Analisis

Luhut Mau Setop PLTU, Masih Minat Cari Cuan ADRO cs?

Aldo Fernando, CNBC Indonesia
31 May 2021 10:20
Luhut Binsar Pandjaitan dalam acara CNBC Indonesia Economic Outlook dengan tema
Foto: Luhut Binsar Pandjaitan dalam acara CNBC Indonesia Economic Outlook dengan tema

Jakarta, CNBC Indonesia - Prospek jangka panjang batu bara di Tanah Air tampaknya kurang menggembirakan. Hal ini lantaran pemerintah menargetkan akan tidak akan ada lagi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara baru pada periode 2021-2030.

Dalam hal ini, Indonesia bertujuan untuk menggunakan pembangkit listrik yang menggunakan energi bersih pada 2060.

Target ini pun sesuai dengan titah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengharamkan usulan pembangunan PLTU baru dan tercermin dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2021-2030.

Beberapa waktu lalu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan juga mengatakan energi fosil saat ini menjadi musuh bersama dunia, seiring dengan adanya pemanasan global.

Merespons hal ini, pemerintah Indonesia akan menggantinya dengan pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT).

Belum lagi, sejumlah bank besar juga menyatakan akan mengurangi porsi kredit untuk sektor batu bara. Pada awal Mei lalu, Asian Development Bank (ADB)mengumumkan bahwa mereka tidak akan lagi mendanai proyek yang berkaitan dengan eksplorasi atau produksi tambang batu bara, minyak bumi dan gas alam secara global.

Selain ADB, baru-baru ini juga Malayan Banking Berhad atau Maybank memutuskan akan menghentikan pembiayaan untuk aktivitas pertambangan batu bara. Pada 2025, Maybank berencana mengalokasikan RM 50 miliar dalam upaya mendorong pembiayaan berkelanjutan.

Tahun lalu, pesaing Maybank, CIMB Group Holdings Bhd, juga telah berkomitmen untuk menghapus batu bara dari portofolionya per 2040.

Kemudian, bagaimana dengan saham-saham emiten tambang batu bara seiring dengan adanya kabar ini?

Untuk itu, di bawah ini Tim Riset CNBC Indonesia akan membahas secara singkat kinerja 5 saham emiten batu bara dengan nilai kapitalisasi pasar (market cap) terbesar di bursa dalam sepekan terakhir, mengacu data per Jumat (28/5).

Berdasarkan data di atas, dari 5 saham yang diamati, 2 saham mampu menunjukkan kinerja yang positif selama seminggu terakhir, 1 saham masih stagnan, dan 2 sisanya malah ambles ke zona merah.

Saham ITMG menjadi yang paling naik di antara yang lainnya, dengan penguatan 2,17% ke harga Rp 12.975/saham.

Seiring dengan itu, dalam sepekan investor asing juga mencatatkan beli bersih (net buy) di pasar reguler sebesar Rp 33,64 miliar.

Di posisi kedua ada saham emiten tambang pelat merah, PTBA, yang tumbuh 1,39% ke Rp 2.190/saham dalam sepekan terakhir.

Berbeda dengan saham ITMG, kendati mencatatkan penguatan, investor asing malah melakukan aksi jual bersih (net sell) sebesar Rp 9,30 miliar di saham PTBA.

Adapun saham emiten milik pengusaha Garibaldi 'Boy' Thohir, ADRO, malah tidak bergerak dalam seminggu belakangan di harga Rp 1.170/saham. Kalau ditelisik, dalam sepekan saham ini memerah 3 kali dan 2 kali menghijau.

Sementara, saham emiten milik taipan Kiki Barki, HRUM, malah anjlok 5,07%. Hal tersebut tampaknya terjadi seiring aksi ambil untung (profit taking) yang dilakukan investor, setelah sebelumnya saham ini sempat membukukan kenaikan harga yang signifikan.

NEXT: Masih Ada Asa

Meskipun masa depan batu bara tampak muram, tetapi dalam jangka pendek ada sejumlah sentimen positif yang bisa mendorong kinerja saham emiten batu bara.

Pertama, harga batu bara meroket pada pekan lalu, hingga mencapai rekor tertinggi nyaris satu dekade terakhir. Suplai dari China yang dikhawatirkan akan semakin ketat akibat plum rain menjadi pemicu melesatnya harga batu bara.

Melansir data Refinitiv, harga batu bara acuan ICE Newcastle untuk kontrak bulan Juni melesat 10,19% di pekan lalu ke US$ 118,9/ton. level tersebut merupakan yang tertinggi sejak September 2011.

Selain itu, harga batu bara juga membukukan penguatan dalam 5 pekan beruntun dengan total 39%.

Kemudian, harga batu bara untuk tahun ini diramal akan lebih baik ketimbang tahun lalu. Apalagi, negara konsumen sekaligus produsen terbesarnya yaitu China diperkirakan ekonominya akan tumbuh dengan pesat.

Permintaan batu bara global tahun ini masih akan ditopang oleh pasar Asia Pasifik dengan China dan India sebagai motor penggeraknya. Di Amerika Serikat (AS) dan Eropa pandemi Covid-19 semakin membulatkan tekad negara-negara Barat untuk beralih dari sumber energi fosil tersebut ke alternatif yang lebih ramah lingkungan.

Konsumsi batu bara yang besar di China mendorong produsen batu bara asing untuk meningkatkan kapasitas produksinya.

Menurut catatan Reuters, impor batu bara China mencapai 303,99 juta ton tahun lalu, yang merupakan rekor tertinggi.

Adapun impor batu bara China didominasi oleh batu bara uap yang memiliki harga rata-rata yang rendah. Menurut prediksi analis, jika pandemi Covid-19 mereda pada 2021, impor batu bara China akan meningkat pada 2021-2025.

Sejurus dengan itu, Indonesia, bersama dengan eksportir batu bara lainnya, akan diuntungkan dengan adanya larangan impor batu bara Australia oleh China sejak tahun lalu.

Mengacu pada pemberitaan Reuters, 8 April lalu, produsen batu bara Tanah Air telah menandatangani perjanjian pengiriman batu bara senilai US$ 1,5 miliar dengan China pada November tahun lalu.

Selain itu, kabar baik lainnya ialah terkait Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang resmi menaikkan target produksi batu bara pada 2021 ini sebesar 75 juta ton menjadi 625 juta ton dari target awal 550 juta ton.

Adapun dasar pertimbangan di balik keputusan ini, antara lain karena dampak pandemi Covid-19 terhadap sektor pertambangan pada 2020 mengakibatkan penurunan keekonomian kegiatan pertambangan secara global, sehingga perlu adanya dukungan pemerintah melalui penambahan jumlah produksi batu bara 2021 untuk penjualan ke luar negeri.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular