
Tapering Bikin Sri Mulyani Cemas, Ini Ngerinya Bagi Pasar RI

Wall Street yang berakhir melemah tentunya mengirim sentimen negatif ke pasar Asia pada perdagangan hari ini. Selain itu, pasar kini kembali melihat potensi pengetatan moneter di Negeri Paman Sam dalam waktu dekat setelah rilis data tenaga kerja AS kemarin.
"Data tenaga kerja yang lebih baik dari prediksi membuat para trader berhati-hati. Mereka mempersiapkan kemungkinan pernyataan tapering atau kenaikan suku bunga dari The Fed, meski tidak dalam waktu dekat" kata Bob Haberkorn, ahli strategi pasar senior di RJO Futures, sebagaimana dilansir CNBC International, Kamis (4/6/2021)
Kebijakan moneter ultra-longgar yang diterapkan The Fed sejak Maret tahun lalu menjadi salah satu faktor yang membuat bursa saham global bangkit, termasuk IHSG. Sehingga ketika muncul isu tapering, IHSG berisiko tertekan. Apalagi IHSG sudah menguat 6 hari beruntun dengan total persentase 5,7%, sehingga berisiko memicu aksi profit taking.
Seperti disebutkan sebelumnya, isu tapering kembali muncul setelah Presiden The Fed wilayah Philadelphia, Patrick Harker mengatakan saat ini waktu yang tepat untuk memikirkan mengenai pengurangan QE.
Isu tersebut semakin menguat setelah rilis data tenaga kerja Amerika Serikat kemarin. Automatic Data Processing Inc. (ADP) kemarin melaporkan sepanjang bulan Mei sektor swasta AS menyerap 978.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian. Penambahan tersebut jauh lebih banyak ketimbang bulan sebelumnya 654.000 tenaga kerja.
Data ini biasanya dijadikan acuan rilis data tenaga kerja versi pemerintah AS yang dikenal dengan istilah non-farm payrolls (NFP). Hasil survei dari Dow Jones memperkirakan NFP sepanjang bulan Mei sebanyak 671.000 pekerja, naik dari bulan sebelumnya 266.000 tenaga kerja.
Data tenaga kerja AS merupakan salah satu acuan The Fed dalam menetapkan kebijakan moneter, selain data inflasi.
Pada Jumat pekan lalu, Departemen Tenaga Kerja AS pada Jumat (28/5/2021) lalu melaporkan data inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE). Data tersebut merupakan inflasi acuan bagi The Fed.
Inflasi PCE inti dilaporkan tumbuh 3,1% year-on-year (yoy) di bulan April, jauh lebih tinggi ketimbang bulan sebelumnya 1,8% yoy. Rilis tersebut juga lebih tinggi ketimbang hasil survei Reuters terhadap para ekonomi yang memprediksi kenaikan 2,9%. Selain itu, rilis tersebut juga merupakan yang tertinggi sejak Juli 1992, nyaris 30 tahun terakhir.
Inflasi yang tinggi, serta pasar tenaga kerja yang menguat maka ekspektasi tapering pun semakin kencang. Kecemasan akan taper tantrum kembali muncul.
Taper tantrum pernah terjadi di tahun 2013, saat itu nilai tukar rupiah merosot tajam. Hal ini menjadi perhatian Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan memprediksi kemungkinan terjadinya di tahun depan.
"Kita pernah belajar dari fenomena terdahulu seperti taper tantrum di tahun 2013, dimana ekspektasi normalisasi kebijakan moneter AS dapat mendorong pembalikan arus modal dari negara berkembang," jelas Sri Mulyani dalam rapat paripurna, Senin (31/5/2021).
Dolar AS sudah merespon isu tapering tersebut. Kemarin indeks yang mengukur kekuatan dolar AS melesat 0,65% ke 90,491. Kenaikan tajam indeks dolar AS tersebut tentunya akan menekan rupiah begitu juga dengan SBN pada hari ini.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Sekedar Mengingatkan, Ini Ngerinya Taper Tantrum Bagi Pasar Keuangan RI