
Top, Rupiah! Dolar AS Sukses Dilengserkan ke Bawah Rp 14.300

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat di perdagangan pasar spot hari ini. Sentimen eksternal maupun domestik memang suportif bagi mata uang Tanah Air.
Pada Kamis (27/5/2021), US$ 1 setara dengan Rp 14.290 kala pembukaan pasar spot. Rupiah menguat 0,24% dibandingkan posisi penutupan perdagangan sebelum libur Hari Raya Nyepi.
Dari sisi eksternal, minta investor terhadap aset berisiko (risk appetite) sedang tinggi. Ini terlihat dari penguatan di bursa saham AS.
Dini hari tadi, indeks Dow Jones Indutstrial Average (DJIA) ditutup naik tipis 0,03%. Sementara S&P 500 dan Nasdaq Composite bertambah masing-masing 0,19% dan 0,59%.
Dalam beberapa hari terakhir, sejumlah pejabat teras bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) memberi komentar soal prospek inflasi di Negeri Adidaya. Intinya, The Fed memandang inflasi masih akan rendah dan kalaupun ada risiko lonjakan tetapi niscaya bisa ditangani dengan baik.
Inflasi menjadi kunci. Seberapa cepat laju inflasi menjadi penentu kapan The Fed akan mulai mengetatkan kebijakan moneter.
"Kita sedang memasuki periode rebound. Saya memang memperkirakan inflasi akan meninggi, tetapi lebih karena efek tahun lalu yang rendah. Harga-harga naik karena turun begitu dalam ketika pandemi, ditambah peningkatan permintaan," kata Lael Brainard, Anggota Dewan Gubernur The Fed, seperti dikutip dari Reuters.
"Betul, kita akan melihat inflasi yang lebih tinggi. Namun sebagian besar bersifat temporer. Akan tiba saatnya kita akan bicara soal perubahan kebijakan moneter, tetapi tidak sekarang saat pandemi belum usai," kata James Bullard, Presiden The Fed cabang St Louis, dalam wawancara dengan Yahoo Finance.
"Kita semua harus bersabar (soal perubahan arah kebijakan moneter). Kenaikan suku bunga masih jauh di masa depan," tegas Randal Quarles, Kepala Dewan Stabilitas Keuangan The Fed, seperti diwartakan Reuters.
"Saat aktivitas ekonomi lebih dibuka lagi, maka tekanan harga akan mereda dengan sendirinya. Namun apabila tekanan harga ternyata lebih persisten dan mengancam mandat kami, maka kami akan melakukan sesuatu," sebut Richard Clarida, Wakil Ketua The Fed, sebagaimana diberitakan Yahoo Finance.
Berbagai komentar dari para pejabat The Fed ini meyakinkan pasar bahwa pengetatan kebijakan moneter di Negeri Stars and Stripes masih jauh panggang dari api. Artinya, berinvestasi di aset-aset berbasis dolar AS (terutama instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi) menjadi kurang menarik. Permintaan dolar AS menjadi kurang sehingga nilai tukarnya melemah dan rupiah jadi punya ruang untuk menyalip.
Halaman Selanjutnya --> BI Tak Lagi Sebut Soal Penurunan Bunga
Sementara dari dalam negeri, masih terkait suku bunga, Bank Indonesia (BI) kembali mempertahankan suku bunga acuan di 3,5% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) periode Mei 2021. Salah satu pertimbangan utama MH Thamrin adalah menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 24-25 Mei 2021 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 3,5%, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%. Keputusan ini konsisten dengan prakiraan inflasi yang tetap rendah, serta upaya untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan mempercepat upaya pemulihan ekonomi," kata Gubernur Perry Warjiyo dalam jumpa pers usai RDG.
Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas, menyatakan sepertinya penurunan suku bunga acuan sudah tidak ada di benak Gubernur Perry dan sejawat. Dalam jumpa pers usai RDG, kalimat penurunan atau menurunkan suku bunga acuan sama sekali tidak disebut.
Malah Perry mulai membuka wacana untuk menaikkan suku bunga acuan, meski horizonnya masih panjang. Paling cepat tahun depan, katanya.
"Suku bunga 3,5% dipertahankan sampai ada tanda-tanda kenaikan inflasi, paling cepat awal tahun depan. Kita bicarakan tahun depan, sabar sithik tho yo (sabar sedikit lah ya)," ujar Perry.
Satria menilai laju inflasi domestik masih 'jinak' meski pemerintah berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang otomatis ikut mendongkrak harga barang dan jasa. Menurut Satria, kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 12% hanya akan menambah inflasi 0,2% tahun ini.
"Namun itu dengan catatan pemerintah tetap mempertahankan pengecualian pengenaan PPN terhadap empat barang dan 17 jasa. Jika dikenakan PPN, artinya dari 0% menjadi 12%, maka inflasi bisa bertahan 0,8%," sebut Satria dalam risetnya.
So, tidak adanya peluang penurunan suku bunga plus BI yang mulai membuka wacana untuk menaikkan menjadi sentimen positif bagi rupiah. Berinvestasi di aset-aset berbasis rupiah akan semakin menguntungkan. Arus modal yang mengalir ke pasar keuangan Ibu Pertiwi menjadi modal bagi rupiah untuk menguat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Dolar AS Ngamuk, Rekor Tertinggi 20 Tahun!
