
Menguat di Kurs Tengah BI, Kenapa Rupiah Mager di Pasar Spot?

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Namun di pasar spot, rupiah harus puas finis dengan stagnasi.
Pada Senin (24/5/2021), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.362 Rupiah menguat 0,09% dibandingkan posisi akhir pekan lalu.
Namun di pasar spot, rupiah ditutup melemah. Kala penutupan pasar, US$ 1 setara dengan Rp 14.350, sama persis dengan penutupan akhir pekan lalu.
Saat 'lapak' dibuka, rupiah mampu menguat 0,17% ke Rp 14.325/US$. Namun keperkasaan rupiah hanya bertahan saat pembukaan. Seiring perjalanan pasar, rupiah gagal kembali zona hijau.
Posisi terbaik rupiah adalah Rp 14.325/US$, yang terjadi saat pembukaan. Sedangkan terlemah ada di Rp 14.360/US$, melemah 0,07%.
Sementara itu, mata uang utama Asia pun bergerak variatif di hadapan dolar AS. Rupiah bukan satu-satunya mata uang yang menghuni zona merah, ada dolar Hong Kong, rupee India, peso Filipina, dan dolar Taiwan.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning di perdagangan pasar spot pada pukul 15:05 WIB:
Halaman Selanjutnya --> Ini Dia yang Bikin Rupiah Lesu
Investor sepertinya dibuat galau oleh perkembangan pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) di Asia. Lonjakan kasus positif membuat sejumlah negara seperti Malaysia, Singapura, hingga Taiwan memperketat pembatasan sosial (social restrictions).
"Covid-19 mungkin akan menjadi risiko paling dominan bagi mata uang Asia untuk saat ini. Tanpa vaksinasi yang memadai, risiko gelombang serangan baru akan selalu ada bahkan ketika aktivitas dan mobilitas masyarakat sudah dibatasi," sebut catatan DBS, seperti dikutip dari Reuters.
Dari dalam negeri, sentimen negatif bagi mata uang Ibu Pertiwi datang dari rilis Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Setelah dua kuartal beruntun membukukan surplus, transaksi berjalan (current account) Indonesia kembali defisit.
Pada kuartal I-2021, neraca barang memang masih surplus US$ 7,91 miliar. Namun sudah tidak bisa menutup defisit di neraca jasa (-US$ 3,42 miliar) dan pendapatan primer (6,92 miliar). Jadilah transaksi berjalan kembali ke zona defisit yaitu minus US$ 996,83 juta atawa 0,36% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
"Sejalan dengan kinerja ekspor yang positif dan permintaan domestik yang melanjutkan perbaikan, kinerja impor juga meningkat cukup tinggi sehingga menahan surplus neraca barang lebih lanjut. Sementara itu, defisit neraca jasa meningkat, antara lain disebabkan oleh defisit jasa transportasi yang melebar akibat peningkatan pembayaran jasa freight seiring kenaikan impor barang. Di sisi lain, defisit neraca pendapatan primer tercatat lebih rendah dibandingkan dengan capaian pada triwulan sebelumnya sejalan dengan penurunan pembayaran kupon dan dividen investasi portofolio," papar keterangan tertulis Bank Indonesia (BI).
Transaksi berjalan adalah fondasi penting bagi nilai tukar mata uang karena menggambarkan ketersediaan devisa dari pos yang lebih berdimensi jangka panjang yaitu perdagangan. Berbeda dengan transaksi modal dan finansial, yang walau sama-sama mencerminkan pasokan valas, tetapi yang ini kebanyakan datang dari investasi portofolio di sektor keuangan alias hot money. Sifat hot money tidak berjangka panjang, bisa datang dan pergi kapan saja.
Jadi, saat ini Indonesia sudah tidak punya kemewahan limpahan pasokan valas dari perdagangan. Dengan ekonomi yang semakin membaik, impor akan semakin deras sehingga meningkatkan kebutuhan valas di dalam negeri. Saat kebutuhan valas naik, otomatis rupiah akan tertekan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Dolar AS Ngamuk, Rekor Tertinggi 20 Tahun!
