Harga Ambles 70%, Kinerja YTD Saham Batu Bara RI Bikin Sedih

Tasya Natalia, CNBC Indonesia
31 May 2023 10:57
Tambang Kaltim Prima Coal
Foto: Wahyu Daniel

Jakarta, CNBC Indonesia - Commodity Deflation masih terus berlanjut terutama di komoditas batubara, hingga perdagangan kemarin (30/5/2023) terpantau harga batubara acuan Newcastle coal futures anjlok -3,95% secara harian menjadi US$ 135,10 per ton.

Harga tersebut sudah turun hampir 70% dari titik tertingginya pada September 2022 di harga US$ 464 per ton. Turunnya harga batubara salah satunya karena pemulihan ekonomi China masih lesu, ini nampak dari aktivitas manufaktur yang ter kontraksi.

Pagi ini NBS merilis data Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur sebesar 48,8 pada periode Mei 2023, turun dibandingkan bulan sebelumnya di 49,2 dan lebih rendah ekspektasi konsensus di 49,4. Hal ini menunjukkan kondisi manufaktur di China yang semakin lesu.

Pada saat yang sama, pasokan batubara domestik di China sudah mencapai level tertinggi sepanjang masa akibat permintaan yang rendah dan impor yang signifikan. Tercatat, hingga empat bulan pertama 2023, produksi batubara mentah meningkat 4,8% sedangkan impor melonjak hingga 88,8%.

Sejumlah emiten batubara RI juga kena getahnya melihat dari harga saham yang terjerembab di zona merah. Salah satunya ada PT Bayan Resources Tbk (BYAN) pada perdagangan hari ini (31/5) hingga pukul 09.57 WIB turun paling dalam mendekati ARB sebesar -6,33% menjadi Rp15.050/saham. Berikut pergerakan saham sejumlah emiten batubara lainnya:

Berdasarkan tabel di atas, harga saham PT Adaro Energy Tbk (ADRO) jadi yang paling boncos sejak awal tahun dengan penurunan mencapai -46,23%. Sementara yang masih bertahan di zona hijau ada PT Delta Dunia Makmur Tbk (DOID) yang tumbuh tipis 1,97% secara year-to-date.

Harga komoditas yang turun memang menjadi risiko bagi pertumbuhan laba batubara, lantas apakah ini menjadi akhir? tentu saja tidak, karena beberapa emiten diketahui melakukan diversifikasi bisnis agar lebih optimal.

Diversifikasi yang dilakukan mulai dari gasifikasi batubara menjadi produk gas yang lebih ramah lingkungan, co-firing dengan kalori batubara lebih rendah dan biomassa yang bisa berasal dari limbah. Bahkan, diversifikasi ke industri komoditas lain seperti nikel dalam rangka mengikuti ekosistem kendaraan listrik juga diikuti beberapa emiten.

Walaupun begitu, proses diversifikasi membutuhkan waktu yang lama dan modal yang besar, sehingga ini akan menjadi cerita jangka panjang yang harapannya akan berdampak optimal pada profitabilitas sejalan dengan pengurangan kontribusi segmen batubara.


(tsn/tsn)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Biaya Produksi Naik, Laba ITMG Anjlok 14% Jadi US$ 182,7 Juta

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular