan di bawah level 90. Artinya dolar AS sedang melempem.
Saat wacana tapering muncul dolar AS menjadi begitu perkasa. Sehingga jika wacana tapering kembali muncul ada risiko dolar AS akan "mengamuk" sebab kondisinya sama dengan 2013, dolar AS tertekan akibat QE The Fed yang senilai US$ 120 per bulan yang dilakukan sejak Maret tahun lalu, dan indeks dolar AS sebelumnya berada di bawah level 90.
Balik lagi ke tahun 2013, The Fed akhirnya mulai mengurangi QE sebesar US$ 10 miliar per bulan dimulai pada Desember, hingga akhirnya dihentikan pada Oktober 2014. Akibatnya, sepanjang 2014, indeks dolar melesat lebih dari 12%.
Tidak sampai di situ, setelah QE berakhir muncul wacana normalisasi alias kenaikan suku bunga The Fed, yang membuat dolar AS terus berjaya hingga akhir 2015.
Rupiah menjadi salah satu korban keganasan taper tantrum kala itu. Sejak Bernanke mengumumkan tapering Juni 2013 nilai tukar rupiah terus merosot hingga puncak pelemahan pada September 2015.
Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ sementara pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%.
IHSG saat awal taper tantrum juga mengalami aksi jual. Pada periode Mei-September 2013 IHSG jeblok hingga 23%.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Simak Data dan Agenda Berikut
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
- Pengumuman kebijakan moneter bank sentral India (13:15 WIB)
- Penjualan ritel zona euro (16:00 WIB)
- Data tenaga kerja AS (19:30 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA