Internasional

Warning! Utang Negara Berkembang Bengkak, Ini Ramalan Moody's

Ferry Sandria, CNBC Indonesia
24 May 2021 18:10
Moody's Investors Service
Foto: Suasana Stasiun Bogor di PSBB hari Pertama (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonom dari lembaga pemeringkat global, Moody's Investor Service menilai membengkaknya jumlah utang dapat menyebabkan semakin tertinggalnya pasar negara berkembang (emerging market) dibandingkan negara-negara maju dalam proses pemulihan ekonomi akibat pandemi covid-19.

Dalam wawancara dalam program CNBC "Squawk Box Asia", Kepala Ekonom Asia-Pasifik di Moody's Analytics, Steve Cochrane mengatakan sebagian besar kenaikan utang terjadi pada pos utang pemerintah.

"Karena pandemi, utang meningkat untuk semua jenis. Peningkatan [utang] yang besar tentu saja terjadi pada utang pemerintah - dan ini tidak mengherankan mengingat perlunya menyediakan stimulus fiskal dan pada saat yang bersamaan penerimaan pajak turun jauh di seluruh dunia," katanya, dikutip CNBC International, Senin (24/5/2021).

"Dampak nyata, bagaimanapun, menurut saya adalah semacam kesenjangan yang meningkat antara negara maju dan pasar negara berkembang. Beban utang meningkat paling tinggi di pasar negara berkembang dan mungkin mereka akan mengalami kesulitan berat dalam hal mengurus utang ini di masa mendatang," tambahnya.

Analisis Moody's Analytics menunjukkan total utang global dari sektor pemerintah, perusahaan, rumah tangga, dan keuangan naik mencapai rekor tertinggi US$ 24 triliun (21 kali PDB Indonesia pada tahun 2019).

BPS mencatat, perekonomian Indonesia tahun 2019 yang diukur berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp 15.833,9 triliun dan PDB per kapita mencapai Rp 59,1 Juta atau US$ 4.174,9.

Adapun, menurut Moody's, utang keseluruhan di pasar negara berkembang bertambah lebih dari dua kali lipat selama satu dekade terakhir dan sekarang menyumbang sepertiga dari utang yang beredar secara global, menurut laporan Moody's tersebut.

Pasar berkembang termasuk Turki, Vietnam, dan Brasil diulas dalam laporan Moody's Analytics karena memiliki beban utang yang tinggi di lebih dari satu sektor.

Banyak negara berkembang termasuk India, Argentina, dan Malaysia sedang berjuang melawan lonjakan baru infeksi virus korona, sementara pasar maju seperti AS, Inggris, dan Australia mulai melaporkan penurunan kasus.

NEXT: Negara Emerging Bakal Lebih Lama Bangkit

Kepala Ekonom Asia-Pasifik di Moody's Analytics, Steve Cochrane melanjutkan, bahwa pasar negara berkembang pada umumnya lebih lambat dalam mengamankan dosis dan melaksanakan vaksinasi Covid-19 dibandingkan dengan negara maju.

Sementara itu, beban utang yang tinggi dapat mengakibatkan pemerintah negara-negara tersebut mengekang pengeluaran lebih awal demi menjaga keuangan dan mengendalikan utang.

Gabungan kedua faktor tersebut berarti bahwa pertumbuhan ekonomi di antara pasar negara berkembang kemungkinan besar akan tertinggal dari negara maju seiring pulihnya ekonomi dunia dari pandemi, tambah Cochrane.

"Ketika ekonomi tumbuh dengan cepat, hutang tidak akan menjadi masalah yang besar," kata Cochrane.

Ekonom tersebut menambahkan bahwa pertumbuhan tidak akan merata di seluruh dunia, dengan AS dan Eropa kemungkinan akan mengalami percepatan pertumbuhan pada musim panas ini, sementara pasar negara berkembang "mungkin harus menunggu sedikit lebih lama."

Menurut laporan Bank Indonesia Mei 2021, Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada kuartal-I 2021 adalah sebesar US$ 415,6 miliar atau setara Rp 6.026 triliun (kurs 14.500) turun 0,4% dari kuartal sebelumnya (qtq) dan tumbuh 7,0% dari kuartal yang sama tahun lalu (yoy).

Pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal I-2021 yang masih mengalami kontraksi 0,74%. Sedangkan untuk proyeksi pertumbuhan kuartal II-2021, Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI, DPR RI, hari ini (24/5) memprediksi perekonomian Indonesia bisa tumbuh hingga 8,3%.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular